Usaha Willem Hengki, Kepala Desa (kades) Kinipan, dalam mengejar maaf dari Kepolisian dan Kejaksaan Lamandau melalui Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya bak kisah semut melawan gajah. Si kecil melawan si berkuasa, mungkinkah Willem menang?
Menunggu seakan biasa dalam dunia peradilan di negeri ini. Seringkali setiap datang menyaksikan persidangan saya juga harus ikut menunggu. Menunggu ruangan disiapkan, menunggu para termohon hadir, menunggu entah kapan waktu persidangan dimulai. Biasa.
Willem Hengki, kades Kinipan, juga sudah hafal kebiasaan ini. Jauh datang dari kampungnya, sekitar 650 kilometer, ia bahkan sudah berada di Palangka Raya ibu kota Kalimantan Tengah (Kalteng) sehari sebelum waktu persidangan tanggal 21 Maret 2023 digelar.
Kemejanya berwarna merah tua dipadankan dengan celana kain warna hitam. Rambutnya ia potong pendek, hampir cepak. Namun, Willem tampak lebih segar. Tatapan matanya tak lagi sendu seperti tahun 2022 saat harus menghadapi meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya.
Kemenangan ia dan masyarakat Kinipan terhadap tuduhan korupsi saat itu yang membawa Willem sekali lagi berurusan dengan hukum di tahun 2023 ini. Namun, statusnya terbalik, bukan digugat tetapi menggugat. Ada 3 orang yang ia gugat. Ketiganya kemudian disebut termohon 1 Kepala Kepolisian Resort (Polres) Lamandau, termohon 2 Kepala Kejaksaan Negeri Lamandau, dan turut termohon Menteri Keuangan (Kemenkeu) RI.
Gugatan Willem ini bukan iseng tetapi karena merasa dirugikan. Ia sempat dituduh tersangka kasus korupsi dan diberhentikan sementara dari jabatan kades. Kebebasannya dirampas, sempat mendekam di balik jeruji besi hingga akhirnya dijadikan tahanan kota.
Nama baik serta martabat ia dan keluarga pun dipertaruhkan. Bahkan, Masyarakat Kinipan hampir kehilangan kades yang selama ini mendukung perjuangan mempertahankan hutan dan wilayah adat dari eksploitasi perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Mandiri Lestari.
Pasca memperoleh putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dan ditolaknya kasasi penuntun umum Kejaksaan Negeri Lamandau oleh Mahkamah Agung, memang kebebasan Willem sudah tunai. Belakangan, jabatannya sebagai kades juga sudah kembali. Namun, haknya untuk memperoleh rehabilitasi belum pernah ia dapat.
Dalam Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 Pasal 44 ayat 1 dan 2, disebutkan ada waktu 30 hari untuk rehabilitasi dan pengaktifan jabatan kembali yang seharusnya diterima kades ketika terbukti tidak bersalah dari suatu proses peradilan. Rehabilitasi, merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah pemulihan kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula).
Namun, baik penyidik polres dan penuntut umum Kejaksaan Negeri Lamandau, keduanya seakan lupa. Padahal, mereka hampir menjebloskan orang yang tidak bersalah ke Penjara. Hampir saja label koruptor melekat pada Willem. Namun, tidak ada ganti rugi, bahkan yang paling sederhana permintaan maaf. Inilah yang Willem gugat.
Hari itu, meski telah memiliki kuasa hukum, Willem tetap datang ke sidang praperadilannya. Ini adalah kali kedua ia hadir. Bahkan, sedari pagi ia sudah datang meski persidangan baru dimulai sekitar pukul 10.30 WIB.
Ruangan hampir penuh. Luasnya hanya sekitar setengah ruang sidang pengadilan Tipikor. Kursi-kursi kayu panjang semuanya terisi, tanpa berdesakan.
Saya duduk di depan, tidak mau ketinggalan poin-poin penting saat pembacaan permohonan Willem nanti. Sementara, Willem justru duduk di belakang saya. Tidak ada obrolan, kami sama-sama menunggu sidang berjalan.
Jika sebelumnya sidang tertunda karena ketidakhadiran Kemenkeu RI, kali ini Jakarta mengirimkan satu orang perwakilannya. Ia datang formal. Satu orang laki-laki, mengenakan kacamata dan setelan batik.
Batik seperti jadi tema pakaian hari itu. Di sana, tiga orang kuasa hukum Willem juga mengenakannya. Dua orang dari Kejaksaan Negeri Lamandau juga.
Sementara itu, di dalam ruangan tampak pula tiga orang laki-laki berperawakan tegap. Tampil berbeda, ketiganya kompak mengenakan kemeja dinas putih dan celana kain hitam, pakaian keseharian Aparatur Sipil Negara (ASN). Meski raut mukanya tegas, namun ketiganya tampak senang sekali tersenyum. Sesekali mereka juga melontarkan candaan terhadap satu sama lain.
Ketiga orang itu dari bagian hukum (bidkum) Kepolisian Daerah (Polda) Kalteng. Katanya, mereka inilah kuasa hukum polisi-polisi di Kalteng. Kedatangan mereka tentu saja sebagai perwakilan untuk Polres Lamandau.
Seorang Panitera masuk, para termohon dan pemohon ini pun bersiap. Mereka mengisi kursi-kursi di depan, sisi kiri dan kanan, dekat meja Hakim. Namun, Willem tetap duduk di kursinya. Kuasa Hukum sudah cukup menjadi perwakilannya di depan.
Tak perlu aba-aba, semua orang berdiri saat Hakim Erhammudin memasuki ruang sidang. Tentu wajah Hakim tidak asing lagi bagi Willem. Saya pun langsung mengenalinya. Ia Hakim Ketua yang mengadili Willem di Pengadilan Tipikor tahun lalu.
Setelah dipersilahkan duduk dan palu diketuk, Hakim segera memeriksa kehadiran para termohon dan pemohon. Saya akui sidang ini jauh lebih santai dibandingkan peradilan Willem di pengadilan Tipikor. Namun, Hakim tetap tak membuang waktu. Ia langsung mempersilahkan kuasa hukum Willem membacakan permohonan praperadilan.
Aryo Nugroho, salah satu kuasa hukum mendapat giliran pertama. Pengeras suara ia dekatkan. Ruangan hening, menyimak kata demi kata yang ia bacakan dengan menggelegar.
“Mangajukan permohonan praperadilan tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukumnya yang diterapkan,” baca Aryo.
Dalam poinnya, Willem dan kuasa hukum menyatakan bahwa para termohon telah bertindak tidak profesional dan tidak wajar. Kekeliruan mereka menentukan alat bukti unsur kerugian negara telah menyeret Willem menjadi tersangka.
Padahal, jika cermat seharusnya sejak awal mereka bisa menentukan bahwa penggunaan dana desa hanyalah upaya untuk melunasi hutang pembangunan jalan usaha tani di desa Kinipan. Sayangnya, hasil penyidik ini pula yang dilimpahkan ke kejaksaan. Inilah yang menyebabkan Willem sampai ke proses peradilan di pengadilan Tipikor. Bagian ini yang dikritisi oleh Willem dan kuasa hukum.
“Pemohon telah didakwa dan atau dituntut tanpa didukung alat bukti yang cukup dan sah sebagaimana prinsip-prinsip pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP,” lanjut Aryo. “Sehingga penuntutan yang dilakukan oleh termohon 2 tidak terbukti sah dan meyakinkan karena tidak berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”
Menariknya, Parlin B. Hutabarat, meneruskan pembacaan rekannya, mengatakan bahwa Willem sempat diminta untuk mengakui perbuatannya. Tentu saja hal ini ditentang Willem. “Tindakan termohon 2 menyuruh pemohon mengakui perbuatan yang dituduhkan dengan iming-iming tuntutan ringan merupakan sikap tidak professional sebagai penegak hukum yang tidak patut dan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana pasal 52 KUHAP,” baca Parlin.
Dari setiap penjabaran yang telah disampaikan, Parlin akhirnya sampai kepada alasan kenapa Willem mengajukan permohonan praperadilan ini. “Tujuan pemohon mengajukan permohonan ini ialah semata-mata agar ada pembelajaran bagi para termohon untuk tidak mengulangi lagi tindakan sewenang-wenangnya dalam melaksanakan penegakan hukum,” katanya.
“Demi lengkapnya permohonan ini maka pemohon menuntut termohon satu dan termohon dua secara tanggung renteng sebesar Rp. 10.000,” baca Parlin lagi. “Dengan tambahan tuntutan agar para termohon secara terbuka meminta maaf kepada diri pemohon, baik melalui media massa cetak dan atau elektronik selama 7 hari berturut-turut dengan tujuan supaya para termohon menyadari perbuatan tercelanya dan tidak lagi melakukan perbuatan merugikan tersebut kepada pihak lain demi tegaknya harkat dan martabat penegakan hukum di Indonesia.”
Saya menoleh ke belakang, melihat Willem. Ia duduk diam, namun matanya awas. Tak ragu, sesekali kepalanya mengangguk membenarkan isi permohonan yang dibacakan oleh kuasa hukumnya di depan.
Lalu, bagaimana respon para termohon? Bagi saya jawaban mereka menarik, tetapi sudah dapat diprediksi. Hanya saja poin-poin penjabarannya ternyata panjang juga. Tidak kalah dengan isi permohonan Willem. Perang argumen ini terasa mulai sengit.
Intinya, termohon 1 dari kepolisian menyatakan dengan lugas menolak seluruh dalil pemohon. Alasannya karena kabur dan tidak jelas. “Permohonan pemohon menjadi kabur dan tidak jelas sehingga patut tidak dapat diterima,” kata salah satu perwakilan dari mereka yang membacakan isi surat jawaban.
Sementara dari Kejaksaan Negeri Lamandau, dibacakan langsung oleh Dony Mahendra Sany, kepala seksi tindak pidana khusus, menyatakan bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan praperadilan. Maka, tentu saja praperadilan ini juga mereka tolak.
Menurutnya, sejak Willem bukan berstatus tersangka, ia tidak lagi memliki kualifikasi untuk mengajukan praperadilan. “Faktanya, pemohon praperadilan dalam persidangan ini adalah Willem Hengki yang pada tanggal 6 Februari 2023 tidak memiliki kualifikasi atau berstatus sebagai tersangka maupun pihak ketiga yang berkepentingan,” katanya.
“Oleh karena dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, juncto Pasal 79 KUHAP, juncto Pasal 80 KUHAP, juncto Pasal 81 KUHAP, juncto Pasal 97 ayat 3 KUHAP, maka adalah sah dan berkepastian hukum apabila pemohon dinyatakan tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan,” lanjut Dony membacakan.
Bagi keduanya juga, rehabilitasi tidak perlu dengan permintaan maaf lewat media cetak maupun elektronik. Sebab, dalam Amar atau perintah putusan bebas Willem telah tercantum pemulihan nama baik bagi dirinya. “Sesungguhnya rehabilitasi tersebut sudah diperoleh dengan adanya Amar yang mencantumkan mengenai rehabilitasi,” kata perwakilan dari Kepolisian.
Jawaban ini tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan pihak Kejaksaan. Bagi mereka Amar putusan saja bagi Willem sudah cukup.
Saya cukup tergelitik mendengar jawaban-jawaban ini. Ternyata untuk rakyat biasa, kata maaf dari Pemerintah sendiri susah sekali didapat. Apakah memang karena pemerintah tidak boleh salah atau tidak boleh mengaku salah? Memang kenapa kalau salah?
Saya jadi teringat berita yang pernah ramai muncul di beranda media sosial. Saat itu ada beberapa ibu yang diminta pihak Kepolisian untuk meminta maaf kepada publik karena joget tik-tok di jembatan Suramadu.
Saya tentu tidak setuju dengan kegiatan para ibu ini. Untuk apa mereka joget-joget di jembatan? Itu berbahaya. Takutnya mereka yang tertabrak atau orang lain yang mengalami kecelakaan karena menghindari aksi mereka.
Akhirnya mereka ditangkap. Liputan6.com menulis mereka dapat sanksi denda maksimal Rp 500 ribu karena melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya Pasal 287 Ayat 1 juncto Pasal 106 Ayat 4 huruf a dan b. Sudah ditangkap, dapat sanksi, masih juga disuruh minta maaf. Lengkap.
Video minta maaf mereka ini kemudian tersebar, tidak hanya di daerah tempat tinggal mereka saja tetapi di seluruh Indonesia. Sampai juga kepada saya yang sama sekali tidak pernah tahu jembatan suramadu itu seperti apa. Tujuannya agar perilaku para ibu ini tidak ditiru orang lain dan jadi efek jera bagi mereka agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Lalu, apakah hal seperti ini tidak bisa dilakukan kepada instansi Pemerintah jika mereka salah? Dalam hal ini, saya kagum dengan para ibu itu. Mereka berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dengan rendah hati mereka mau mengucapkan maaf. Padahal, saya yakin mereka sadar bahwa video permintaan maaf itu akan tersebar kemana-mana.
Apakah tersebarnya berita atau video permintaan maaf selama 7 hari berturut-turut itu nantinya yang para termohon ini takutkan? Pemerintah juga manusia, tidak luput dari salah. Biasanya warga negeri ini pemaaf. Banyak contoh kisah kekhilafan pemerintah yang dimaafkan. Jadi, kenapa harus menolak?
Tidak sampai dua jam, sidang hari itu selesai. Hingga tiga hari setelahnya (24/3/2023) sidang praperadilan Willem dilanjutkan kembali. Agendanya menyerahkan bukti dokumen dan mendengarkan keterangan 2 orang saksi yang dihadirkan kuasa hukum Willem.
Dua orang saksi tersebut menceritakan tentang bagaimana nama baik Willem tercemar akibat sempat dituduh koruptor, baik melalui pemberitaan media hingga obrolan dari mulut ke mulut. Ada juga keterangan saksi yang menceritakan kondisi Willem selama jadi tahanan kota di Palangka Raya.
Sidang praperadilan Willem ini masih akan terus berlanjut. Hari Senin (27/3/2023) nanti, sidang akan kembali digelar.
Tonton: https://web.facebook.com/SOBinfomedia/videos/192651876840820/
Menyaksikan persidangan Willem membuat saya teringat satu kisah yang dulu seringkali diceritakan saat duduk dibangku sekolah dasar. Kisah gajah dan semut.
Gajah yang betubuh besar dan berkuasa. Sementara, semut hanya hewan kecil yang giat bekerja. Ia tidak pernah mengusik gajah, tetapi gajahlah yang seringkali menganggu si semut. Gajah meremehkan semut karena ia kecil dan tampak tak berdaya.
Namun, suatu waktu semut melawan. Ia masuk ke dalam belalai si gajah dan mengigitnya hingga si raksasa kesakitan. Ia tumbang dan memohon agar semut menghentikan gigitannya. Setelah dapat pelajaran dari semut, akhirnya gajah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan jahatnya lagi.
Baca: https://www.popmama.com/kid/1-3-years-old/jemima/cerita-fabel-anak-kisah-gajah-dan-semut?page=all
Kisah gajah dan semut ini berakhir bahagia. Si semut menang. Ia berhasil menyadarkan gajah bahwa perbuatannya selama ini salah. Gajah pun akhirnya paham akan penderitaan semut yang dulu seringkali ia sakiti. Ia jera dan meminta maaf.
Sekarang, jika Willem dan masyarakat Kinipan adalah si semut, akankah mereka juga akan mendapat akhir yang bahagia? Akankah si semut bisa mengalahkan si gajah dalam kehidupan nyata?
Mungkinkah Willem menang? Bak kisah gajah dan semut, sekali lagi mungkinkah keadilan berpihak kepada Willem? (P. Juliana)