Bukan hal baru ketika Pemerintah pusat menaruh ambisi besar akan mimpi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai salah satu lumbung pangan di Indonesia. Ambisi yang terus berulang coba diulang untuk diwujudkan. Mulai dari pemerintahan Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi. Namun, realitanya berujung kegagalan. Apakah kita akan mengulang kembali kegagalan yang sama pada masa pemerintahan Presiden Parbowo?
Seolah pantang mundur, pada akhir tahun 2024, program terkait pangan kembali coba dieksekusi oleh Pemerintah. Kalteng masih jadi pilihan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalteng 2025-2045, pemerintah menargetkan Kalteng untuk menjadi Lumbung Pangan Nasional serta Pusat Konservasi Internasional.
Padahal kotroversi Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate sebelumnya belum juga reda. Ingatan akan kisah-kisah gagal panen padi hingga singkong masih melekat di kepala. Sungguh terasa masih sangat baru.

Namun, bukannya menarik pelajaran, ambisi yang sama seakan tak berniat dipadamkan. Program baru hampir serupa yang disebut Optimalisasi Lahan (Oplah), digadang-gadang akan lebih baik dari food estate. Program ini katanya tak akan membuka lahan baru tetapi memanfaatkan lahan tidur atau tak terpakai di beberapa daerah di Kalteng.
Belakang, setelah diteliti lahan-lahan itu ternyata tak sepenuhnya bebas masalah. Selain lahan gambut, ada juga lahan yang berstatus kawasan hutan. Lalu, beberapa lokasi Oplah juga masih berada di wilayah Eks-PLG. Pola ini terdengar tak asing bukan?
Visi besar yang ambisius ini tampaknya masih perlu kita pertanyakan. Di lapangan realitanya tak lagi baru. Entah sejauh mana target program ini dapat tercapai nantinya.
Visi Lumbung Pangan Nasional vs Tantangan yang Belum Terselesaikan
Sejak 2020, Kalteng telah ditetapkan sebagai salah satu provinsi dalam program food estate untuk mencapai swasembada pangan di Indonesia. Program ini memang menjanjikan potensi besar bagi Kalteng yang secara geografis memiliki lahan luas dan subur untuk pengembangan sektor pertanian, khususnya pada komoditas padi dan singkong.
Namun, meskipun program ini memiliki tujuan yang mulia, realita yang terjadi justru menunjukkan kemunduran. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Kalteng yang sebelumnya berada di peringkat 14 pada tahun 2019, justru merosot ke peringkat 28 pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan adanya masalah mendalam dalam implementasi program tersebut.

Padahal, tak kurang luasan lahan yang dialokasikan Kalteng untuk program ini. Untuk komoditas padi disiapkan lahan sebesar 165.000 hektar di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Sedangkan, untuk singkong ada sebesar 32.000 hektar lahan yang dialokasikan di Kabupaten Gunung Mas. Namun, keduanya tak memberikan hasil yang memuaskan.
Meski tak diakui sebagai kegagalan, food estate padi nyatanya tak lagi dilanjutkan sejak hasil panennya jauh dari harapan. Lahan-lahan lainnya yang disiapakan untuk ekstensifikasi padi juga berakhir menjadi gundukan-gundukan tanah bersemak belukar. Bantuan bibit, pupuk, dan kapur bahkan alat bajaknya tak bisa diaplikasikan secara maksimal.
Realita di food estate singkong tak kalah pedih. Hutan dibuka sekitar 600 hektar untuk menanam batang-batang singkong di hamparan tanah berpasir. Kontur tanah yang kurang subur membuat singkong tak dapat tumbuh dengan baik. Akhirnya, proyek mangkrak dan lahan tak jadi dibuka hingga 32.000 hektar.
Namun, dana tentu saja sudah digelontorkan besar-besaran. Apa kabar hal ini?
Nyatanya, kita tak siap. Banyak hal yang seharusnya jadi catatan dan tantangan yang mestinya kita bereskan. Mulai dari infrastruktur yang belum memadai, pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, hingga persoalan sosial dan ekonomi yang belum terselesaikan.
Dengan kata lain, meskipun tujuan besar untuk menjadikan Kalteng sebagai lumbung pangan begitu menggoda, pencapaiannya belum tampak jelas di horizon.
Kalteng Sebagai Pusat Konservasi Internasional: Antara Visi dan Realita Kerusakan Lingkungan
Sebagai provinsi terluas kedua di Indonesia, Kalteng memiliki potensi luar biasa dalam hal keberagaman hayati dan keanekaragaman ekosistem yang dapat dijaga dan dikembangkan. Meski begitu, kondisi lingkungannya rentan. Fakta ini tentu akan membuat visi Kalteng menjadi pusat konservasi internasional pastinya akan menjadi tantangan besar.

Salah satu indikator yang sangat mencolok adalah kerusakan hutan yang semakin parah di Kalteng. Berdasarkan data dari platform Nusantara Atlas, Kalteng kehilangan 37.183 hektar hutan dalam setahun terakhir, atau sekitar 100 kali luas lapangan sepak bola setiap harinya. Hal ini menggambarkan betapa besarnya ancaman terhadap upaya konservasi yang tengah digagas, mengingat kerusakan hutan yang semakin meluas dan sering kali didorong oleh kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
Keinginan menjadikan Kalteng sebagai pusat konservasi internasional seharusnya didukung oleh kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi hutan dan ekosistemnya. Tanpa upaya nyata untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang semakin rusak, visi ini akan tetap menjadi wacana belaka.
Perlu Keseimbangan antara Visi dan Realita
Di penghujung tahun 2024 ini, kita perlu mempertanyakan kembali apakah kedua visi besar ini; Lumbung Pangan Nasional dan Pusat Konservasi Internasional, bisa berjalan seiring dengan kondisi yang ada.
Kalteng, dengan segala potensi dan tantangan yang dimilikinya memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Tanpa memperhatikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, ketahanan pangan, dan pelestarian lingkungan, ambisi besar tersebut mungkin akan berakhir hanya sebagai impian.
Pemerintah dan semua pihak terkait perlu merenungkan kembali kebijakan dan langkah-langkah yang diambil dalam beberapa tahun terakhir. Apakah sudah cukup berkelanjutan? Apakah kesejahteraan masyarakat sudah benar-benar terjamin? Dan yang tak kalah penting, apakah keberlanjutan ekosistem di Kalteng dapat terjaga untuk generasi mendatang?
Tahun 2024 harus menjadi titik balik untuk memastikan bahwa ambisi Kalteng bukan sekadar retorika, tetapi dapat terwujud dalam kebijakan yang lebih cermat dan berkelanjutan. Hal ini penting agar Kalteng tak berada di persimpangan antara impian besar dan kenyataan yang semakin menjauh.
Jika tidak, bisa kita bayangkan bagaimana Kalteng pada tahun 2025.