Oleh: M. Habibi
Beberapa tahun terakhir, saya mengikuti kiprah dua jurnalis yang menaruh perhatian besar pada isu lingkungan dan konflik sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Mereka adalah Dionisius Tri Wibowo yang lebih dikenal sebagai Aldo Salis, wartawan Kompas dan Nugroho Budi Baskoro, jurnalis dari Mongabay Indonesia.

Saya memang belum lama mengenal mereka, mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun terakhir. Namun dalam rentang waktu itu, saya menyaksikan sendiri betapa besar kepedulian mereka terhadap berbagai isu krusial di Kalimantan Tengah, mulai dari kerusakan hutan, konflik agraria, hingga pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Keduanya dikenal sebagai jurnalis yang tekun dan tajam dalam menulis berita-berita investigatif, yang kerap luput dari sorotan media arus utama.
Awalnya saya pikir mereka akan terus berkarya dalam bentuk berita. Namun ternyata, mereka juga mampu merangkai kisah-kisah lapangan menjadi narasi panjang yang dituangkan dalam bentuk buku. Menurut saya, buku-buku ini bukan hanya penting, tapi juga menjadi dokumentasi sejarah sosial yang sangat berharga.
Saya pribadi lebih dulu mengenal Aldo dibandingkan Budi. Pertama kali kami bertemu pada tahun 2015, saat ia meliput kebakaran hutan dan lahan besar-besaran di Kalimantan Tengah. Sejak itu, saya mulai mengikuti karya-karyanya. Aldo bukan tipe wartawan yang datang, liput, lalu pergi. Ia membaur dengan masyarakat, mendengarkan cerita mereka, dan menuliskannya dengan empati yang dalam.

Buku pertamanya berjudul Kinipan: Suara dari Bawah. Buku ini menceritakan awal mula lahirnya komunitas adat Kinipan, bagaimana mereka mengelola sumber daya alam secara lestari, serta perjuangan mereka mempertahankan hutan dari ekspansi industri. Ceritanya kuat, penuh nuansa, dan menyentuh sisi kemanusiaan pembacanya.
Kemudian, bersama Pinarsita, pegiat dari Save Our Borneo (SOB), Aldo menulis buku keduanya dengan judul Senandung Hutan Kinipan. Buku ini menggambarkan secara lebih detail relasi masyarakat adat dengan hutan sebagai sumber pangan, pengetahuan lokal, dan identitas budaya. Praktik-praktik tradisional mereka dalam mengelola alam disampaikan dengan hangat dan penuh empati.
Saat ini, Aldo sudah tidak lagi tinggal di Kalimantan Tengah. Ia ditugaskan ke Jakarta dan kini lebih banyak beraktivitas di Pulau Jawa. Namun demikian, ia tetap menjaga komunikasi dengan saya dan teman-teman di SOB. Saya tahu betul, sebagian hatinya masih tertambat di tanah Kalimantan.
Di tengah kesibukannya sebagai jurnalis media nasional, Aldo bersama Budi kembali menulis buku ketiganya yang menurut saya cukup berani dan menohok “Hantu Tuan Kebun”. Buku ini terasa sangat berbeda, baik dari segi isi maupun nuansanya. Dengan sampul berwarna hitam dan judul bernada satire, buku ini menyajikan kisah-kisah pilu yang terhubung langsung dengan perkembangan industri kelapa sawit di Kalimantan Tengah.

Mereka mengambil studi kasus di dua kabupaten: Kotawaringin Timur dan Seruyan. Menurut saya, ini pilihan yang sangat tepat. Kedua wilayah ini memiliki areal kebun sawit terluas, dan tentu saja menyimpan berbagai persoalan. Buku ini mengulas sejarah masuknya industri sawit, dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya, kisah mereka yang tersingkir dalam perjuangan mempertahankan tanah, hingga sikap pemerintah yang sering kali tidak tegas atau bahkan ambigu dalam menyelesaikan konflik.
Sebenarnya, kritik terhadap industri sawit sudah tersirat sejak dua buku sebelumnya, meskipun fokusnya lebih banyak pada masyarakat adat Kinipan. Namun benang merahnya tetap sama, yaitu ancaman ekspansi sawit terhadap hutan dan kehidupan masyarakat adat.
Saya sendiri memang tidak banyak terlibat dalam proses penulisan buku-buku tersebut. Tapi saya merasa bangga dan terharu bisa menjadi bagian kecil dari kelahiran Hantu Tuan Kebun, juga Kinipan: Suara dari Bawah dan Senandung Hutan Kinipan.
Sejak diluncurkan pada 24 April lalu, animo publik terhadap Hantu Tuan Kebun cukup tinggi. Dari total 250 eksemplar yang kami cetak, tanggapan pembaca sangat positif. Mungkin karena judulnya yang menggelitik rasa penasaran, atau bisa jadi karena momennya bertepatan dengan langkah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang tengah menyegel sejumlah kebun sawit ilegal di Kalimantan Tengah.

Yang menarik, para pembaca buku ini datang dari berbagai latar belakang mulai dari dosen, peneliti, mahasiswa, penegak hukum, hingga orang-orang yang bekerja di industri sawit itu sendiri.
Saya ingin berpikir positif, mungkin mereka adalah pembaca yang benar-benar peduli dan ingin tahu lebih dalam. Harapan saya, dari proses membaca itu lahir pengetahuan baru, lalu kesadaran, dan pada akhirnya dorongan untuk mendorong praktik industri yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
Buku Hantu Tuan Kebun ini kami persembahkan untuk siapa pun yang sedang, pernah, atau akan terlibat dalam perjuangan mempertahankan hak, tanah, dan hutan. Meski versi cetaknya sangat terbatas, kami berkomitmen agar isi buku ini dapat diakses lebih luas. Karena itu, buku ini nantinya juga bisa dapat diunduh secara gratis melalui laman resmi Save Our Borneo.