“…Kalau saya salah, jangan dibela, saya bilang tidak usah dibela…”
– Willem Hengki, Kades Kinipan –
Hari ini (7/2/2022) sidang kedua untuk Kades Kinipan, Willem Hengki, dilaksanakan di Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Sudah dua kali juga sidang orang nomor satu di Kinipan ini ditemani teriknya sinar matahari kota cantik.
Mungkin alam dan leluhur tahu kalau ini kasus panas. Mungkin juga ini tanda bahwa leluhur memberi ijin agar aksi massa pendukung pembebasan Willem Hengki dapat terlaksana lagi hari ini. Padahal, sejak semalam hingga pagi tadi Palangka Raya masih diguyur hujan. Namun, seakan tanpa jejak, bahkan titik-titik air sudah disapu bersih teriknya matahari.
Saya dan tim tiba di ruang sidang kira-kira pukul 09.00 WIB. Ruangan yang sama seperti pertama kali saya dan tim meliput seminggu yang lalu. Bahkan, saya menempatkan kamera saya masih di posisi yang sama seperti sebelumnya, di sudut kiri ruang sidang.
Belum banyak yang datang. Di dalam hanya ada kami dan satu orang petugas operator yang mempersiapkan alat-alat untuk sidang hybrid. Willem dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan tetap mengikuti sidang dari tempat masing-masing. Ruang sidang nantinya hanya akan diisi oleh Majelis Hakim, penitra, dan ketujuh kuasa hukum Willem.
Sambil menunggu sidang dimulai, saya dan seorang rekan saya berbincang di kursi. Namun, tiba-tiba kami agak sedikit terkejut saat seorang Humas Pengadilan menghampiri kami dan meminta kartu tanda pengenal. “Coba saya lihat dulu kartunya,” katanya.
Saya sontak berdiri dan mencari seorang rekan saya lagi yang memang memegang surat tugas dan ijin peliputan kami. “Sebentar Pak, saya panggil teman saya yang di luar,” saya menjawab dan segera beranjak keluar.
Setelahnya kami menghapiri si petugas hendak menunjukkan surat, namun tidak terlalu digubris. “Oh, saya sudah tahu kalau yang itu. Coba sekarang buka tasnya, saya mau cek apa isinya,” katanya lagi.
Kami sempat berpandangan sejenak, agak aneh mengingat seminggu lalu tidak ada pemeriksaan dadakan seperti ini. Namun, kami kooperatif dan mengikuti permintaan petugas. Rekan saya pun mulai membuka tas ranselnya menunjukkan setiap isi di dalamnya. “Itu apa? Coba dibuka,” katanya lagi.
Sedikit tersenyum rekan saya membuka tas kecil yang ada di dalam ranselnya. “Ini peralatan mandi pak,” kata rekan saya itu. Bagi kami yang sering woro-wiri, membawa perlengkapan mandi sudah merupakan hal yang lumrah. Kemudian, saya pun berinisiatif membuka tas ransel saya dan menunjukkan isi di dalamnya tetapi hanya dilihat sekilas. Setelahnya petugas itu pergi.
Kami pun kembali hanya berpandangan sejenak, sampai si petugas operator menjelaskan kepada kami. “Nggak apa-apa kok, hanya pengecekan saja. Ini memang standarnya. Soalnya, kita hampir tidak pernah seperti ini. Biasanya ya sepi-sepi saja, tetapi sekarang pengadilan ramai bahkan ada aksi demo segala,” kata si operator berusaha menjelaskan kepada kami agar kami maklum.
Kami memang maklum. Namun, ini bukan pertama kalinya kami melakukan peliputan di ruang sidang. Biasanya kalau pun ada pengecekan, sudah dilakukan oleh petugas keamanan di pintu depan. Kejadian tadi memang pengalaman perdana kami. Itu saja.
Kira-kita pukul 10.00 WIB, Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Sidang kedua pun dimulai. Agenda hari ini adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan oleh kuasa hukum Willem. Pada momen ini lah, fakta mengejutkan terungkap.
Parlin B. Hutabarat, salah satu kuasa hukum menyampaikan bahwa sebelumnya mereka telah mencermati Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor PDS-01/LMD/01/2022 tertanggal 18 Januari 2022 yang dibacakan JPU pada persidangan tanggal 31 Januari 2022 lalu. Ia menegaskan sangat keberatan dengan isi surat dakwaan tersebut karena terdapat pelanggaran syarat-syarat materiil Surat Dakwaan sehingga harus dinyatakan batal demi hukum (null and void).
“Surat Dakwaan batal demi hukum dikarenakan tidak cermat dan tidak jelas dalam menerapkan pasal yang didakwakan yakni dakwaan primair Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tidak jelas dan tidak cermat apakah ayat 1 atau ayat 2),” kata Parlin saat membacakan isi ekspesi.
“Dan dakwaan primer dan dakwaan subsidair Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak jelas dan tidak cermat apakah ayat 1, ayat 2, ayat 3 atau ayat 4,” baca Parlin lagi.
Artinya, bagaimana mungkin pasal-pasal yang dikenakan JPU kepada Willem ini tanpa secara terperinci dan jelas menyebutkan ayat keberapa? JPU tidak menyebutkan apakah ayat 1, 2 atau seterusnya. Ini lucu. Seakan-akan Willem bisa dikenakan ayat mana saja, yang penting kena meskipun tak berdasar. Padahal bunyi dan lamanya masa hukuman pada masing-masing ayat berbeda.
Hal ini juga telah melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang kurang lebih isinya adalah mengatur syarat materiil Surat Dakwaan yakni harus menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap tindak pidana yang didakwakan. Apakah JPU terlalu terburu-buru ingin menjerat Willem? Atau mungkin saja tidak ada tindak pidana yang Willem lakukan? Mungkinkah ia dijebak? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini saya rasa wajar muncul.
Namun, satu hal yang pasti. Tidak ada dakwaan untuk Willem, artinya Hakim tidak perlu mengadili Willem. Surat Dakwaannya cacat. Fakta ini mengejutkan dan besar dampaknya. Namun, selanjutnya kita tentu berharap dan menyerahkan semuanya kepada keputusan Majelis Hakim.
Sebagai peliput hari itu saya juga menitikan air mata. Bukan sekedar hanya karena fakta yang saya dengar barusan tetapi saat saya melihat sang Kades Kinipan menangis. Ia menghapus air matanya cepat-cepat, sesaat setelah keberatan (eksepsi) selesai dibacakan oleh kuasa hukumnya. Tampak ingin segera menyembunyikan kesedihannya, namun tertangkap oleh mata saya.
Adapun kuasa hukum Willem berharap Hakim dalam Putusan Selanya mengabulkan 6 hal, yakni; Pertama agar Hakim menerima dan mengabulkan eksepsi Willem. Kedua, menyatakan Surat Dakwaan JPU batal demi hukum atau tidak dapat diterima. Selanjutnya, menghentikan pemeriksaan perkara pidana Willem di Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Keempat, meminta Hakim untuk memerintahkan Penuntut Umum mengeluarkan Willem dari rumah tahanan (rutan) segera setelah putusan. Kemudian, memulihkan harkat, martabat, dan nama baik Willem. Terakhir, membebankan biaya perkara kepada Negara.
Pada persidangan itu, Hakim juga memberikan kesempatan untuk Willem berbicara. “Saudara terdakwa, ada yang ingin disampaikan?” tanya Hakim mempersilahkan Willem.
“Ada Pak Hakim,” jawab Willem. “Saya sebenarnya sedikit terharu hari ini. Saya yang selama ini bekerja untuk masyarakat dan mendahulukan kepentingan masyarakat. Tetapi hari ini saya seperti sampah, bukan siapa-siapa. Saya titip anak dan istri saya,” katanya.
Meski hanya dapat melihatnya dari layar, namun jelas mata tidak bisa berbohong. Matanya yang sayu dan berkaca-kaca, berusaha menahan air mata keluar dan menyelesaikan kata-katanya. “Saya tidak sedikit pun ada niat. Jangankan memperkaya orang lain, apalagi memperkaya diri sendiri. Ini semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan berdasarkan Musrembang 2019,” aku Willem.
“Oleh karenanya, saya memohon kepada pembela saya untuk membantu saya. Kalau saya salah, jangan dibela, saya bilang tidak usah dibela. Itu pun saya tidak mengeluarkan sepeser pun untuk tim pengacara,” jelas Willem dengan nada getir di setiap kata-katanya.
Kata-kata Willem ini kemudian ditanggapi oleh Hakim Ketua. “Perlu diketahui terdakwa, seseorang dinyatakan bersalah itu bila ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Makanya saudara pada waktu menghadap di depan persidangan dalam keadaan merdeka. Tidak ada status apa pun dalam diri terdakwa,” jelas Hakim Ketua.
Sambil mendengarkan pejelasan Hakim, Willem tampak terus menghapus air matanya. Sesekali ia mengangguk meresponi penjelasan Hakim, sambil tangannya menggosok kedua matanya yang berair.
Sementara itu, pengalihan penahanan Willem dari rutan menjadi tahanan kota tampaknya masih harus menunggu. Hakim masih belum selesai mempertimbangkannya. Sedangkan minggu depan, agenda sidang adalah mendengarkan tanggapan dari JPU.
Secepatnya setelah sidang selesai di dalam ruangan, saya dan tim berpindah ke luar pagar gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Di sana sudah ada massa yang tegabung dalam Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan (GERSTUK) beraksi. Meski tidak seramai sebelumnya, namun massa yang di dominasi oleh mahasiswa ini terus mengawal berlangsungnya sidang. Mereka terus menyerukan pembebasan bagi Kades Kinipan. GERSTUK juga berjanji akan terus dan konsisten melakukan aksi pada setiap persidangan Kades Kinipan.
Hari ini sidang kedua Willem Hengki, Kades Kinipan, berakhir namun belum selesai. Fakta mengejutkan yang diungkapkan dalam persidangan ini harusnya bisa membawa Willem semakin dekat kepada kebebasan.
Harapan tertinggi kita memang kepada Tuhan. Namun, harapan terakhir kita adalah kepada Hakim yang jadi perpanjangan tangan Tuhan di bumi. Semoga keadilan akan dan tetap menang. Semoga Willem, Kades Kinipan, segera dibebaskan. (P.Juliana_SOB)