Save Our Borneo melakukan Regularly Ground Check Monitoring [RGCM] pada bulan Maret 2015, tepatnya pada tanggal 20-24 Maret 2015 diareal konsesi Hutan Tanaman Industri PT Wana Hijau Pesaguan [Djarum Group] di Kalimantan Barat.
Dalam pantauan tersebut ditemukan aktivitas land clearing pada hutan-hutan alam yang masih sangat bagus yang berada di kelerengan pegunungan perbatasan antara Kalteng dan Kalbar. Selain itu juga ada lokasi-lokasi yang dipagar batas oleh warga sebagai tnada larangan beraktivitas bagi PT WHP karena lahan yang akan dibuka menjadi areal HTI adalah milik masyarakat local yang digunakan untuk berkebun, berladang dan lain-lain.
Sangat disanyangkan dan miris ketika tim RGCM Save Our Borneo meninjau lenih dalam ke lokasi HTI yang sedang dilakukan land celaring dan sebagain sudah dilakukan penanaman, karena ribuan potong kayu bernilai komersial sudah dipotong untuk digantikan dengan tanaman monokulutur acacia mangium.
—————————————
Pembalakan hutan alam untuk Hutan Tanaman Insudtri [HTI] sungguh merupakan praktik menjijikan yang sulit dibenarkan secara nalar kepentingannya. Bayangkan saja, hutan alam yang sangat bagus, multi fungsi baik untuk alam lingkungan dan manusia, kemudian dibabat habis keragaman hayatinya lalu kemudian diganti dengan monokultur akasia atau sengon dan jenis tanaman cepat lainnya.
Praktik ini salah satunya dilakukan oleh sebuah perusahaan anak Djarum Group [PT. Wana Hijau Pesaguan atau PT WHP] di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Tengah yang hanya dipisahkan oleh garis imajiner adminsitrasi pemerintahan saja. Dengan demikian, dapat dipastikan nantinya dampak yang ditmbulkan juga akan mencapai wilayah Kalteng di Kecamatan Delang, Lamandau.
Saat ini saja, warga di beberapa desa yang tersentuh dampak itu sudah mengeluh, mulai dari semakin sulitnya mencari ramu-ramuan hutan, hewan buruan, areal ethno-agro forest dan bahkan tidak sedikit lahan perkebunan mereka yang terancam diratakan dengan tanah untuk diganti dengan tanaman cepat tumbuh dari HTI.
Djarun Group berdalih bahwa lahan-lahan masyarakat itu berada dalam konsesi ijin mereka dan berada di wilayah Kalimantan Barat, tetapi faktanya bahwa sejak lama sekali warga tidak mengenal batas adminsitrasi tersebut sebagai pemisah, ada kalanya warga asal Kalteng [Kecamatan Delang –Desa Kubung dan Sekombulan] berladang dan berkebun di Kalbar atau sebaliknya juga.
Derita Masyarakat
Di Kalimantan Barat, suatu hari terjadi kejadian paling kelabu bagi warga Desa Petebang Jaya akhirnya datang juga. Kala itu, 19 Oktober 2009, Kementerian Kehutanan RI mengeluarkan izin konsesi kepada PT. Wana Hijau Pesaguan (WHP). Anak perusahaan Djarum Group ini mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dengan No SK.179/MENHUT-II/2009 di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Tak tanggung, perusahaan ini berhak mengelola kawasan seluas 104.974 hektar. Termasuk di wilayah Kecamatan Tumbang Titi, Jelai Hulu, dan Kecamatan Hulu Sungai.
Menurut Darmadi warga Dusun Patebang, izin perusahaan itu sampai ke permukiman warga, termasuk ke kolong rumahnya. Karena Status kawasan di desa itu merupakan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT). Dengan status demikian, mimpi masyarakat untuk mendapatkan dokumen kepemilikan tanah pun harus terkubur rapat.
Apalagi ditopang dengan “kemurahan hati” pemerintah setempat mengeluarkan rekomendasi ke Kemenhut RI menyebabkan sejumlah kawasan kelola masyarakat kini berubah status.
Konflik Lahan
Di Desa Menyumbung, Kecamatan Hulu Sungai, adalah titik awal konflik tumpang-tindih lahan antara perusahaan PT WHP dengan warga. Pada Januari 2011, masyarakat setempat menyesalkan penebangan kayu oleh PT. WHP. Kekesalan itu akhirnya disampaikan sejumlah perwakilan warga kepada Bupati Ketapang, Henrikus.
Bupati periode 2010-2015 ini merespon laporan masyarakat dan berjanji akan meninjau izin perusahaan itu jika terbukti melanggar aturan. Dalam kesempatan itu Bupati Ketapang [Hendrikus saat itu] menyatakan bila perlu izinnya kita dibatalkan, tentunya melalui prosedur yang benar.
Sebulan kemudian, 11 Februari 2011, konflik susulan terjadi di Desa Menyabur. Warga setempat mengaku tertipu dengan kehadiran PT. WHP. Akibatnya, wilayah kelola adat seluas hampir 24 hektar terancam hilang.
Buntut dari tumpang tindih wilayah kelola ini berakhir dramatis. Perusahaan di hadiahi hukuman adat. Prosesi adat Dayak Krio ini di helat di halaman Kantor Dinas Kehutanan Ketapang. Ritual adat menyuguhkan atraksi tabur beras kuning, pemotongan satu ekor ayam jantan hitam dan babi. “Perusahaan dihukum adat untuk membayar denda adat pembohongan ini,” kata Petrus Singa Bansa, Raja Ulu Ai’k.
Akhirnya, Dinas Kehutanan Kalbar mengambil inisiatif untuk memediasi konflik masyarakat dari Desa Menyabur. Para pihak dipertemukan dalam satu forum dan disepakati pembatalan izin produksi di kawasan adat. Hutan adat seluas sekitar 24 hektar itu pun kembali ke pangkuan masyarakat setempat.
Dampak Negatif HTI
Kekuatiran terhadap dampak negative HTI selain daripada konflik dan peramapsan lahan serta areal berusaha bagi warga local juga dari aspek lingkungan, dimana Kawasan tersebut tidak layak dijadikan kawasan HTI karena kondisi topografi sangat curam ( > 45˚).
Kawasan yang menjadi areal HTI PT WHP merupakan kawasan resapan air hulu sungai, baik yang mengalir ke Kalteng maupun yang ke Kalbar. Perubahan fungsi kawasan ini bisa mengakibatkan bencana ekologi bagi seluruh masyarakat di sekeliling areal [Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Lamandau di Kalteng] yang bermukim di sepanjang sungai-sungai yang berhulu di kawasan HTI PT WHP.
Areal PT WHP diduga merupakan kawasan habitat satwa yang dilindungi seperti orangutan, burung tingang [rangkong] berbagai jenis primate seperti owa-owa, macan dahan, kucing hutan, siamang gibon dan lain-lain.
Secara Sosial dan Budaya, kawasan didalam dan sekitar areal PT WHP merupakan kawasan interaksi masyarakat dari puluhan desa, baik yang berada di Kalteng mapun yang di Kalbar, hal ini dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar warga yang pro dan kontra.
Selain itu pembangunan HTI sangat dapat mempengaruhi budaya bercocok tanam masyarakat sekitarnya. Di kuatirkan akan terjadi proses pemiskinan di desa sekitar kawasan karena hilangnya sumber daya hutan mereka seperti tanah atau lahan dan hasil hutan. Yang juga menyedihkan adalah karena pembangunan HTI dengan model monokultur dapat mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat dalam jangka pendek dan panjang. [saveourborneo]
###