Dalam keterangannya, saksi ahli pidana dalam kasus James Watt dan Dilik, Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang, menilai klarifikasi terhadap kepemilikan lahan adalah hal utama yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Penyelesaiannya bukan dalam ranah pidana tetapi perdata.
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang pertama bagi terdakwa James Watt dan Dilik dilaksanakan masih dengan metode konferensi video. Meski para pihak berada di lokasi terpisah-pisah, tetapi persidangan yang ketujuh kalinya ini berjalan dengan lancar pada hari Jum`at (15/05).
Saksi ahli pidana, Anugerah Rizki Akbari, SH., M.Sc, Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera dihadirkan oleh Penasehat Hukum (PH) dalam persidangan. Menyusul pada hari Senin (18/05) nanti, dua orang saksi ahli yang masing-masing membidangi Agraria dan Administrasi Negara juga akan dihadirkan.
Di dalam persidangan, saksi ahli menjelaskan tentang alasan kenapa seseorang bisa dipidana dan dikenakan Pasal 55 KUHPidana tentang penyertaan dalam tindak pidana. “Jadi ada dua unsur untuk bisa dipidana. Pertama, punya kesalahan dan kedua adalah perbuatannya harus memiliki sifat melawan hukum,” terangnya.
“Kalau kemudian dalam dakwaan jaksa menyebutkan secara spesifik, contohnya pelaku membujuk, menyuruh, atau dia turut serta, tetapi dalam kenyataannya perbuatan itu tidak terjadi. Artinya, jaksa tidak bisa membuktikan Pasal 55 itu benar. Maka terdakwa harus dibebaskan,” katanya lagi.
Sehubungan dengan kasus James Watt dan Dilik, mereka dikenakan dua pasal oleh Jaksa Penuntut Umun (JPU). Keduanya itu adalah pasal 107 Undang-Undang (UU) Perkebunan dan Pasal 362 KHUPidana pencurian.
Menurut Rizki, tuduhan pencurian yang didakwakan terhadap para terdakwa belum bisa dibuktikan. Begitu pun dengan pelanggaran yang mereka lakukan terkait dalam Pasal 107 UU Perkebunan. Sebab, belum ada kejelasan tentang status kepemilikan lahan seluas 117 hektar tersebut.
Apalagi, jika terbukti bahwa lahan yang disengketakan tersebut telah diserahkan oleh PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (PT. HMBP) kepada warga Penyang. Serta, status lahannya yang ternyata berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
“Ada masalah kepemilikan yang perlu diklarifikasi terlebih dahulu. Walaupun memang betul perusahaan yang menanam kelapa sawit di atas lahan itu. Tetapi kalau lahan telah dikuasai oleh warga, maka artinya perusahaanlah yang melanggar hukum,” jelasnya.
Karena itu, ia mendorong seharusnya kasus ini diselesaikan dalam ranah perdata yang lebih menyoroti tentang sengketa lahan antar warga Penyang dan PT. HMBP. “Persoalan ini membutuhkan penyelesaian di yudisial yang lain, yaitu pada konteks keperdataan,” katanya.
Menanggapi itu, Bama Adiyanto, SH, PH terdakwa merasa kasus ini semakin jelas. “Pertama, unsur pencurian dalam dakwaan tidak terpenuhi. Karena saat penangkapan, lokasi atau barang yang disengketakan dalam penguasaan terdakwa. Riwayat kepemilikan lahannya juga jelas milik mereka. Hal ini mematahkan unsur melawan hak,” katanya antusias.
Di samping itu, Muhammad Habibi dari Save Our Borneo, salah satu anggota Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang juga menganggap baik sidang yang dilaksanakan hari itu. “Majelis Hakim (MH), JPU, dan PH jadi bisa memahami kasus lebih terang,” katanya.
“Karena ini kan awalnya konflik agraria. Sehingga kalau dilihat dari pidana, kita jadi tahu bagaimana sebenarnya posisinya. Meskipun, pada akhirnya JPU akan tetap pada tuntutannya. Namun, setidaknya MH bisa membuat keputusan dengan seadil-adilnya,” harapnya.
Karenanya, kesempatan yang diberikan oleh MH untuk menghadirkan dua orang saksi ahli lagi pada persidangan berikutnya adalah sangat berharga. Tentu saja harapan terbesar agar James Watt dan Dilik dapat segera bebas dan keadilan pun menang.