Search
Close this search box.

PT HPA / Bumitama Gunajaya Agro Adu Domba Warga

“Meskipun Tidak Punya Legalitas Tetap Kuasai Lahan, Pemkab Impoten dan Tidak Bernyali Melakukan Eksekusi Pengambil-alihan”

[Saveourborneo] Pasca Keputusan Mahkamah Agung Nomor 435.K/TUN/2013 tanggal 23 Desember 2013  PT Hati Prima Agro bukannya meninggalkan lokasi seperti seharusnya sehubungan dengan pengukuhan SK Menhut yang diperkarakan di Mahkamah Agung, malah terus berusaha menguasai lahan secara membabi buta.    HPA disinyalir mengerahkan tenaga keamanan dan melibatkan unsur TNI, termasuk chief security internal mereka yang berasal dari TNI.

Keterlibatan TNI di HPA Modus penguasaan lainnya, sembari melakukan panen terus menerus, HPA berusaha mengaburkan inti persoalan dari ketiadaan legalitas perusahaan atas lahan dengan mendorong pendirian koperasi-koperasi bayangan yang seolah-olah merupakan mitra kerja perkebunan HPA.   Sejatinya koperasi ini baru dibentuk pada masa dimana HPA telah diperkarakan secara hukum atas legalitasnya pada tahun 2012.

Sebut saja beberapa koperasi yang disinyalir merupakan kaki tangan bentukan HPA, yaitu : Koperasi Talawang Bersatu, Koperasi Eka Harap dan Koperasi Hinje Atei.   Selain pendirian koperasi tersebut, BGA Group juga telah mendirikan perusahaan sekoci  yang setiap saat dan sedang diproses untuk menggantikan peran PT HPA yang tidak punya dasar legalitas atas lahan di Kecamtan Antang Kalang tersebut.  Perusahaan sekoci  dimaksud adalah PT. Langgeng Makmur Sejahtera [LMS].

Akan halnya koperasi-koperasi bayangan  dimaksudkan untuk meredam upaya warga local yang akan menuntut pengembalian lahan mereka disaat mana areal yang ada dalam kondisi tidak bertuan secara hukum, karena ijin-ijin HPA sudah tidak ada legalitasnya.   Sehingga dalam keadaan masyarakat yang dahulu tanahnya diambil untuk perkebunan HPA menuntut balik, maka koperasi dijadikan alat untuk mencegah hal tersebut dengan alasan bahwa lahannya dimiliki koperasi, karena untuk mengatakan lahan dimiliki oleh HPA sudah tidak ada dasar hukum lagi.

Seperti telah diketahui Mahkahah Agung menegaskan bahwa Lahan Areal PT Hati Prima Agro [HPA] yang merupakan anak perusahaan Bumitama Gunajaya Agro berlokasi di Kecamatan Antang Kalang Kotawaringin Timur – Kalimantan Tengah adalah “illegal”  karena lahan yang telah dibuka sejak tahun 2010-2012 adalah kawasan hutan, sementara Ijin Pelepasan Kawasan Hutan [IPKH] nya telah dicabut pada tahun 2008.  Kemudian Ijin Lokasi-nya juga dicabaut dan tidak diperpanjang oleh Bupati Kotawaringin Timur pada bulan April 2012.  Tetapi HPA masih tetap bercokol di lokasi dimana seharusnya HPA meniggalkan tempat tanpa syarat, bahkan harus memenuhi beberapa kewajiban dan beban hukum atas praktik pembalakan kawasan hutan [land clearing] tanpa hak atau ijin yang sah.

Diduga Sewa Aparat TNI sebagai Pengamanan

Laporan dari lapangan yang disampaikan oleh warga dan tokoh masyarakat Antang Kalang menyebutkan bahwa diareal HPA situasi kemanan dijaga oleh beberapa aparat TNI bersenjata tempur berupa SS-1 berasal dari kesatuan organic setempat dan dari Palangkaraya sebanyak 4 orang.   Selain itu, chief security dari Perkebunan BGA Regional I juga ditempatkan disana yaitu seorang anggota TNI [diduga] berpangkat Kolonel bernama R. Bambang Setyono.

TNI di HAP

Ironisnya, nampaknya mereka aparat bela Negara ini sangat tahu bahwa status HPA telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung bahwa IPKH nya pada saat melakukan pembukaan lahan tidak sah, kemudian Ijin Lokasi [IL] nya dari Bupati Kotawaringin Timur sudah tidak diperpanjang alias dibatalkan.  Tetapi keberadaan aparat Negara ini seolah sangat melindungi perusahaan yang jelas-jelas berpraktik secara tidak sah.

Adu Domba Warga

Ketiadaaan legalitas PT HPA atas lahan yang seharusnya sudah di eksekusi sita oleh Pemerintah [dalam hal ini Pemkab Kotawaringin Timur], tetapi tidak juga dilaksanakan akibat berbagai kendala dan lobby yang dilakukan, menyebabkan masyarakat yang sebelum ada HPA telah bekerja dan mengarap lahan disana untuk pertanian local dan perkebunan kembali menuntut hak mereka atas lahan tersebut.

Sebelumnya, pada tahun 2011 pernah dilakukan upaya Ganti Rugi Tanam Tumbuh [GRTT] atas lahan/kebun milik masyarakat, tetapi karena adanya masalah hukum pada PT HPA berkenaan dengan legalitasnya, maka proses GRTT dihentikan secara sepihak oleh HPA.  Selanjutnya, setelah adanya keputusan sah dan mengikat dari Mahkamah Agung yang menegaskan tidak adanya legalitas lahan perusahaan pada areal dimaksudkan [areal HPA], maka masyarakat yakin bahwa GRTT tidak mungkin dilakukan, sementara lahan kebun mereka sudah digarap oleh HPA pada masa antara 2010-2012 lalu.   Atas dasar hal tersebut, maka masyarakat dari Tubang Kalang, dalam hal ini terdiri dari Bapak Luhi, Sukari, Sugiman, A. Selesai, Roban, Hendrik, Bambang dan Tomi [Sekdes Tumbang Kalang] serta kuasa mereka Hermas Bintih [Ketua Dewan Adat Dayak/Sekretaris Damang Antang Kalang] menyampaikan surat pernyataan untuk menarik diri dari proses GRTT dan mengambil kembali lahan mereka seluas 700 ha.

warga kalang
Dalam surat tersebut disampaikan bahwa mereka akan melakukan pembongkaran portal yang berada diatas lahan mereka dahulu, menutup jalan akses kearah lahan mereka, menghentikan aktivitas HPA diatas lahan mereka dan mendesak HPA untuk menginventarisir ulang lahan bapak Luhi yang berada diluar areal HPA.

Surat diatas mereka sampaikan pada tanggal 23 Oktober 2014 dan sehari kemudian yaitu pada tanggal 24 Oktober 2014 Hermas Bintih cs ini diminta datang ke kantor utama HPA untuk dilakukan pembicaraan dan mediasi.

Dalam mediasi tersebut disampaikan bahwa lahan yang dimaksudkan dan diminta kembali oleh Hermas Bintih, Luhi dkk bukanlah lahan milik HPA, melainkan telah dijadikan lahan “kemitraan” yang dikuasai oleh koperasi Talawang Bersatu.

…….Perlu disampaikan lagi bahwa Koperasi TB ini adalah koperasi bentukan HPA sebagai bumper, dan salah satunya adalah dalam kasus ini masyarakat diperhadapkan dengan koperasi yang juga diisi oleh masyarakat local tetapi dikendalikan oleh HPA……

Tuntutan Hermas Bintih dkk adalah pengembalian 700 ha lahan mereka, yang mana 122 ha diantaranya berada DILUAR areal konsesi “illegal” HPA [artinya dalam hal ini HPA pada tahun 2010-2012 disamping membuka kawawan hutan diatas lahan yang IJINYA TELAH DIBATALKAN juga membuka diluar areal itu, yaitu ditanah-tanah masyarakat].

Tuntutan lainnya adalah supaya HPA berhenti melakukan panen dan perawatan di lahan seluas 700 ha dimaksud.   Sayangnya HPA dalam mediasi tersebut berkelit bahwa lahan tersebut bukan dikelola oleh mereka tetapi oleh koperasi dan yang melakukan panen adalah koperasi, sedangkan HPA hanya membeli buah sawit dari koperasi saja.

Penyerangan Fisik kepada Warga

Pertemuan yang dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2014 itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya memutuskan bahwa mediasi selanjutnya akan dipimpin dan menunggu keputusan Camat Antang Kalang, semuanya sepakat dengan kesimpulan tersebut.

Sayangnya, saat pertemuan usai dan Hermas Bintih dkk keluar dari ruangan pertemuan, seorang warga anggota koperasi yang diduga merupakan kaki tangan perusahaan bernama Anjar melakukan penyerangan fisik terhadap Hermas Bintih dengan menyemprotkan gas air mata [menurut chief security bahan ini hanya boleh dimiliki oleh petugas seperti polisi].  Sementara dua orang lainnya yaitu Usis dan Yulius berusaha menyerang Hermas Bintih dengan mencekik dan melilitkan seutas tali.

Beruntung Hermas Bintih dapat lolos dari penyerangan tersebut dengan dilerai oleh Security perusahaan  dan anggota TNI yang berada disana.  Selanjutnya pada sore hari itu juga Hermas Bintih melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Antang Kalang untuk meminta agar proses hukum atas penyerangan yang dilakukan kepadanya dituntaskan secara hukum.  Sayangnya, laporan tersebut tidak diproses sebagaimana mestinya, dibuktikan dengan tidak adanya Surat laporan Kepolisian yang biasanya diolah dalam setiap laporan masyarakat kepada polisi.

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo