Pekerjaan besar menanti para pemenang pilkada di tanah Borneo. Kerusakan dan kejahatan lingkungan, hingga keberpihakan pada masyarakat adat masih menjadi isu utama yang selama ini dipandang sebelah mata. Pertarungan kali ini bakal menunjukkan pemimpin yang menjaga hutan atau yang menggunduli hutan.
Tahapan pilkada serentak 2020 belum selesai dilaksanakan meski para pemilih sudah menggunakan hak pilihnya pada tanggal 9 Desember 2020 kemarin. Pesta demokrasi sedang berjalan, namun momen ini bukan hanya untuk mencari pemimpin. Bagi pulau Borneo, pilkada selalu menjadi momen untuk mencari pemimpin sekaligus penjaga lingkungan, adat dan budaya yang merupakan kekuatan utama pulau terbesar kedua setelah papua ini, jadi bukan hanya sekadar rutinitas demokrasi semata.
Dari data KataData, terdapat sembilan provinsi yang menyelenggarkan Pilkada 2020, tiga di antaranya provinsi yang memiliki hutan alam seluas 22 kali pulau Bali yang memiliki fungsi lindung dan produksi. Dari tiga provinsi tersebut 2 provinsi berada di Pulau Borneo/ Kalimantan. Ketiga provinsi tersebut adalah Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Sedangkan dari 224 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada terdapat 10 kabupaten yang memiliki 22,4 persen hutan alam dari seluruh hutan alam yang ada di Indonesia.
Selain itu, dari sembilan provinsi yang ikut dalam pesta demokrasi kali ini memiliki kawasan gambut seluas 13,9 juta hektar atau 64 persen dari total keseluruhan kawasan gambut di Indonesia. Dari data-data itu, bisa disimpulkan bahwa pilkada 2020 ini merupakan pertaruhan besar terhadap keberlangsungan lingkungan, sekali lagi, untuk melindungi hutan dan keseimbangan alam dari eksploitasi.
Di Kalteng, Total kawasan lindung ditambah kawasan budidaya luasnya mencapai 15,3 juta hektar. Itu adalah luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, totalnya sama dengan 1,3 kali luas Pulau Jawa.
Namun, kenyataannya, hutan di Kalteng sudah digerogoti dan dikuasakan ke berbagai aktivitas industri ekstraktif ; HPH, tambang dan sawit. Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng mencatat izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Hutan Tanaman, Restorasi Ekologi, Karbon (IUPHHK-HA/HT/RE/Kar) tahun 2017 hingga saat ini telah ada 91 unit usaha dengan luas mencapai 5,08 juta hektar.
Di sektor tambang, data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalteng menunjukkan terdapat 303 perusahaan tambang dengan total luas konsesi tambang mencapai 1,8 juta hektar.
Untuk sawit, data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng mencatat terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas 3,9 juta hektar. Namun, jumlah perusahaan yang beroperasi luasnya hanya 1,13 juta hektar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah mencatat setidaknya 72 desa masuk dalam kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalteng.
Jika ditotal semua perizinan itu luasnya mencapai 11,2 juta hektar baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun yang belum. Dari 15,3 juta hektar luas wilayah di Kalteng, 11,2 juta hektar sudah dan bakal dikonversi ke berbagai jenis usaha. Artinya, hanya 4,1 juta hektar atau 1,7 persen sisa lahan di Kalteng merupakan kawasan permukiman juga kebun-kebun masyarakat atau wilayah kelola lainnya.
Mari melangkah ke Kalimantan Selatan. Luas Kalimantan Selatan hanya 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan dan 1,96 persen dari luas Indonesia. Pertambangan dan penggalian menjadi sumber ekonomi utama.
Meskipun demikian, Pada 2014-2018, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian rata-rata 22,43 persen. Nilai PDRB Kalsel atas dasar harga berlaku tahun 2018 mencapai Rp 171,69 triliun. Dominasi sektor itu berlanjut hingga 2019, yaitu sebesar 18,71 persen dari nilai PDRB Kalsel yang mencapai Rp 180,74 triliun.
Meskipun peranan pertambangan dan penggalian masih paling besar, kontribusinya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jika pada 2014 peranannya masih mencapai 26,93 persen, pada 2019 peranannya hanya tinggal 18,71 persen, menurun 8,22 persen dalam waktu lima tahun. (Kompas, Sabtu, 03 Oct 2020).
Hampir sama dengan yang terjadi di Kalimantan Utara, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian dalam struktur perekonomian Kaltara pada 2019 cukup dominan, yakni 26,94 persen. Walaupun begitu, sektor ini hanya menyumbang pertumbuhan ekonomi kedua dengan 1,29 persen, di bawah usaha konstruksi sebesar 1,47 persen.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltara mencatat, terdapat 83 usaha pertambangan aktif di Kaltara. Meski pertambangan dominan berkontribusi bagi perekonomian, di sisi lain, sektor itu juga menghadirkan ekses penurunan kualitas air yang dikonsumsi warga. Di Malinau, misalnya, pada Juli 2017, warga di hilir Sungai Malinau kesulitan air bersih karena air sungai berangsur keruh. (Kompas, Senin, 05 Oct 2020).
Dari data yang dihimpun Save Our Borneo, tiga provinsi itu merupakan provinsi paling terancam deforestasi dengan beberapa indikator, antara lain hutan alam yang berlokasi di kawasan non alam, hutan alam yang lokasinya tidak dilindungi kebijakan penghentian izin baru, hutan alam yang terancam berada di kawasan penggunaan lain, dan hutan alam di izin konsesi. Dari tiga provinsi itu, setidaknya terdapat 2,6 juta hutan alam yang masuk di wilayah konsesi.
Deforestasi itu sudah memberikan dampak buruk pada hari ini seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kualitas oksigen menurun, siklus air yang terganggu, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Hal yang benar-benar harus diantisipasi oleh para calon pemipin ketika terpilih. Selama ini cara penanganan menjadi andalan, sedangkan pencegahan dan pelestarian masih jauh dari harapan. Selain itu prektek deforestasi dan alih fungsi Kawasan di Kalimantan kerapkali memunculkan praktek koruptif, Koalisi Anti-Mafia Hutan dalam siaran persnya pernah menyebutkan korupsi kehutanan oleh praktik buruk industri tambang, kebun dan hutan secara tidak prosedural di Kalimantan sudah mencapai Rp 273 triliun, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan yang terbesar, yakni mencapai Rp 158 triliun.
Di Kalimantan Tengah, pilkada hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Keduanya dalam debat maupun dalam berita di media memiliki visi terkait lingkungan. Namun, terlihat keduanya tidak melihat persoalan lingkungan sebagai sebuah catatan kritis yang harus diperbaiki ke depan.
Keduanya masih mempertimbangankan ekonomi sebagai isu utama. Dari penjelasan di paragraph-paragraf sebelumnya sudah terlihat bagaimana ketergantungan terhadap alam tidak bisa menjadi sumber ekonomi terus-menerus.
Hampir diseluruh wilayah Kalimantan Sumber ekonomi yang paling mudah didapat adalah eksploitasi sumber daya alam.
Penggiat Save Our Borneo Safrudin mengungkapkan, pilkada, baik itu Pilkada Kabupaten / Kota maupun Pilkada Provinsi adalah lumrah sebagai ajang umbar janji manis, cari muka dan juga ajang tebar pesona guna mendulang suara para calon Kepala Daerah.
Apa yang bisa diharapkan dari hasil Pilkada yang dalam mendulang suara hanya menonjolkan umbar janji-janji manis dan tebar pesona seperti itu kalau bukan untuk memilih pimpinan daerah yang punya pesona atau mampu menampilkan pesona wajahnya yang seolah-olah sangat pro-rakyat, pro perubahan, pro-lingkungan dan pro-pro lainnya. Atau yang lebih ekstrim nya justru akan menimbulkan sebuah kekisruhan Pilkada [seperti Pilkada di Kotawaringin Barat pada 2010 lalu contohnya] yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali semakin memperjelas borok dan topeng politik dari pimpinan daerah yang sesungguhnya tidak siap kalah dan hanya siap menang.
Ingat juga kejadian pada tahun 2013 KPK pernah membongkar kasus mafia perkebunan dan pertambangan di KalimantanTengah yang sudah menggurita akibat praktek KKN pejabat dan politikus di daerah dan pusat dengan para pengusaha busuk, juga pada moment Pilkada. Penangkapan terhadap Hambit Bintih (bupati terpilih, meninggal pada 2016), CornelisNalau salah seorang pengusaha, dan Chairun Nisa seorang Anggota DPR RI, mereka ditangkap terkait sengketa PilkadaKabupaten Gunung Mas tahun 2013. Cornelis Nalau, selaku pengusaha perkebunan kelapa sawit yang bertindak sebagai cukong atau ATM hidup Bupati Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, atas penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Visi Lingkungan
Kepala Daerah selaku Pimpinan Daerah, baik ditingkat Provinsi ataupun Kabupaten yang terpilih harus memenuhi kreteria utama ; bebas KKN, Anti Korupsi dan berjiwa Demokratis.
Disamping itu, hendaknya berpandangan “hijau” yang punya visi pengelolaan lingkungan dan Sumber Daya Alam yang tidak hanya bersifat eksploitatif. Karena selama ini pimpinan daerah hanya mampu mengeruk SDA saja tanpa berpikiran jauh ke masa depan.
Memang selama ini dalam prakteknya, partai politik dalam melakukan rekrutment terdap calon-calon yang akan di usung hanya untuk kepentingan pragmatis jangka pendek saja, sepertinya tidak pernah melihat kapasitas calon tersebut dalam mengelola lingkungan dan SDA dengan baik, justru membuka peluang selebar-lebarnya kepada orang yang tidak mampu mengelola lingkungan dan SDA dengan visioner jangka panjang kedepan.
Seperti petuah para tetua dahulu “suatu awal yang buruk pasti akan berakhir dengan kemudaratan (keburukan) bagi semuanya.
Apabila calon-calon yang maju dalam Pilkada di daerah-daerah di Kalimantan Tahun ini merupakan sosok yang “tidak ramah lingkungan” dan tidak berpihak kepada rakyat/ masyarakat Adat atau bahkan justeru lebih berpihak kepada investor busuk, maka sudah seharusnya masyarakat menolaknya dengan tidak memilihnya pada Pilkada yang tetap dilaksanakan ditengah Pandemi Covid-19 ini.
Namun apa mau dibilang. Pilkada sudah berjalan. Sekali lagi, ini adalah pertarungan menjaga hutan atau menggundulinya. (Sfn_508 || Dia_508)