Search
Close this search box.

Plasma Bukan Pilihan Utama

Ketimpangan yang dirasakan oleh petani plasma bagaikan sebuah cerita yang tak kunjung habis dalam sejarah panjang mereka memperjuangkan perbaikan taraf hidup. Plasma merupakan pola kemitraan antara petani dengan bapak angkat (pengusaha perkebunan) yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Pola ini dalam rangka menunjang pembangunan pada sektor pertanian, terutama sub sektor perkebunan sebagai upaya peningkatan pendapatan para petani. Ditengah-tengah upaya pemerintah mendorong masuknya investasi asing dan lokal, tentu kebijakan ini merupakan salah satu langkah strategis pemerintah dalam rangka pemberdayaan peningkatan kesejahteraan petani serta terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat di daerah.
Kebijakan tersebut mendapat respon yang luar biasa dari para petani di Indonesia. Para petani berlomba-lomba untuk menyerahkan tanah mereka kepada investor untuk dijadikan areal perkebunan sawit dan lain sebagainya.
Berbagai areal perkebunan sawit mulai dikembangkan, seiring dengan itu para petanipun mulai menggantungkan harapan mereka akan kebijakan pola plasma tersebut. Tapi harapan tersebut masih sebatas harapan dan bahkan telah berubah menjadi sebuah persoalan saat ini.
Ditengah-tengah keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola plasma, ternyata kebijakan pemerintah tersebut tidak berada diruang hampa, tetapi kebijakan tersebut berada didalam suatu ruang yang sarat dengan kepentingan yang saling tarik-menarik, apakah itu para pengusaha (bapak angkat), penguasa pada saat itu, pengurus koperasi dan lain sebagainya. Sehingga timbul pertanyaan bagi kita semua, bagaimana nasib dan harapan mereka dalam lingkaran ketidakberdayaan dan kemiskinan ?
Sebagaimana lazimnya dalam setiap bentuk kemitraan pola plasma, para pengusaha perkebunan yang ditunjuk sebagai bapak angkat tidak jarang telah melakukan segala daya upaya untuk mempertahankan kepentingannya, demi mengejar keuntungan yang lebih besar dari setiap tandan segar buah sawit itu sendiri.
Pada saat semua orang berpikir keuntungan semata, maka hampir dipastikan kecurangan, ketidaktransparan dan bahkan pihak-pihak yang lemah sering terkorbankan.Dalam sistem perkebunan pola plasma, pihak yang lemah selalu ditempati oleh para petani plasma. Hal tersebut tidak hanya karena para petani plasma tergantung kepada kebun inti tetapi juga karena adanya keterikatan utang-piutang keduanya.
Hal lain juga tercermin dari banyaknya para petani plasma yang tidak tahu lembaga keuangan mana yang telah memberikan kredit KKPA untuk membangun kebun plasma mereka, sehingga mereka juga tidak tahu berapa Plafon kredit, jangka waktu pinjaman dan sistem pembayaran kredit yang mesti ditanggung, ditambah lagi atas ketidakmampuan mereka untuk mengevaluasi sistem kemitraan yang telah dijalin.
Kondisi ini akan semakin parah apabila terjadi hubungan perselingkuhan antara pengurus koperasi yang mewadahi para kelompok petani dengan pihak kebun inti.   Pada tingkat kedua, konversi dengan para petani yang tidak jelas, padahal sistem perkebunan plasma ada tahapan yang mesti dituju yaitu tahap petani mandiri, artinya mereka (petani) secara berkelompok yang mengurus langsung areal perkebunan mereka masing-masing mulai dari perawatan, panen, dan sampai pengelolaan hasil panen mereka.
Hal ini telah terjadi di beberapa kelompok petani plasma. Tetapi tidak sedikit diantara perusahaan yang masih enggan untuk melakukan konversi kepada petani, bermacam alasan dan keberatan dikemukan oleh perusahaan, seperti ketidak-siapan para petani untuk mengelola kebun, lahan yang masih bermasalah, luas areal plasma masyarakat yang tidak diolah sesuai perjanjian oleh kebun inti, pembiayaan berasal dari kredit komersial, lahan kelompok tani yang berdempet, areal yang tidak mencukupi dan sebagainya. Padahal dalam pembangunan kebun yang pertama kali selalu dibangun kebun inti, sedangkan kebun untuk para petani plasma selalu belakangan bahkan diareal yang bermasalah apakah itu masalah struktur tanah, batas tanah ulayat, dan seterusnya.
Ketimpangan dan ketidakadilan untuk mereka tak kunjung habis, sehingga kesabaran merekapun punya batas, maka timbulah keinginan mereka untuk kembali memperjuangan hak-hak mereka yang telah terbuldoser oleh berbagai kepentingan ditengah hamparan kebun sawit dan inilah masalah tingkat ketiga. Mereka dengan terpaksa harus melakukan demonstrasi demi memperjuangkan hak-hak mereka, namun kekesalan dan kemarahan mereka sampaikan kepada pemerintah daerah.
Namun ditengah-tengah mencari penyelesaian pihak perusahaan seperti tidak peduli dengan nasib mereka dan bahkan pemerintah daerah kabupaten sebagai fasilitator dalam penyelesaian permasalahan tidak jarang diabaikan para pengusaha. Padahal kalau disadari dengan hati nurani oleh para pengusaha sawit, areal perkebunan yang dikelola perusahaan untuk perkebunan merupakan tanah warisan leluhur dari nenek moyang mereka yang telah dimiliki semenjak ratusan tahun lalu.   Tapi demi pembangunan negara dan peningkatan ekonomi, dengan rela mereka serahkan/percayakan kepada investor untuk pengelolaannya dengan pola kemitraan, ternyata hasilnya investor telah meraup keuntungan ditengah-tengah tanah warisan leluhur mereka, sementara mereka baru sebatas buruh ditanah sendiri.   Kalau kondisi terus terjadi, maka apa yang menjadi komitmen pemerintah untuk mewujudkan good governance sulit terwujud. Karena dalam good governace dibutuhkan keseimbangan antara tiga pilar utama, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Artinya antara ketiga pilar tersebut tidak ada yang kuat dan lemah, ketiganya harus seimbang dan dinamis. Pada saat pengusaha lebih kuat dari rakyat dan pemerintah, maka kemiskinan dan kesenjangan akan semakin meningkat di negeri ini, atau begitu sebaliknya. Apalagi disaat pemerintah ingin mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Berbagai pihak perlu memahami tentang disharmonisasi investor dengan rakyat di daerah, atau lambannya pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah. Pertama hal ini akibat sistem pemerintahan kita tempo dulu, kedua akibat terjadinya proses demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, ketiga terjadinya sistem pemerintahan yang lokal demokratis, keempat rendahnya komitmen para investor itu sendiri dalam membangun community development untuk warga masyarakat, kelima masalah kepastian hukum, keenam rendahnya nilai tawar masyarakat, seterusnya pengurus koperasi yang tidak transparan dan sebagainya.
Dalam dunia investasi, berbagai masalah tersebut telah mendatangkan kerugian bagi pemerintah, padahal pemerintah sedang berupaya menarik investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia, bahkan pemerintah daerah sendiri telah melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam peningkatan pelayanan perizinan bagi para investor. Namun permasalahan yang terjadi juga sebahagian dari akibat sumbangsih perilaku para investor itu sendiri.
Sepanjang belum ada keseimbangan antara pemerintah daerah, dunia usaha/investor dan masyarakat maka konflik sosial sulit untuk dihindari.  Konflik sosial juga bisa muncul jika ada kepentingan korporasi besar, artinya konflik bukan saja karena faktor sosiologis, tetapi juga karena tumpang tindih dengan kepentingan neoliberal yang membawa masuk investasi.
Kalau dilihat dari kondisi dan masalah yang terjadi saat ini bagi petani plasma, maka kebijakan sistem kemitraan antara pengusaha/pemilik modal dengan petani telah mengalami penyimpangan pada tataran implementasi kebijakan.
Untuk itu sudah saatnya kebijakan tersebut dievaluasi kembali sebagai feed back dalam proses perumusan kebijakan pola kemitraan antara petani dengan pengusaha perkebunan kalau kita semua sepakat untuk memperbaiki nasib para petani, apalagi saat ini pemerintah sedang giat-giatnya membangun program pengentasan kemiskinan. Dan kita yakin kalau sistem petani plasma dikelola dengan benar, transparan dan akuntabel maka program ini mendorong percepatan pengentasan kemiskinan.

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo