PALANGKARAYA, KOMPAS – Denda ganti rugi materiil dinilai belum menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan lahan. Pencabutan izin dan merestorasi kembali lahan yang terbakar dinilai mampu memberikan efek jera terhadap konsesi pembakar lahan.
Hal itu disampaikan Direktur Save Our Borneo (SOB) Safrudin menanggapi putusan sidang kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 pada Rabu (23/10/2019) lalu antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan PT Arjuna Utama Sawit (AUS). PT AUS pun didenda Rp 261 miliar karena terbukti lalai dan menyebabkan 970,44 hektar lahan konsesinya terbakar.
“Bencana 2015 lalu belum ada satu perusahaan pun yang ijinnya dicabut, meskipun terbakar, dan bencana yang sama terjadi di tahun ini. Tidak ada efek jeranya kalau hanya denda uang,” ungkap Safrudin di Palangkaraya, Minggu (27/10/2019).
Dalam kasus KLHK dan PT AUS, Safrudin mengungkapkan, selain lahan yang terbakar, perusahaan tersebut beroperasi di wilayah moratorium gambut. Menurut Safrudin, penegakan hukum juga harus melihat celah lainnya.
Bencana 2015 lalu belum ada satu perusahaan pun yang ijinnya dicabut, meskipun terbakar, dan bencana yang sama terjadi di tahun ini. Tidak ada efek jeranya kalau hanya denda uang, ungkap Safrudin
“Cabut ijinnya lalu restorasi lahan gambut yang sudah rusak di sana, baru ada efek jera. Kalau hanya mendakwa salah satu manajer atau direktur, itu belum memberikan efek jera,” ungkap Safrudin.
Dari pantauan Kompas, di lokasi perkebunan PT AUS yang saat ini sudah ditanami sawit, meski di areal lahan gambut dengan kedalaman sekitar satu hingga dua meter.
Lokasi perkebunan yang berada di Desa Jahanjang, Kabupaten Katingan, Kalimantan tengah itu berada sekitar 176 kilometer. Saat ini pohon kelapa sawit di lokasi sudah busa dipanen dengan tinggi sekitar satu hingga tiga meter.
“Kami memang apresiasi penegakan hukum terkait karhutla, tetapi kalau tidak dicabut ijinnya kebakaran akan terus terjadi di tahun-tahun berikutnya,” ungkap safrudin.
Riwayat perkara antara KLHK dan PT AUS dimulai sejak tahun 2018. KLHK resmi menggugat ke Pengadilan Negeri Palangkaraya dengan beberapa tuntutan seperti ganti rugi.
Tuntutan lain meminta PT AUS untuk tidak menanam di lahan perkebunan yang terbakar, meminta terdakwa untuk mencabut semua pohon kelapa sawit yang sudah terlanjut ditanam, dan ganti rugi senilai Rp 700.000 untuk setiap pohon yang ditanam di wilayah terbakar.
Pada persidangan Rabu lalu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya Kurnia Yani Darmono mengungkapkan, pihaknya mengabulkan gugatan KLHK. PT AUS juga diminta untuk memulihkan lingkungan yang terbakar.
“Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar Kurnia di sela-sela sidang.
Memberatkan klien
Seusai sidang, kuasa hukum PT AUS Armand Hasim dari kantor pengacara Daud Silalahi dan Lawencon Associates langsung mengajukan banding. Mereka tidak menerima keputusan hakim yang memberatkan kliennya PT AUS.
“Putusan yang diberikan tidak mempertimbangkan fakta-fakta juga bukti-bukti yang kami ajukan,” ungkap Armand.
Menurut Arman, pihaknya sudah menyajikan fakta-fakta dan saksi-saksi yang menguatkan bahwa kebakaran bukan berasal dari wilayah konsesi tetapi fari luar yang kemudian merambat. Hal itu terjadi karena tahun 2015 terjadi kemarau panjang ditambah fenomena El Nino.
“Setelah itu (kebakaran) itu langsung (tanam) kok, jadi langsung difungsikan kembali. Kondisi saat ini sawit sudah tumbuh dan tanah sudah kembal normal,” ungkap Armand.
Dia mengungkapkan kalau tak ada unsur kelalaian dalam peristiwa kebakaran saat itu. Cuaca memperburuk keadaan sehingga api meluas dan membesar lalu masuk ke wilayah perkebunan perusahaan.
“Ijin yang diberikan pemerintah kan kebun, jadi sudah difungsikan kembali. Tanahnya sudah normal dan itu dibuktikan oleh hasil laboratorium,” katanya.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo mengungkapkan, pihaknya menyambut baik putusan hakim terhadap gugatan tersebut. Menurutnya keputusan hakim merupakan bentuk keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
“Kami apresiasi ya, vonis itu memperkuat upaya kami untuk menegakkan hukum lingkungan hidup,” ungkapnya.
Di tahun 2019, KLHK sudah menyegel 80 lahan milik perusahaan di Indonesia karena terbakar. Di Kalteng, terdapat sembilan korporasi yang lahannya disegel dan dua diantaranya sudah ditetapkan tersangka.
Sedangkan dari data Polda Kalteng, kasus pembakaran hutan dan lahan di tahun 2019 mencapai lebih kurang 136 kasus dengan jumlah tersangka 67 orang dan masih akan terus bertambah. Dari 67 orang itu, satu di antaranya merupakan tersangka yang berasal dari korporasi, sedangkan sisanya merupakan pembakar lahan yang sebagian besar adalah peladang berpindah.
Menurut Safrudin, kebakaran yang terjadi di lahan konsesi pada tahun 2019 secara tidak langsung merupakan efek dari penegakan hukum yang lemah. “Tahun-tahun berikutnya akan begini terus,” ujarnya.
Editor AGNES SWETTA PANDIA