Oleh Siti Aisyah Pratiwi
Minggu pagi yang cerah. Suasana Desa Sekonyer, tepi hutan Taman Nasional Tanjung Puting, sedikit berbeda. Ada keriuhan kecil. Anak-anak yang biasanya sekolah, meramaikan jalan utama desa. Mereka beradu ketangkasan bermain gasing.
Tujuh anak usia sekolah dasar yang bermain di jalan depan rumah Ketua RT 01 itu serempak menarik tali pemutar gasing, lalu melemparkannya ke tanah. Gasing berputar deras. Pemilik gasing yang paling lama bertahan dalam putaran adalah sang pemenang. Gelak tawa dan olok-olok lucu terdengar ketika ada gasing yang terpelanting keluar arena permainan. Cukup lama mereka bermain, lebih dari setengah jam.
Tapi, permainan ini mungkin akan hilang jika tak ada pembuat gasingnya. Beruntungnya di Sekonyer, para orangtua masih menyempatkan waktu membuat mainan ini untuk anak atau cucunya.
Tidak jauh dari kerumunan anak-anak bermain, di atas jembatan kecil, pada kanal yang mengalir di pinggir jalan itu, seorang lelaki paruh baya terlihat asyik memahat kayu. Supian (60) namanya. Ia sedang membuat gasing untuk cucunya. Yang ia pahat, potongan kayu jenis ulin (Eusideroxylon zwageri) sebagai bahannya.
“Gasing ini mainan kami sejak muda dulu, terbuat dari kayu ulin. Jauh sebelum saya lahir, gasing ini sudah ada. Sejak nenek moyang zaman dahulu,” lanjutnya.
Sambil memahat kayu, ia bercerita tentang serunya bermain gasing di masa kanak-kanaknya dulu. Ia bilang, pada masanya, gasing dijadikan perlombaan antar siswa di sekolah.
***
Secara administrasi, Desa Sekonyer yang berada di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah ini memiliki wilayah luas. Hanya saja, sebagian besar wilayah itu masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.
Area pemukiman inti masyarakat saat ini merupakan relokasi dari dalam kawasan taman nasional, tempat mereka tinggal dan berladang zaman dulu. Seiring pengembangan riset dan rehabilitasi orangutan di hulu Sekonyer, mereka diminta pindah sejak era 1970-an ke lokasi saat ini, di sisi utara Sungai Sekonyer. Hanya kompleks pemakaman saja yang tak ikut pindah, sampai saat ini.
Berbeda dengan lokasi sebelumnya, yang berada di tanah kering, lokasi pemukiman desa saat ini berada di lahan rawa gambut yang nyaris berair setiap waktu. Jalan desa, yang menjadi lokasi bermain anak-anak bahkan dibangun dengan timbunan tanah yang didatangkan dari luar desa.
Di lokasi yang dulu, mereka bisa memproduksi komoditas pangan sendiri. Kini tidak bisa lagi. Di lokasi sebelumnya, masyarakat biasa berladang, menanam padi. Sejak pindah, tradisi berladang berubah. Tapi mereka tetap menanam padi. Mereka sempat diperkenalkan bertanam padi dengan model sawah karena lahannya basah. Dengan cara baru ini, mereka pernah sukses.
Tapi, sebagaimana diakui sejumlah warga, perubahan mutu air menjadi penyebab bertanam padi selanjutnya gagal. Mereka menduga, penambangan ilegal di hulu Sungai Sekonyer menjadi penyebab memburuknya kualitas air itu. Daya dukung lingkungan di sekitar mereka kemudian juga makin merosot, kala perusahaan perkebunan sawit masuk ke Sekonyer.
Pada akhirnya, sebagian besar warga Sekonyer pun bekerja pada perusahaan sawit itu. Mayoritas sebagai buruh di kebun, di bagian perawatan atau pemanenan. Sebagian masyarakat juga mendapat kebun plasma dari perusahaan. Tapi tak luas, kurang dari setengah hektar per keluarganya.
***
Sebagian warga memilih bertahan dengan cara lain. Keterampilan dalam olah kriya jadi salah satu andalan. Keterampilan ini bukan hanya mengolah gasing. Beberapa warga Sekonyer mampu memahat kayu, menghasilkan kerajinan tangan berharga.
Mengambil keuntungan strategis dari Taman Nasional Tanjung Puting sebagai The World’s Capital of Orangutans, kriya kayu yang dominan mereka ciptakan adalah replika orangutan dan satwa lain yang ada di sana. Replika ini bisa untuk pajangan, gantungan kunci, atau mata kalung. Wisatawan Tanjung Puting sebagai target pasarnya.
Muhammad Ikrra (38), salah seorang yang menekuni kerajinan pahat patung ini. Lelaki asli Desa Sekonyer ini juga biasa menjadi pemandu wisata. Karena latar belakang itu, ia menerima jabatan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desanya.
Ikrra mempelajari keterampilan memahat kayu dari para orangtua di Sekonyer. “Kami memakai kayu ulin karena lebih kuat. Tapi karena kayu ulin sekarang sudah langka, jadi kami biasanya mengambil bongkahan kayu bekas bangunan saja,” jelasnya.
Ikkra bisa menghasilkan tiga buah kerajinan tangan dalam satu hari produktif. Sekitar 500 patung pahatan sudah dihasilkannya sejak pertama kali memahat sampai sekarang.
“Kami menjual patung ini dengan kisaran harga Rp50 ribu sampai Rp600 ribu, tergantung besar dan tingkat kerumitannya,” ucap Ikrra.
Ia tidak sendiri. Teman-teman sekelompok Ikrra juga membuat patung dengan motif yang variatif. Ada yang membuat patung berbentuk buaya, bekantan, juga burung. Bahkan ada yang membuat peralatan dapur, seperti sendok dan garpu.
Dari kreativitas mereka bisa mendatangkan hasil lumayan. Di musim ramai pengunjung, mereka bisa memperoleh hingga Rp3 juta sebulan. Sedangkan di bulan-bulan biasanya sekitar Rp1 juta.
Karya kerajinan tangan itu bisa dilihat di etalase mereka di kawasan Dermaga Sekonyer, tak jauh dari feeding station orangutan Tanjung Puting. Selain itu, sejumlah warga juga menjual kerajinan tangannya di rumah masing-masing. Ini dilakukan, salah satunya oleh Hadran (57).
Hadran punya homestay. Namanya Homestay Iyan. Di sanalah ia memajang kerajinan tangan itu. Ia bilang, yang paling banyak disukai wisatawan adalah kerajinan gantungan kunci. “Sampai pernah ada bule yang mau membeli gantungan kunci milik saya pribadi, yang tergantung di pintu,” kata Hadran sambil tersenyum mengenang.
***
Menariknya, mereka berkarya bukan semata karena hasrat memenuhi kebutuhan materi. Ada spirit untuk berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Mereka biasa menyisihkan penghasilan dari penjualan kerajinan tangan, untuk membeli bibit pohon ulin dan menanamnya kembali. Ini mengingat kayu ulin sudah sulit untuk dicari.
Mereka terkadang juga memahat karena kebutuhan spiritualitas. Masyarakat Sekonyer masih rutin menggelar upacara adat Babarasih Kampung. Ritual ini merupakan warisan dari leluhur mereka. Untuk upacara ini mereka mesti memahat kayu, membuat patung.
Ritual ini diselenggarakan setiap lima tahun. Tujuannya untuk menghormati dan menghargai alam dan hutan di sekeliling mereka. Melalui ritual ini mereka juga memohon pertolongan pada Tuhan dan para leluhur untuk menjauhkan kampungnya dari mara bahaya.
Dalam ritual, diperlukan dua buah patung sebagai media komunikasi dengan leluhur. Mereka juga mesti membuat replika pondok kecil dari kayu sebagai media untuk menggotong seserahan berupa 40 jenis kue tradisional. Keterampilan memahat patung diperlukan agar sepasang patung lelaki dan perempuan, dan replika pondok itu terlihat apik. Seserahan kemudian digotong bersama replika pondokan dan patung, diantarkan ke berbagai penjuru mata angin yang menjadi batas kampung.
Bukan hanya memanfaatkan bahan kerajinan dari pohon hutan. Warga Sekonyer yang tak bekerja di perusahaan sawit, masih ada yang menggarap anyaman dari purun (Lepironia articulata) dan gelang atau cincin dari bruta. Anyaman purun di rumah Hadran, berwujud tikar dan tas. Istrinya lebih sering menganyamnya. Purun adalah tumbuhan yang habitatnya berada di dataran berair atau rawa gambut
Sedangkan bruta adalah sebutan lokal dari salah satu jenis paku-pakuan. Dalam istilah latinnya, ia disebut Dicranopteris curranii. Ia banyak tumbuh di antara semak belukar di areal terbuka dari tutupan tegakan pohon. Biasanya, bruta yang bisa dipakai untuk kerajinan tangan dari jenis dengan ukuran besar dan berwarna hitam. Jenis ini dinilai lebih kuat dan tahan lama.
Dari bruta, tidak hanya gelang atau cincin jadi yang bisa dibawa wisatawan. Warga Sekonyer juga bisa menjadikan bruta sebagai atraksi wisata. Wisatawan bisa mendapatkan pengalaman mendapatkan gelang bruta yang dianyam langsung di pergelangan tangan mereka oleh pengrajinnya.
Dalam kepercayaan adat Dayak, gelang bruta memiliki spirit untuk menjaga pemakainya dari gangguan hal-hal buruk. Mereka juga percaya, lebih baik yang membuat bruta adalah lelaki. Ini karena lelaki dianggap sebagai simbol penjaga dan lebih kuat.
Banyak orang Sekonyer yang bisa membuat gelang bruta. Adalah Kusnadi (62), salah seorang, yang mula-mula mempelajarinya. Ia belajar dari seorang Dayak Sekayu Darat, bernama Hatta. Lelaki dari kampung Tempayung, Kotawaringin Lama ini beristrikan orang Sekonyer dan menetap di sana.
Hatta boleh dibilang sebagai pelopor yang membawa kerajinan-kerajinan tangan di Sekonyer menjadi produk ekonomi kreatif hingga dikenal lebih luas. Kusnadi bilang, mendiang Hatta tidak pelit ilmu. Ia juga mengajarkan cara memahat kayu ulin.
***
Kembali ke bruta. Ketersediaan bahan baku menjadi kendala belakangan ini. Secara lingkungan hidup ini sebenarnya bukan masalah. Ini karena areal terbuka tempat bruta bisa berkembang sudah sangat berkurang di sekitar pemukiman. “Sekarang hutan-hutan sudah tinggi dan rimbun. Jadi susah mencari bruta,” jelas Kusnadi.
Kendala yang lebih serius sebenarnya bukan soal bahan baku. Yang menjadi tantangan lebih jauh bagi produk ekonomi kreatif Sekonyer adalah perluasan pasar. Muhammad Alwan, pejabat yang mengurusi kepariwisataan dan ekonomi kreatif di Dinas Pariwisata Kotawaringin Barat, menyatakan, selama ini, produk kerajinan tangan Sekonyer dikenal berharga tinggi karena pasarnya wisatawan asing. Menurutnya, harga yang sama sulit diberlakukan jika menyasar pasar domestik.
“Dinas Pariwisata Kotawaringin Barat mendampingi Desa Sekonyer mulai dari pendaftaran, proses pengembangan ekonomi kreatif, persiapan kompetisi untuk memenuhi syarat, sampai pada akhirnya meraih juara,” jelasnya.
Alwan menambahkan, pihaknya akan tetap memfasilitasi warga, memberikan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan desa wisata, seperti pengembangan kuliner, pengelolaan homestay, sampai dengan digital marketing.