Meskipun dituduh korupsi, Willem Hengki, kades Kinipan mati-matian dibela warganya. Bahkan, keberadaan jalan usaha tani Pahiyan berkali-kali dinyatakan benar ada dan terus digunakan warga hingga saat ini.
Saya tidak berpikir sidang Willem Hengki, kades Kinipan, akan mulai lebih cepat hari ini (28/4/2022). Belakangan, sidang selalu mulai sekitar pukul 09.30 hingga 10.00 WIB. Namun, hari ini hampir saya tertinggal.
Saya tergesa-gesa masuk ke halaman gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Padahal baru pukul 09.12 WIB. Setelah memarkirkan kendaraan, secepat kilat saya melangkah ke arah lobi. Di belakang saya, seorang rekan dari Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (Walhi Kalteng) juga ikut mempercepat langkahnya. Tanpa keluar sepatah kata pun dari mulut kami, seakan sepakat kuatir terlambat, gerak tubuh kami terburu-buru.
Biasanya, dari kaca jendela dan pintu yang ada di lobi, kami masih bisa melihat Willem dan para kuasa hukumnya duduk menunggu. Namun, sekarang seorang pun yang kami kenal tidak ada di sana kecuali petugas pengadilan yang berjaga di meja lobi.
Sesampainya di ruang sidang, saya langsung duduk di kursi dan mengeluarkan buku catatan. Syukurnya, sidang belum masuk pada bagian inti. Seorang saksi tampak telah hadir di ruang sidang. Ia duduk menghadap ketiga hakim, sementara di sekitarnya para kuasa hukum Willem dan jaksa juga telah bersiapdi posisinya masing-masing.
Namanya Sastra Gunawan (44). Ia saksi fakta pertama yang dihadirkan kuasa hukum Willem. Setelah memberikan sumpah, ia kembali duduk tegap di kursinya. Mengenakan baju putih rapi berkerah dengan rambut ditata klimis, ia tampak sangat siap bersaksi.
Di persidangan, Gunawan menjelaskan mengapa ia hadir sebagai saksi sebagaimana yang ditanyakan oleh Parlin B. Hutabarat, salah satu kuasa hukum Willem. Ia menjelaskan bahwa kehadirannya adalah sebagai salah satu warga Kinipan yang mengetahui pembangunan jalan usaha tani Pahiyan pada tahun 2017, serta pengguna tetap jalan ini.
Menurut Gunawan, jalan usaha tani Pahiyan memang benar ada. Bahkan, ia mengaku jika kebun miliknya persis berada di jalan itu. Sebab, keberadaan jalan mengambil sekitar 300 meter dari luas kebunnya. “Kebun saya persis di jalan itu. Tanah saya kena pembangunan jalan itu sekitar 300 meter,” katanya.
Selain itu, saksi juga mengaku sangat terbantu dengan adanya jalan usaha tani ini. Gunawan menceritakan sebelum jalan Pahiyan ada, ia dan keluarga harus melewati jalan memutar karena tingginya semak dan pepohonan. Mereka harus melewati jalur yang disebut Durian Tunggal, karena dulu memang hanya ada satu pohon durian yang tumbuh di jalur itu.
Sekarang, mereka dapat lebih leluasa menuju ladang. “Jalan itu sangat layak. Keberadaan jalan itu juga sangat membantu masyarakat,” tegasnya. Setelah jalan Pahiyan dibuka, tidak hanya motor, Gunawan mengaku bahkan dapat menggunakan mobil menuju kebunnya. Gunawan juga mengatakan bahwa bohong jika ada yang mengatakan jalan Pahiyan tidak dapat dilalui. “Itu bohong,” tegasnya sekali lagi.
Sementara itu, berita tentang pembuatan jalan Pahiyan yang belum dibayar oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Kinipan kepada CV. Bukit Pendulangan diakui Gunawan juga santer beredar di masyarakat. Berita-berita itu juga mengatakan bahwa kemungkinan jalan akan ditutup oleh kontraktor apabila Pemdes tidak juga membayarkan hutangnya. Ia dan masyarakat merasa rugi apabila jalan Pahiyan ditutup.
Meski tidak tahu secara pasti, ia mengetahui bahwa penagihan oleh kontraktor ini menjadi pembahasan di desa. Sehingga, apa yang dilakukan kemudian oleh Willem sebenarnya memang benar hanya untuk membayar hutang desa.
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamandau diberi kesempatan oleh Hakim Ketua, Erhamuddin, untuk bertanya kepada saksi. “Sebagai warga Kinipan, saudara sayang kepada Desa Kinipan atau Pemerintah Desanya?” tanya Okto Silaen, JPU yang memulai pertanyaan kepada Gunawan.
Sama seperti Gunawan, saya sempat terdiam sesaat mendengar pertanyaan JPU. Saya bukannya terkejut, tetapi sedikit bingung dengan relevansi pertanyaannya. Namun, kemudian saya paham kemana JPU ingin menggiring si saksi. “Sayang kepada Desa,” jawab Gunawan kemudian.
Okto melanjutkan lagi pertanyaannya. “Sebagai warga Kinipan, saudara terima kalau anggaran desa dihambur-hamburkan?” tanyanya. Tentu saja pertanyaan ini dijawab tidak oleh Gunawan. Memang siapa yang terima kalau hal seperti itu terjadi?
Gunawan kemudian dicecar berbagai pertanyaan oleh JPU. Seakan sedang menguji si saksi, JPU bertanya mulai dari apakah Willem pernah memberi tahu saksi tentang hutang desa termasuk tentang adanya temuan dari inspektorat. Tentu saja pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh Gunawan. Sejak awal, ia sendiri telah menyatakan diri sebagai warga awam yang hanya mengetahui adanya pembangunan jalan dan menggunakannya.
Kemudian, JPU kembali menguji Gunawan dengan soal lain. “Pada tahun 2017, ada berapa jalan yang dikerjakan CV. Bukit Pendulangan?” tanya JPU. Beruntung, ia lulus dari pertanyaan ini. “Ada 3. Jalan Urawan, Jelayan, dan Pahiyan,” jawab Gunawan. Jarak dari satu jalan ke jalan lainnya juga ditanyakan oleh JPU.
Seakan pantang menyerah ingin memperoleh jawaban yang ia inginkan, JPU masih mengajukan pertanyaan lain ke Gunawan. Ia bertanya tentang ada atau tidaknya warga dari luar Kinipan yang memiliki kebun di daerah jalan Pahiyan. Dengan apa adanya, Gunawan menjawab ada. Namun, pertanyaan selanjutnya membuat dahi saya mengernyit. “Apa Ratno punya kebun di situ?” tanya JPU lagi. “Tidak ada,” jawab Gunawan.
Sekedar mengingatkan kembali, Ratno yang JPU maksud di sini adalah Edi Ratno, mantan Direktur CV. Bukit Pendulangan. Sebelumnya, beberapa waktu lalu, Ratno juga hadir di persidangan sebagai saksi fakta JPU. Saya jadi lebih memahami lagi kemana jaksa ingin menggiring Gunawan setelah pertanyaan ini. Sayang, jawaban Gunawan tidak seperti yang ia harapkan.
Baca: https://saveourborneo.org/konspirasi-penguasa-menjerat-kades-kinipan/
Bagian lainnya yang menarik dari tanya-jawab JPU dan Gunawan adalah ketika JPU bertanya mengenai berita yang beredar di masyarakat. Sebelumnya, Gunawan mengungkapkan bahwa ada berita yang beredar di masyarakat mengatakan jalan Pahiyan akan ditutup kontraktor jika hutang pembuatannya tak kunjung dibayar. “CV. Bukit Pendulangan mengancam mau menutup jalan itu, dari siapa desas-desusnya?” tanya JPU.
“Dari masyarakat,” jawab Gunawan. Namun, tampak tak puas, JPU mengulang kembali pertanyaanya. Bahkan, lebih spesifiklagi ia bertanya tentang siapa orangnya dan mengancam siapa.
Gunawan terlihat kebingungan menjawab pertanyaan JPU. Sebab, ia memang tidak mengetahui secara pasti siapa orangnya. Berita itu memang menyebar begitu saja di masyarakat. “Saya dengar dari masyarakat. Saya tidak tahu sumbernya dari mana,” aku Gunawan lagi. Meski belum juga puas, JPU akhirnya mengakhiri saja pertanyaannya.
Sebelum mengakhiri kesaksiannya, saat diberi kesempatan oleh hakim, Gunawan ijin menyampaikan pernyataannya yang terakhir. “Bagi semua yang hadir di persidangan ini, untuk Jaksa yang terhormat, Hakim Yang Mulia, dan semua,” kata Gunawan memulai pernyataannya.
“Kami berharap, saya bukan mewakili Kinipan, tapi saya sebagai warga Kinipan. Sekali pun saya bukan asli orang Kinipan. Tetapi anak dan istri saya orang Kinipan, makan saya di Kinipan, tidur saya di Kinipan, berak saya di Kinipan, dan mungkin mati pun saya di Kinipan,” ungkap Gunawan haru.
Dalam kalimat selanjutnya, Ia kembali mengungkapkan betapa Willem sangat berarti bagi masyarakat Kinipan. “Masyarakat Kinipan itu sangat cinta dengan Willem Hengki,” ungkapnya lagi. “Urusan seperti ini, urusan bayar hutang disangkakan korupsi. Berarti Pak Jokowi bayar hutang Negara bisa sangkakan korupsi juga itu?” lanjutnya.
Namun, sebagai masyarakat awam, ia menyadari tidak terlalu memahami tentang hukum. Sehingga harapan terbesarnya memang hanya kepada Majelis Hakim. “Kami cuma tahu makan, minum, kerja, berak, pribahasannya,” jelasnya lagi. “Harapan kami, berikanlah hati nurani, berikan keadilan yang seadil-adilnya,” katanya.
Bagi Gunawan, tidak diragukan lagi betapa masyarakat Kinipan mencintai desanya. Buktinya, mereka sering kali hadir di persidangan kadesnya. Bahkan, sampai hari ini mereka tetap menuntut agar Willem dibebaskan.
“Bapak sering menangani kasus korupsi yang ada di Kalteng. Pernah nggak ada kades yang didakwa korupsi, tetapi masyarakatnya justru membela?” kata Gunawan kepada Hakim. “Hanya kami Kinipan (yang begini). Kami merasa bahwa dia (Willem) tidak korupsi,” lanjut dan tegas Gunawan diakhir pernyataannya.
Pernyataan Gunawan ini pun dicatat oleh Hakim sebagai bukti persidangan. “Saudara memberikan kesaksian di persidangan adalah sebagai alat bukti. Jadi suara Bapak kami dengar seperti saksi-saksi dan alat bukti lain di persidangan ini. Saya catat semua,” jelas Hakim Ketua.
Akhirnya, sidang yang berlangsung kurang lebih selama satu jam itu pun ditutup ketukan palu Hakim. Pada tanggal 19 Mei 2022 nanti, persidangan baru dilanjutkan kembali dengan agenda mendengarkan saksi fakta dan ahli dari kuasa hukum Willem. Perjuangan untuk menuntut kebebasan Willem masih belum selesai.
Namun, fakta-fakta sudah banyak terbuka lewat persidangan ini. Kasus ini tidak hanya tentang Willem. Ini tentang perjuangan Kinipan. Di dalam perjuangan ini tidak hanya ada peluh dan isak tangis Willem, tetapi juga seluruh masyarakat Kinipan.
Willem harus bebas dan Kinipan juga harus memperoleh hutan dan wilayah adatnya. Keberadaan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat harus diakui, sama seperti kebebasan Willem harus segera diperoleh. (P. Juliana_SOB)