Dalam persidangan kasus tindak pidana korupsi (tipikor) Willem Hengki, Kepala Desa (kades) Kinipan, terungkap adanya konspirasi dari Penguasa. Konspirasi yang menjerat si kades dan menjegal upaya masyarakat Laman Kinipan mempertahankan hutan dan wilayah adatnya.
Sama seperti hari Kamis lalu, pagi itu (7/4/22) cuaca kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) cukup terik. Meski panas, gedung Pengadilan Tipikor tetap kembali ramai dengan awak media. Saya juga menjadi salah satu dari beberapa pemburu berita ini, duduk dengan tenang sambil membaca novel karya Leila S. Chudori, Laut Bercerita, menunggu Majelis Hakim masuk ke ruang sidang.
Novel yang saya baca ini berkisah tentang Laut, aktivis dan mahasiswa zaman orde baru yang disekap dan disiksa karena melakukan perlawanan pada masa rezim. Membaca betapa brutalnya perlakukan pemerintah pada saat itu seringkali membuat bulu kuduk saya berdiri. Sungguh, harga perjuangan begitu mahal. Tidak hanya siksaan, bahkan nyawa pun harus dikorbankan.
Pemandang serupa, namun tak sama saya saksikan di depan mata sendiri. Belasan mahasiswa masih berpanas-panasan memperjuangkan keadilan di depan gedung Pengadilan Tipikor. Tidak hanya mereka, Willem Hengki, kades Kinipan juga sedang dipertaruhkan nama baik dan nasibnya di meja persidangan. Waktu memang bergerak maju, namun ganasnya kekuasaan seperti rezim masih terus berulang.
Sekitar pukul 09.00 WIB ketiga Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Masih sama seperti minggu lalu, agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan para saksi fakta. Ada 3 orang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamandau.
Saksi pertama, Tripeno, konsultan perencana. Suasana ruang sidang cukup hening. Tripeno pun cukup tenang menjawab pertanyaan JPU. Pada dasarnya, Ia memang konsultan yang dibayar jasanya untuk membantu Pemerintah Desa (Pemdes) Kinipan membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) beserta gambar perencanaannya.
Tripeno bercerita ia sendiri memang telah diberitahu oleh kades untuk membuat RAB jalan usaha tani Pahiyan. Jalan ini telah dibangun tahun 2017 lalu, tetapi biaya pembangunannya belum dibayarkan kepada kontraktor. Kades menyampaikan bahwa biaya pembangunan yang tertulis saat itu adalah sebesar Rp. 400.000.000 ,- (empat ratus juta rupiah), tetapi Ia meminta Tripeno untuk menghitung ulang berapa sebenarnya biaya yang seharusnya pihak desa bayarkan.
Berdasarkan perhitungan Tripeno, total biaya pembangunan jalan pada tahun 2017 adalah Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah). Sementara itu, untuk biaya pembersihan jalan yang dilakukan tahun 2019 adalah sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah).
Menariknya, sama seperti Roni dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lamandau, Tripeno juga menggunakan Peraturan Menteri (Permen) PUPR No. 28 Tahun 2016 tentang Analisis Harga Satuan Pekerjaan sebagai acuan dalam membuat RAB. Di lapangan, ia juga melakukan pengukuran menggunakan meteran, sama seperti Roni.
Baca: https://saveourborneo.org/titah-pimpinan-di-balik-kasus-kades-kinipan/
Antara nominal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang disampaikan Roni dengan dua ratus tujuh puluh juta rupiah yang dijelaskan Tripeno, mana yang lebih masuk akal untuk biaya pembangunan jalan di desa Kinipan? Tripeno juga mengaku tidak diintervensi saat melakukan perhitungan untuk RAB. “Saya tidak diintervensi oleh terdakwa saat melakukan perhitungan,” aku Tripeno di persidangan.
Namun, Tripeno juga menerangkan bahwa umumnya RAB memang dibuat sebelum pekerjaan dilakukan. Pada kasus Kinipan, persoalannya memang berbeda. Kita pun sudah mengetahui bahwa hal ini harus dilakukan Willem agar permasalahan hutang piutang turunan Pemdes Kinipan dengan kontraktor dapat selesai.
Baca: https://saveourborneo.org/misteri-jalan-pahiyan-laman-kinipan-nyata-atau-rekayasa/
Sementara itu, untuk saksi kedua JPU menghadirkan Edi Ratno, mantan Direktur CV. Bukit Pendulangan. Ratno menceritakan ia menjabat sebagai direkur sampai tahun 2019, tetapi saat ini ia menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamandau.
Ratno menjadi salah satu saksi yang jujur saja sangat saya tunggu hadirnya di persidangan. Saya penasaran dengan alasan Ratno yang kala itu bersedia mengerjakan jalan Pahiyan meski pembayarannya dilakukan belakangan. Pertanyaan ini pula lah yang ditanyakan oleh JPU kepada Ratno.
Menurut Ratno, Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) adalah dasar utama mengapa ia berani mengerjakan jalan Pahiyan. Saat itu, antara perusahaannya dengan Emban, yang menjabat sebagai kades Kinipan, telah sepakat akan melakukan pembayaran pada tahun 2018 dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2018.
Ia sampai megeluarkan dana pribadinya sendiri, yang kemudian ia ralat dan sebut sebagai dana perusahaan. Namun, JPU belum puas dengan jawaban Ratno. Mereka kembali bertanya kenapa Ratno sampai bersedia mengeluarkan dana sendiri untuk proyek ini. “Karena itu jalan untuk masyarakat,” jawab Ratno tanpa ragu.
Ratno memang tampak berbeda dari saksi-saksi yang sejauh ini saya saksikan di persidangan. Ia manjawab pertanyaan JPU dengan lugas. Bahkan, ia berani berdebat dengan JPU saat didesak pertanyaan mengenai tahun RAB yang tertera di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik.
Pada tahun 2017, Ratno mengaku mengerjakan jalan Pahiyan sesuai dengan RAB yang kala itu dibuat oleh konsultan lapangan bernama John David. Namun, pengakuannya ini kemudian dicecar oleh JPU. Sebab, dalam BAP yang telah ditandatangani Ratno tertulis bahwa RAB tersebut dibuat pada bulan Mei 2018.
“Saya tidak pernah mengatakan itu di BAP,” kata Ratno tegas. Namun, JPU tak juga puas. Bersama ke hadapan Majelis Hakim, JPU menunjukkan bukti RAB yang ada dalam dokumen BAP. “Jadi saudara membantah ini?” kata JPU.
Meski benar mengakui bahwa memang RAB itu yang ia gunakan, tetapi ia tetap menyanggah tahun yang tertulis. Menurutnya, saat itu ia memang tidak memperhatikan tentang penulisan tahun di RAB dan itu kesalahan penulisan yang dilakukan oleh konsultan. Namun, ia berani bersumpah tidak berbohong. “Saya siap bersumpah ini RAB yang saya pakai tahun 2017,” tegasnya.
Perdebatan Ratno dan JPU memanas. Ketua Majelis Hakim, Erhamuddin, sampai turun tangan menengahi. Menurutnya, JPU tidak perlu melanjutkan perdebatan mengenai RAB ini. Sebab, keterangan saksi telah menjadi fakta ketika disampaikan dalam persidangan sebagaimana yang tertulis di dalam Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, saksi sebelumnya juga telah disumpah.
Di dalam persidangan, fakta lain juga terungkap bahwa memang benar Ratno yang kala itu adalah seorang direktur pernah melakukan penagihan ke Pemdes Kinipan. Pada tahun 2018, ia pertama kali melakukan penagihan kepada Karya, Pelaksana Tugas (Plt) Kades Kinipan. “Saat itu saya membawa SPK,” kata Ratno. “Tetapi beliau menjawab ia hanya pejabat sementara dan APBDes 2018 sudah disalurkan berdasarkan Musyawarah Desa (Musdes) dan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrembang),” jelasnya lagi.
Kemudian pada tahun 2019, ketika Willem menjadi kades, ia kembali menagih Pemdes Kinipan. Total dua kali ia melakukan penagihan secara langsung kepada Willem di kantor desa dengan disaksikan para perangkat desa. Dari Willem, ia mendapat kepastian. “Willem menyampaikan hasil pertemuan antara ia dengan inspektorat dan DPRD,” jelasnya. “Ia mengatakan siap bertanggung jawab tetapi minta agar kami melakukan service (perawatan) terhadap jalan Pahiyan. Saat itu bahkan ada penambahan sekitar 300 meter pada jalannya,” begitu kata Ratno.
Kesaksian Ratno ini tentu semakin memperkuat keterangan para saksi sebelumnya. Jalan Pahiyan memang benar ada. Begitupun dengan hutang desa, itu juga benar ada. Artinya, kita juga dapat mengatakan bahwa Willem tidak pernah melakukan tindakan korupsi. Ia betul-betul hanya membayar hutang desa Kinipan.
Namun, puncak dari kesaksian Ratno rupanya sengaja ia simpan di bagian akhir. Setelah para penyidang selesai mengajukan berbagai macam pertanyaan, Ratno meminta ijin kepada Majelis Hakim untuk menyampaikan keterangan tambahan.
Namun, kali ini ia tampak berbeda. Suara yang tadinya lantang menjadi sedikit tercekat. Dengan beberapa kali terhenti, Ratno mencoba menahan tangisnya agar dapat menyelesaikan kata-kata. Ia mengaku terpukul dan terkejut saat tahu kasus ini berlanjut.
Dengan suara agak terisak sesaat, ia mengatakan bukanlah Negara yang sebenarnya dirugikan pada kasus ini, tetapi pihaknya sebagai kontraktor, yang harusnya mengalami kerugian. Ia bahkan sekali lagi berani bersumpah bahwa semua keterangannya di persidangan adalah benar.
Di depan Majelis Hakim, Ratno juga menyampaikan adanya konspirasi penguasa di balik kasus kades Kinipan. Meski ia tidak berani menceritakannya secara panjang lebar, namun ia tahu ada oknum yang memang sangat ingin memenjarakan Willem. Dampaknya, tidak hanya ia terseret ke dalam kasus ini, tetapi adiknya bahkan sekarang dijadikan tersangka untuk kasus yang sama. Padahal, menurut Ratno, adiknya tidak tahu menahu mengenai kasus ini.
Tepat setelah itu, saya keluar dari ruang sidang. Sementara itu, Ratno juga selesai memberi kesaksian. Di luar, ia sudah ditunggu awak media dan dicecar pertanyaan mengenai pernyataannya yang terakhir. Meskipun Ratno mau memberikan komentar, tetapi di akhir ia meminta jawabannya tidak dipublikasi oleh awak media.
Saya mengerti kekuatiran Ratno. Jika si oknum bukan orang penting atau penguasa, tentu ia tidak akan sampai berpesan begitu kepada para awak media. Posisinya sebagai anggota DPRD mungkin dipertahruhkan. Namun, kesaksiannya dalam ruang sidang juga adalah fakta persidangan yang telah dicatat oleh Majelis Hakim.
Setelah itu, persidangan dilanjutkan dengan mendengar keterangan dari adik Ratno, Dedi Gusmanto, yang menjabat sebagai direktur CV. Bukit Pendulangan saat ini. Tidak banyak sebenarnya yang dapat digali dari Dedi. Sebab, pada tahun 2017, ia hanya seorang pekerja biasa. “Dulu saya hanya mengantarkan minyak saja untuk eksavator,” cerita Dedi.
Lewat tengah hari sidang kesembilan Willem selesai. Saya kemudian menghampiri Willem di lobi. Saya bertanya kepadanya mengenai pernyataan Ratno yang terakhir, tentang si penguasa. “Itu benar adanya,” kata Willem.
“Ada oknum dari pemerintah yang mengancam saya pada waktu itu,” Willem melanjutkan. “Ia mengatakan masih 4 tahun menjabat. Kalau dalam 4 tahun tidak bisa memenjarakan saya, jangan sebut nama dia. Faktanya itu memang ada,” cerita Willem.
Willem bahkan meyakini bahwa kasus yang saat ini ia hadapi tidak berdiri sendiri. Ia yakin kasus ini masih ada hubungannya dengan perjuangan yang ia dan masyarakat Kinipan lakukan untuk mempertahankan hutan dan wilayah adatnya. Apalagi, mengingat saat ini mereka sedang memperjuangkan hak agar diakui Negara dalam hal keberadaan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) beserta wilayahnya.
Kasus ini memang tidak hanya menjerat langkah Willem sebagai kades, tetapi juga menjegal perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan. Banyak energi dan waktu yang sudah dihabiskan. Sementara, hutan dan wilayah adat belum juga aman dari pengrusakan.
Terakhir, Willem sangat berharap agar Majelis Hakim dapat memutus bebas dirinya. “Harapan saya Hakim memutus saya bebas karena dalam kasus ini sama sekali tidak ada korupsi. Tuduhan korupsi ini membunuh karakter saya,” kata Willem. (P.Juliana_SOB)