Search
Close this search box.

Kawasan Koservasi Jerumbun, Ancaman Tambang, Sawit dan Api

Oleh : Ahmad Supriandi

Perjalanan darat menuju kawasan konservasi Jerumbun agak membosankan. Dari seberang Sungai Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sejauh mata memandang, kiri-kanan jalan didominasi kebun sawit. 

Ini kisah pengalaman pertama saya datang ke Jerumbun. Sepenggalan kisah yang saya dengar sebelumnya menyebut Jerumbun tempat konservasi yang asyik. Saya dengar, banyak orang dan turis datang ke sana. 

Hampir satu jam, setelah melewati areal sawit PT. Bumi Langgeng Perdanatrada, baru ditemukan pemandangan berbeda. Namun, itu tidak langsung menggambarkan Jerumbun sebagai kawasan konservasi.

Tumbuhan paku-pakuan dan ilalang setinggi di atas pinggang orang dewasa terhampar. Beberapa tegakan pohon tinggi yang ramping tersebar jarang-jarang. Pikap yang mengantarkan saya, tak bisa menembus jalan setapak yang menerbos semak ilalang itu. Saya dan teman-teman yang datang ke Jerumbun untuk mengikuti workshop jurnalisme, terpaksa harus berjalan kaki. 

Untungnya tak lama. Sekitar 300-an meter berjalan, kami mendapati hamparan tanaman pangan yang menyegarkan. Ada tanaman jagung. Ada juga cabai, yang terlihat dari lokasi kami berjalan. Ini menandai kami sudah masuk zona pertanian kawasan konservasi Jerumbun. 

Makin ke dalam, tampak sejumlah bangunan berkonstruksi kayu yang terpencar-pencar. Bangunan itu sebagian merupakan pondok tinggal pengelola kawasan konservasi ini, yakni FNPF (Friends of the National Park Foundation). Sebagian lagi untuk tempat para tamu dan voluntir menginap. Juga ada dapur umum, kamar mandi dan toilet. 

Di antara bangunan-bangunan itu terdapat banyak tegakan pohon yang ditanam beberapa tahun sebelumnya. Jenisnya, tanaman agroforestry, seperti pohon penghasil gaharu dan pohon buah-buahan. Di halaman sejumlah bangunan, terhampar ribuan bibit-bibit pohon dalam polybag yang siap ditanam. Di sinilah baru terasa, Jerumbun benar-benar kawasan konservasi.

Konservasi Jerumbun, terbentang dari bibir Sungai Sekonyer hingga ke daratan sejauh 500-an meter. Luasnya 104 hektar. Karena Sungai Sekonyer merupakan batas alam dengan Taman Nasional Tanjung Puting, Jerumbun termasuk zona penyangga (buffer zone)-nya. Tanjung Puting dikenal dunia sebagai rumahnya orangutan.

Saat kami datang, Senin (19/2/2024), Jerumbun juga sedang kedatangan puluhan tamu dari Jepang. Mereka sebelumnya telah menginap beberapa malam di rumah-rumah warga Desa Sekonyer dan berkunjung ke TNTP. Di Jerumbun, tamu dari Negeri Sakura itu menanam dan mencari tahu ragam vegetasi hutan hujan tropis yang ada di sana.  

“Kami terbuka dan sering menerima instansi, maupun sekolah-sekolah yang tertarik dengan konservasi,” kata Basuki (50), koordinator kegiatan restorasi FNPF.

Basuki menjelaskan, Jerumbun bukan hanya menjadi pusat gerakan penanaman. Ia kini menjadi pusat pendidikan konservasi yang bisa melibatkan siapa saja, termasuk turis yang datang ke Tanjung Puting. Di areal penanaman, terdapat banyak papan nama di sebelah bibit pohon yang tertanam. Isinya keterangan nama lembaga atau orang yang menanam, jenis pohon, dan tanggal penanaman.

Bekas tambang ilegal

Namun, Jerumbun hari ini tidak hadir begitu saja. Dulunya, kawasan ini merupakan lokasi tambang ilegal. Jejak-jejak tambang masih terlihat. Gundukan pasir putih dan lubang bekas tambang tersisa di beberapa bagian kawasan. Pada musim kemarau 2006, hutan Jerumbun juga pernah terbakar. Sejatinya, kawasan ini pun bukan tak bertuan. Meski terlantar, ia sudah dalam penguasaan sejumlah warga. 

Melihat kondisi itu, Basuki dan kawan-kawannya di FNPF punya minat menyelamatkannya. Mereka membeli beberapa hektar tanah di Jerumbun melalui pendanaan swadaya. Bukan dana funding yang menggerakkan mereka. Uang hasil honor menjadi pembicara atau fasilitator kegiatan, mereka sisihkan untuk membeli lahan tersebut. 

“Setiap mendapat honor kegiatan, saya hanya meminta untuk bisa membeli dua bungkus rokok. Selebihnya, disisihkan sampai bisa membeli tanah ini,” ucap Basuki.

“Saya bersama rekan-rekan pertama kali memikirkan untuk membeli lahan di sini tahun 2007 dan baru bisa membeli pada 2008,” jelas sarjana kehutanan dari Universitas Mulawarman, Samarinda itu. 

Samsu (39) yang biasa dipanggil Isam, Manajer FNPF Kalimantan, menambahkan, awalnya konservasi Jerumbun bukan program resmi FNPF. Namun, inisiatif penyelamatan Jerumbun ini dinilai sejalan dengan tujuan FNPF. Sejak 2013 Jerumbun pun menjadi program resmi FNPF.

FNPF merupakan lembaga konservasi berbadan hukum yayasan yang di awal kiprahnya lebih berkonsentrasi pada kegiatan penyelamatan orangutan. Lembaga ini lahir pada 1997. Pada 2003 FNPF beralih fokus pada pemulihan kembali hutan sebagai habitat orangutan. 

Menurut Basuki, jika tidak dibeli dan digunakan untuk lahan konservasi, mungkin Jerumbun akan dibuka untuk tambang. Saat ini pun, ia tahu di sekitar Jerumbun telah diberikan izin tambang. Ia dan rekan-rekannya khawatir kerusakan hutan di Jerumbun akan berdampak pada satwa yang ada didalamnya. “Bahkan mungkin kerusakan hutan di Jerumbun bisa berdampak pada manusia,” tuturnya.

Isam menimpali, kebun sawit juga menjadi ancaman. Sekira 200 meter dari Jerumbun terdapat kebun sawit yang masih mungkin bertambah. Menurutnya, jika Jerumbun tak dijadikan kawasan koservasi, akan makin terancam. 

“Selain menyelamatkan dari tambang, kami juga ingin menyelamatkannya dari pembukaan lahan untuk kebun sawit,” ucap Isam.

Dampak pada masyarakat

Keberhasilan pengembangan Jerumbun jadi kawasan konservasi juga berdampak pada lingkungan sekitarnya. Setidaknya, ini diakui oleh Febri, pemuda Desa Sekonyer, yang biasa bekerja sebagai pemandu wisata alam Tanjung Puting. Menurut Febrie warga desa semakin memahami pentingnya konservasi. “Sekarang mereka lebih menyadari pentingnya menjaga hutan dan tidak melakukan kegiatan yang bisa merusak hutan,” ungkapnya.

Ia menambahkan, sejak Jerumbun dikelola FNPF banyak warga yang terbantu perekonomiannya. Ini karena FNPF melibatkan warga untuk ikut mengelola konservasi di Jerumbun. “Yang dulunya bekerja sebagai penambang ilegal atau pembalak liar, sekarang jadi punya pekerjaan tetap,” ujarnya.

Febrie bilang, jika bukan karena konservasi di Jerumbun, ia tidak akan menjadi pemandu dengan pendapatan yang baik. “Saya juga pernah menjadi relawan di Jerumbun. Karena turis asing cukup sering berkunjung ke sini, akhirnya saya jadi tertarik belajar bahasa asing dan bisa menjadi pemandu seperti sekarang,” imbuhnya.

Tetapi, keberhasilan pengembangan konservasi Jerumbun, tak selalu mulus jalannya. Pada 2015, misalnya, kemarau panjang dan El Nino, membuat kawasan Jerumbun pun ikut terbakar. Pohon-pohon yang makin tumbuh besar pun musnah seketika. “Karena kurang orang dan alat pemadam api, pohon-pohon yang kami tanam sempat habis,” terang Isam.

Pengalaman buruk 2015 menjadi pelajaran berarti bagi FNPF. Saat terjadi kebakaran pada musim kemarau 2019  di banyak tempat, Jerumbun berhasil diamankan dari serbuan api. “Waktu itu sudah cukup orang. Jadi kebakaran bisa diatasi sebelum membakar lebih luas,” kata Isam.

Meski begitu, Isam sadar, kondisi Jerumbun saat ini tak bisa dikatakan aman. “Sawit, api, tambang sampai sekarang masih menjadi ancaman.”

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo