Kepala Desa (Kades) Kinipan, Wilem Hengki, resmi menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Indonesia. Persidangannya dikawal ratusan massa yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan (GERSTUK) yang menuntut kebebasan dan keadilan Kades Kinipan ini.
Tepat di penghujung bulan Januari (31/1/2022), teriknya sinar matahari mengawal aksi massa di depan Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Ratusan massa datang berbondong-bondong, turun dari mobil dan sepeda motor, merapat tepat di depan pintu pagar pengadilan. Beberapa berdiri sambil memegang spanduk-spanduk bertuliskan tuntutan, seruan, protes, dan kritik. Sementara beberapa lainnya lagi tampak mengunakan atribut adat seperti takulu (topi) dan baju (rompi) kapua, yang terbuat dari kulit kayu kapua, hasil alam hutan Kinipan.
Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan (GERSTUK), sebuah tulisan yang terpampang sangar pada kain putih dengan cat semprot warna hitam dan merah yang dibentangkan mahasiswa. Ya, aksi hari ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat adat Laman Kinipan saja, tetapi juga para mahasiswa, pemuda, dan organisasi yang bersolidaritas dan mendukung penuh perjuangan Kinipan.
Berbeda dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) yang masuk tanpa permisi menggunduli hutan Kinipan, sebagai masyarakat beradat, massa aksi terlebih dahulu melakukan ritual bapadah. Kuin Tibung, tokoh adat Laman Kinipan yang memimpin ritual ini; ritual permisi dari anak cucu Kinipan kepada leluhur di Palangka Raya atas kedatangan mereka di Bumi Tambun Bungai yang hendak melakukan acara.
Tuak, beras kuning, dan ayam jago adalah tiga hal yang dipersiapkan untuk ritual. Tepat ketika leher ayam dipotong dan darahnya diteteskan ke bumi, saat itualah sang tokoh adat terus melafalkan doa dan permisi. Setelahnya beras kuning ditabur ke beberapa penjuru, kemudian ditutup tetesan-tetesan tuak yang juga membasahi bumi. Ritual selesai, aksi pun dimulai.
Saya sendiri masih berjibaku dengan kamera di dalam ruang sidang. Saat itu, ketujuh orang kuasa hukum Kades Kinipan bersama beberapa awak media dan keluarga tengah menunggu dengan harap-harap cemas keputusan dari Majelis Hakim. Setelah pembacaan dakwaan sebelumnya oleh penuntun umum, kuasa hukum Wilem Hengki mengajukan 3 permohonan kepada Hakim.
Pertama adalah pengalihan penahanan Kades Kinipan, dari tahanan di Rumah Tahanan Negara (rutan) menjadi tahanan kota Palangka Raya. Kedua yaitu permintaan agar sidang selanjutnya dapat berlangsung secara tatap muka (offline), dengan menghadirkan Kades Kinipan dan para saksi nantinya langsung di ruang sidang. Sebab, pada sidang hari itu, metode yang digunakan adalah hybrid melalui ruang pertemuan daring dimana Kades Kinipan mengikuti sidang dari rutan kelas 2A Palangka Raya, jaksa penuntut umum dari kantor Kejaksaan Nangabulik, sementara majelis hakim dan kuasa hukum terdakwa saja yang berada di ruang sidang. Permintaan ketiga adalah diberikannya ijin untuk mendapatkan dan menggandakan berkas-berkas terkait klien yang mereka bela.
Terkait ketiga permohonan tersebut, Hakim kemudian meminta agar diberikan waktu untuk mengambil keputusan secara musyawarah. Sehingga, sidang diskors selama 30 menit.
Meski begitu, aksi massa tetap berlangsung di depan. Suara-suara teriakan riuh dan orasi masih bisa saya dengar jelas dari dalam. Sama seperti para kuasa hukum yang sedang berjuang di dalam, kawan-kawan juga sedang berjuang untuk kebebasan dan keadilan Kades Kinipan dari luar.
Kemudian, saya melihat di ruang sidang sudah ada Ibu, istri, dan anak bungsu Kades Kinipan beserta Sekretaris Desa (Sekdes). Saya pun menghampiri mereka sambil sesekali mengajak si bungsu bermain. Kemudian seorang petugas pengadilan datang menghampiri kami. “Bu, nanti kalau sidangnya mulai, anaknya nggak boleh di dalam ya,” kata petugas itu. Saya pun segera menjelaskan dan kami berjanji saat sidang mulai, Neneknya yang akan menggendong si bungsu di luar.
Sesekali saat membenarkan posisi kamera saya memandang Ibu Kades. Ia terlihat pendiam. Meskipun mengenakan masker, tetapi saya masih bisa melihat tatapan matanya kosong dan sedih. Di ruang sidang ini, tadinya ia berharap bisa melihat suaminya. Namun, ternyata wajah suaminya hanya bisa ia lihat melalui layar.
Saya tahu ini berat. Bahkan mungkin sampai hari ini Ia masih bertanya-tanya kesalahan besar macam apa yang membuat suaminya pantas diperlakukan sebagai pesakitan. Suaminya hanya membayar hutang desa, bukan korupsi. Bahkan seluruh masyarakat Kinipan tahu dan berulang-ulang kali menyatakan Kades mereka tidak bersalah. Lalu, apa yang sebenarnya Negara ini inginkan?
Tepat waktu, kemudian sidang dilanjutkan. Kabar gembira belum sepenuhnya bisa kami dengar. Hakim menolak permohonan sidang tatap muka, namun mengijinkan para saksi nantinya untuk bersaksi langsung di ruang sidang. Sementara berkas-berkas yang diminta kuasa hukum, diijinkan untuk dapat digandakan. Terkait permohonan pengalihan tahanan belum bisa dipastikan jawabannya akan diterima atau tidak. Hakim meminta tambahan waktu hingga persidangan selanjutnya, minggu depan.
Palu kemudian diketok tiga kali, tanda persidangan selesai hari itu. Saya dan beberapa rekan pun segera berjalan keluar, melewati pintu pagar dan penjagaan polisi untuk berbaur dengan massa. Orasi dan teriakan meminta pembebasan dan solidaritas untuk Kades Kinipan masih terus digaungkan.
Lengkap dengan takulu dan baju kapua, serta selempang bertuliskan #SAVEKINIPAN dengan tas dari rotan yang juga tersampir di badannya, Effendi Buhing, ketua komunitas masyarakat adat Laman Kinipan beserta massa aksi akhirnya ditemui juga oleh Humas Pengadilan Tipikor Palangka Raya. Di sinilah ia sekali lagi menegaskan bahwa Kades Kinipan tidak bersalah.
“Jika Kades Kinipan korupsi, bukan lagi kalian yang akan melaporkan tetapi saya sendiri yang akan melaporkannya. Jadi, bodoh kalau kami datang ke sini hanya untuk membela orang yang korupsi,” tegas Buhing.
Mewakili suara massa dan masyarakat Kinipan, Buhing juga berharap kasus ini bisa dilihat dengan hati nurani. Ia berharap Hakim dapat melihat dengan jelas bahwa benar Kades mereka tidak bersalah. “Orang-orang tua ini, mereka semua orang Kinipan. Ada mantir adat, sekdes, BPD sampai ketua RT. Artinya, kami benar menunjukkan Kades kami tidak bersalah,” tegasnya lagi.
Menurut Buhing juga, apa yang dilakukan Kades Kinipan tidak menyalahi aturan. Ia hanya membayar hutang salah satu pembangunan jalan di desa. Bahkan, itu pun atas persetujuan masyarakat Kinipan dan telah melalui proses konsultasi dengan beberapa pihak dan instansi terkait.
“Kades kami hanya membayar hutang Pak. Negara ini saja hutangnya miliaran sampai triliunan. Masa Kades kami yang hanya membayar hutang desa sebesar 350 juta ini justru dipersoalkan? Jadi, kami mohon bebaskan Pak Wilem Hengki,” kata Buhing.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Janang Firman, sebagai salah satu juru bicara aksi membacakan langsung 3 tuntutan massa. Ketiga tuntutan tersebut adalah meminta Wilem Hengki, Kades Kinipan, dibebaskan. Kedua, meminta kriminalisasi terhadap masyarakat adat Laman Kinipan dihentikan. Sedangkan yang terakhir adalah meminta Negara untuk segera mengakui keberadaan masyarakat beserta wilayah adat Laman Kinipan.
Riuh sorakan dukungan massa kemudian menutup pembacaan ketiga tuntutan tersebut. Hingga Humas Pengadilan Tipikor tersebut juga akhirnya mempersilahkan 10 perwakilan massa untuk masuk dan menemui Ketua dan Wakil Ketua PN/Tipikor Palangka Raya di halaman Gedung Pengadilan Tipikor, di dalam pagar.
Saya bersama massa yang lain pun menunggu dengan sabar di luar. Kami berharap ada angin segar yang cukup menyejukkan hati kami yang sedari tadi berjemur di bawah matahari.
Meskipun ternyata kami dipaksa harus lebih bersabar. Tidak ada jawaban pasti atas tuntutan yang telah disampaikan massa. Kecuali satu hal yakni Kades Kinipan belum bisa dibebaskan hari ini. Ia tetap harus mengikuti proses hukum yang berlaku. Kami cukup sedih, namun kami pantang menyerah.
“Kami memang jauh di Kinipan, kami punya keterbatasan. Namun, kami pastikan bahwa masyarakat Kinipan tidak akan menyerah. Kami akan tetap berjuang. Jadi mohon kepada kawan-kawan semua untuk tetap mengawal kasus ini. Bantu Kinipan dan kita berjuang bersama,” pesan Buhing sesaat sebelum aksi berakhir hari itu di hadapan para awak media.
Ya, tentu saja Kinipan tidak akan menyerah. Bukan pertama kali mereka diperlakukan tidak adil. Bahkan sampai hari ini mereka masih berjuang mempertahankan hutan dan wilayah adatnya dari ekspansi PT. SML. Mereka juga masih terus menanti pengakuan dari Negara terhadap keberadaan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat. Kriminaisasi juga bukaan sekaili ini mereka dapatkan. Sebelumnya, Buhing dan kelima rekannya juga sempat diseret ke dalam kasus yang tidak pernah mereka lakukan.
Adilkah semua hal ini bagi masyarakat adat Kinipan? Tentu tidak. Namun, diam dalam ketidakadilan ini juga bukan jawaban yang tepat. Karena ini, mereka akan terus berlawan dan berjuang. Tidak sendirian, tetapi bersama kita. Kita orang-orang yang membenci ketidakadilan di Negeri ini. Kita orang-orang yang menjujung hak asasi manusia dan hak lingkungan hidup.
Perjuangan kita masih akan tetap terus berlanjut. (P.Juliana_SOB)