Oleh : Novi Anggraini
Hujan deras membuka hari di Jerumbun pagi itu, Rabu (21/02/2024), saat dua orang bule asal Jerman, tiba. Menggunakan mantel sederhana, mereka datang dengan senyum merekah. Pasangan suami-istri, Hans (66) dan Kirsten (63), lantas menyapa ramah setiap orang yang ada di dapur Jerumbun.
Pernah mendengar nama Jerumbun? Jikalau belum, saya perkenalkan. Jerumbun adalah kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting, yang terletak di Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Camp Jerumbun, jaraknya sekitar satu kilometer dari Sungai Sekonyer.
Tempat ini menjadi kawasan edukasi konservasi dan restorasi hutan milik Friends of the National Park Foundation (FNPF). Dulunya Jerumbun merupakan area hutan yang terdegradasi karena aktivitas tambang ilegal dan kebakaran hutan. FNPF memulihkan kawasan ini sejak 2008.
Mereka menanam ribuan pohon di sini. Jerumbun juga jadi semacam markas utama kegiatan reforestasi FNPF. Mereka aktif mengumpulkan bibit pohon dari yang terserak liar di hutan. Merawatnya dalam polybag, sebelum disebarkan ke beragam tempat penanaman, yaitu kawasan hutan yang terdegradasi.
Jerumbun memang banyak didatangi tamu mancanegara. Seperti Hans dan Kirsten, yang datang karena ingin terlibat dalam aktivitas reforestrasi. Dua hari sebelumnya, sebanyak 25 warga Jepang juga mengunjungi Jerumbun.
Setelah hujan reda Hans dan Kirsten menanam pohon. Mereka didampingi Hendri (48), staff restorasi FNPF. Hendri memperkenalkan berbagai tanaman yang ada di persemaian. Lalu Hans dan Kirsten memilih bibit batang pohon untuk mereka tanam. Kemudian mereka membawanya ke tempat yang sudah ditentukan oleh Hendri.
Hendri memilih lahan yang tak jauh dari persemaian. Ia membantu membuat lubang untuk Kirsten menanamkan pohonnya. Sedangkan Hans memilih menggali lubang sendiri untuk pohonnya. Pohon tertanam. Setelah itu mereka menuliskan identitas pohon yang ditanam pada sebuah plang. Nama mereka juga ditorehkan di plang itu.
Sebelum beranjak pergi meninggalkan Jerumbun, mereka menyempatkan diri untuk berfoto bersama pohon yang telah ditanam. Pohon yang mereka tanam ialah papung dan rambutan.
Bule pecinta pohon
Hans dan Kirsten pecinta pohon dan tanaman. Kecintaannya terhadap pohon tidak datang begitu saja. Di Jerman mereka biasa berkebun. Mereka jarang membeli makanan di pasar karena bahan pangan tersedia di kebun.
Lalu sebenarnya apa alasan mereka datang ke sini? Bagaimana mereka mengetahui Jerumbun? Bagaimana kesan mereka pada Jerumbun?
Kirsten bekerja sebagai guru biologi di Jerman. Ia ke Borneo karena ingin melihat orangutan saja pada awalnya. Ia memang punya keinginan sejak lama untuk melihat orangutan. “Walaupun hanya sekali saja,” tutur Kirsten.
Dari agen wisatanya, Kirsten mendapat tawaran berkunjung ke Jerumbun untuk menanam pohon. Sebagai guru biologi, tawaran ini tentu menarik baginya. “Satu orang saja menanam pohon itu bagus. Apa lagi orang banyak. Ia tertarik untuk terlibat menanam pohon,” jelas Johanes Juanda, pemandu wisata yang mendampingi Hans dan Kirsten.
Menurut Kirsten, kawasan penyangga ini sangat penting sebagai tempat mengedukasi generasi muda. “Untuk mengubah mindset generasi muda dan mudah membagikan pemahaman menjaga lingkungan,” sambungnya.
Basuki, staf FNPF mengatakan, turis tahu tentang Jerumbun tak hanya dari agen wisata. “Dari mulut ke mulut. Ada website, tapi nggak terlalu aktif. Mungkin ada yang seperti kalian. Media sosial juga menyentuh,” ucap Basuki.
Basuki bilang, selain dari Jerman, Jerumbun juga sudah terkenal sampai ke India, Ceko, Rumania, Rusia, Amerika, Inggris, Prancis, Jepang, Austalia, Cina juga Singapura.
Sayangnya, di dalam negeri, Jerumbun belum terlalu dikenal. Pinarsita (32), staf Save Our Borneo, sebuah lembaga asal Palangka Raya mengatakan, untuk sampai ke Jerumbun memerlukan biaya besar.
“Kalau mau ke Pangkalan Bun cukup mahal. Jadi kita harus cari momen dan cari waktu yang tepat, supaya uang yang kita keluarin itu worth it. Jadi nggak cuma perjalanannya, tapi juga bisa stay cukup lama. Dilema wisatawan lokal kan begitu ya,” ujar Pinarsita.
Begitulah Jerumbun, yang sudah mendunia, tapi belum terlalu banyak dikunjungi masyarakat dalam negeri.