Oleh : Thata Debora Agnessia
Kalimantan Tengah dikenal dengan keanekaragaman hayati karena hutan yang luas, sungai-sungai yang membelah, dan kekayaan alam lainnya. Tapi itu mungkin cerita lama. Kini, sudah banyak berubah, bahkan di beberapa tempat air bersih pun jadi barang mahal. Salah satunya di Jerumbun.
Jauh di pelosok Kalteng, Jerumbun merupakan wilayah hutan lebat diisi oleh keanekaragaman hayati melimpah. Kondisi Jerumbun yang demikian menjadikan nya sebagai wilayah konservasi hutan wilayah penyangga (Buffer Zone) dari Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Namun, keasriannya ternyata menyisakan duka. Sampai saat ini, mereka yang tinggal dan mengelola Jerumbun masih harus mengonsumsi air hujan karena aktivitas ilegal yang jadi dosa masa lalu.
Senin (19/2/2024) pagi, Julak sebagai juru masak di Jerumbun sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Ia kemudian mengambil satu gentong air dari tower di belakang dapur. Tower itu tidak terhubung dengan sumber mata air seperti sumur yang digunakan warga biasanya. Tower itu hanya tempat penampung air hujan.
“Kami sudah bertahun-tahun menampung air hujan untuk dikonsumsi” kata Julak.
Sumur yang seharusnya menjadi sumber air, tidak bisa digunakan. “Airnya berisiko untuk kesehatan, kotor, berbau, tidak mungkin saya sajikan untuk kami apalagi kepada tamu yang datang,” lanjut Julak.
Julak tak sendiri, ia tinggal di Jerumbun bersama sepuluh orang staff Friends of The National Park Foundation (FNPF). FNPF merupakan organisasi non pemerintah (Non-Government Organization) yang berkonsen pada bidang konservasi, kampanye, dan pendidikan lingkungan hidup.
Basuki (50), salah satu staff FNPF menjelaskan, sumber air tak bisa lagi dikonsumsi bukan tanpa alasan. Kerusakannya sudah menahun karena kawasan Jerumbun ini dulunya merupakan salah satu pusat aktivitas eksploitasi, seperti penambangan emas dan ekspansi sawit masif.
“Ketika kami menemukan mata air itu, kami melihat warna airnya berwarna teh yang mana ini merupakan indikasi dari kandungan zat asam. Kemudian, kami biarkan air itu di sebuah wadah selama 24 jam, lalu kami lihat kandungan karat dan minyak muncul ke permukaan air. Dari situ kami pikir ini berisiko jika dikonsumsi,” jelas Basuki.
Fakta itu sangat berseberangan dengan kondisi saat ini. Jerumbun memiliki hutan yang begitu asri. Bahkan, hutan ini merupakan salah satu kawasan penyangga TNTP yang terletak di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng). Letaknya kurang lebih 1,5 km dari Sungai Sekonyer yang menjadi pembatas antara kawasan Jerumbun dengan TNTP.
Sebagai hutan wilayah penyangga, Jerumbun menjadi rumah dari segala jenis pohon, tumbuhan, hewan, terutama primata seperti orangutan bahkan bekantan yang dewasa ini jarang terlihat selain di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Walakin, semua orang tahu bahwa di bawah lapisan-lapisan tanah Jerumbun tersimpan harta karun berupa puluhan ton emas yang bernilai tinggi secara ekonomis. Menurut Hendri, salah satu staf FNPF juga, emas-emas itu jadi daya tarik penambang illegal memburu Jerumbun dan merusaknya.
Basuki mantan illegal logger menceritakan perjalanannya. Jerumbun dengan segala makhluk yang hidup bergantung di dalamnya telah merasakan berbagai macam ancaman kehancuran dan konflik sumber daya alam yang membuat kawasan hutan penyangga semakin berkurang. Bahkan, lebih parah ketika industri ekstraktif berbondong-bondong masuk, seperti tambang emas yang pernah memiliki izin beroperasi di kawasan penyangga Jerumbun ataupun ekspansi masif perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan besar ke dalam kawasan lindung ini.
Basuki melanjutkan, peningkatan kesejahteraan secara ekonomis merupakan janji manis dari industri yang bergerak dibidang ekstraktif. Tapi di manapun tempatnya, ketika industri- industri ini masuk dengan mempraktikan pekerjaan yang tidak etikal secara humanis atau ekologis maka akan selalu diiringi dengan bayang- bayang ancaman konflik tenurial dan kerusakan lingkungan.
Sekitar tahun 1990-an, lanjut Basuki, kegiatan pertambangan emas pertama di Jerumbun beroperasi dalam skala kecil yang masih menggunakan cara- cara konvensional tanpa mesin besar atau bahan kimia. Pada masa itu harga emas masih diharga Rp. 25.000,00-, per gram. Namun, sejak awal tahun 2000-an, dengan harga emas yang sudah semakin mahal, pertambangan emas mulai berganti secara operasional, yakni bekerja dalam skala yang lebih besar.
Cara-cara yang sangat kapitalis mulai diterapkan, menggunakan mesin- mesin besar beserta bahan merkuri berbahaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang cepat dan berlimpah. Belum lagi sekitar tahun 2006, ekspansi perkebunan kelapa sawit mulai menjarah masuk ke dalam wilayah konservasi dengan menggunakan pupuk kimia dan larut ke sumber air yang ada di sekitarnya. Hal ini memperburuk krisis ekologi dan telah memberikan dampak signifikan terhadap keberlanjutan Jerumbun sebagai kawasan penyangga yang tersisa.
“Dahulu banyak sekali penambang datang kesini dan meninggalkan banyak titik bekas penambangan, bahkan penambang illegal juga banyak. Selain itu juga perusahaan sawit mengincar lahan disini,” lanjut Basuki.
Pada tahun 2008 dilakukan penyelamatan dan optimalisasi kawasan Jerumbun oleh tim dari FNPF sebagai tempat penyangga satu-satunya dari TNTP. Mereka mereforestasi lahan bekas tambang dan kebakaran hutan dengan berbagai upaya, seperti agroforestry yaitu penggabungan tanaman hutan dengan tanaman lainnya.
“Agroforestry sebagai upaya untuk reforestasi. Ini penting untuk memastikan keanekaragaman variasi pohon dan tumbuhan agar tidak monokultur, lalu memberikan hasil yang beragam dan praktik melestarikan budaya Dayak,” jelas Basuki.
FNPF juga melakukan upaya struktural seperti pendidikan menanam pohon di Jerumbun dan penerimaan relawan (volunteer) secara global untuk mengajar anak sekolah atau melakukan persemaian pohon dan tanaman. Lotte (22) warga negara Jerman, menceritakan kisah pengalaman nya sebagai seorang relawan di Jerumbun.
“Saya sangat senang sekaligus sedih menjadi relawan di sini. Saya senang melihat hutan lebat yang asri dengan keanekaragamannya. Sedih karena saya tahu kawasan penyangga ini semakin berkurang akibat berbagai aktivitas illegal atau kebakaran lahan,” jelas Lotte.
Basuki menjelaskan, sebagai bagian dari tim penyelamatan Jerumbun, mereka setengah mati memperjuangkan tempat ini dengan beragam upaya yang tidak biasa. Perjuangan ini demi memberhentikan pertambangan emas yang eksploitatif dan ekspansi sawit yang massif.
“Kami melakukan upaya yang tidak biasa. Pertama, kami menabung untuk membeli lahan terutama dilokasi bekas izin pertambangan agar tidak dimasuki lagi. Saya babat habis pohon- pohon yang masuk di kawasan Jerumbun. Sampai yang terakhir menutup jalan dengan membangun pondok agar perusahaan sawit tidak masuk ke dalam, tapi mereka selalu punya cara,” jelas Basuki.
Tiga orang pria yang akrab dipanggil Basuki, Samsu (39) dan Hendri (48) termasuk dalam tim FNPF dalam misi menyelamatkan Jerumbun pada tahun 2008. Dengan latar belakang yang menarik untuk ditelusuri jika dibandingkan dengan pekerjaan yang sedang digeluti sekarang, yakni dari seorang illegal logger menjadi seorang pegiat lingkungan.
Penderitaan yang diakibatkan oleh pertambangan emas yang eksploitatif, seperti udara dan air yang tercemar mengorbankan keluarga terdekat, sanitasi yang jelek, bahkan kecelakaan kerja yang tinggi menjadi alasan mantan illegal logger seperti Basuki, Samsul dan Hendri memilih untuk bekerja menyelamatkan lingkungan hidup.
Semenjak berbagai upaya yang telah dilakukan untuk merestorasi Jerumbun sebagai hutan wilayah penyangga yang eksistensinya sangat krusial. Hingga saat ini, staff yang bekerja di wilayah peyangga Jerumbun masih menemukan dan menghadapi beberapa tantangan dari segi kondisi lingkungan yang berubah setelah masuknya industri ekstraktif.
Hendri menjelaskan, salah satu tantangan yang dihadapi oleh staff dan pengurus di Jerumbun adalah ketersediaan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Selama ini, persediaan air bersih untuk konsumsi hanya berasal dari air hujan. Berbagai upaya dilakukan untuk mencari sumber air yang lebih bersih tapi sukar untuk ditemukan.
“Kami berusaha mencari sumber air bersih yang lain dengan membuat sumur bor, tetapi sumur bor lebih parah, baju berubah menjadi kuning yang menandakan konsentrasi zat besi nya sangat tinggi. Sehingga, terpaksa menggunakan air sumur yang ada hanya untuk mandi,” jelas Hendri
Basuki mengungkapkan alasan dibalik krisis air bersih di Jerumbun. Kondisi tersebut tidak terjadi secara alami oleh kondisi lahan gambut yang mirip seperti lahan rawa yang zat asam dan zat besi nya tinggi. Tetapi memang ada faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas air. Faktanya, kondisi ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang berubah akibat pertambangan emas dan ekspansi perkebunan sawit yang terjadi di masa lampau.
“Perkebunan sawit itu menggali tanah, lalu membuat kanal akhirnya mengeringkan air. Kemudian sawit itu juga menggunakan pupuk kimia, pupuknya larut ke sungai dan kanal. Akhirnya sungai dan tanah itu tercemar oleh zat- zat kimia. Jika pertambangan emas itu menggunakan merkuri yang meresap ke dalam tanah dan mengalir, dan ia mengupas tanah. Jika tanah terkelupas sehingga tanah tak bisa menyimpan air secara maksimal,” ujar Basuki.
Basuki melanjutkan penjelasannya, sebelum perkebunan sawit mempersempit kawasan penyangga Jerumbun, air yang dihasilkan baik dari sungai atau mata air relatif bersih dan aman untuk dikonsumsi. Tidak memiliki kadar zat asam dan besi yang tinggi. Tetapi, meskipun kadar airnya asam dan memiliki zat besi yang tinggi, biasanya masih aman jika dikonsumsi. Tidak seperti hari ini, bahkan untuk memakan ikan di sungai saja ada yang harus meregang nyawa.
“Teman kami meninggal di tempat sehabis mengkonsumsi ikan toman dari sungai. Almarhum memakan bagian empedu ikan yaitu tempat memfilter segala racun. Ikan itu memang telah terkontaminasi merkuri dari aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit di kawasan Jerumbun,” ujar Basuki.
Jerumbun membuktikan bahwa surga dunia itu memang benar ada. Tetapi, dibalik keindahan nya, selama bertahun-tahun surga itu terancam rusak dengan berbagai aktivitas eksploitasi yang masif. Krisis air bersih di Jerumbun menjadi salah satu implikasi serius yang menimbulkan duka mendalam bagi staff dan pengurus di Jerumbun.
Kondisi ini menjadi bahan bakar yang menyulut api semangat mereka untuk berjuang menyelamatkan lalu merawat Jerumbun sebagai wilayah penyangga yang menopang berbagai kehidupan makhluk hidup di dalamnya bahkan berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya.