Thursday, 11 November, 2010 – 16:25
Konferensi Meja Bundar Forum Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO) diminta mengevaluasi kembali sertifikat “lestari” yang dikeluarkan kepada 13 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di di Indonesia. Pasalnya, ada sejumlah dugaan pelangggaran HAM, lingkungan, serta aturan hukum yang berlaku. Ditemukan pula indikasi korupsi dalam perijinan operasi perkebunan.
Seruan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Kontak Rakyat Borneo dan Save Our Borneo, dua lembaga independen yang berpusat di Pontianak dan Palangkaraya, dalam jumpa pers yang digelar di Jakarta, Kamis (11/10).
Wakil koordinator ICW, Emerson Yuntho, menyebutkan, RSPO selama ini terlalu berorientasi pasar, serta seringkali mengabaikan beragam persoalan hukum, sebelum memberikan sertifikat “lestari” kepada perusahaan perkebunan sawit. Padahal, dari data yang dirilis organisasi semacam Greenpeace dan miliedefensie, sejumlah perusahaan yang mendapat sertifikat itu terbukti bermasalah.
“(Data-data itu) tidak dijadikan pertimbangan RSPO dalam memberikan sertifikat “lestari”,” ujar Emerson.
Penelusuran yang dilakukan jaringan masyarakat sipil di Indonesia mengungkapkan pelanggaran hukum serius dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang mengantongi sertifikat lestari RSPO. Dalam laporan yang dirilis Greenpeace, United Plantation di Kalteng terbukti melakukan penebangan tanpa Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Save Our Borneo (SOB), juga melaporkan indikasi korupsi perijinan yang dilakukan perusahaan Wilmar International.
Berbekal laporan lengkap mengenai berbagai indikasi pelanggaran hukum dan dugaan korupsi, ICW dan lembaga partner akan melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. ICW juga akan menyampaikan laporan kepada RSPO. “Agar menjadi bahan evaluasi dalam penerbitan sertifikasi,” tegasnya.
Hermawansyah dari Kontak Rakyat borneo membenarkan, dengan banyaknya indikasi pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit bermasalah, RSPO seakan hanya “menjual stempel” untuk meloloskan produk Crude Palm Oil (CPO) agar dapat masuk ke pasar luar negeri. Dikhawatirkan bila hal ini terus berlanjut, legitimasi RSPO akan menurun. “RSPO harus memperketat proses seleksi pemberian sertifikasi,” ujar Hermawansyah.
RSPO, sebagai penjamin mutu produk minyak sawit asal Indonesia di pasar internasional, kata Hermawansyah, harus dapat memastikan perusahaan tidak melanggar aturan hukum, HAM, lingkungan, dan bersih dari indikasi korupsi.
Ijin bermasalah
Akar masalah perusahaan perkebunan sawit di kawasan Kotawaringin Timur dan Seruyan, Kalimantan Tengah, kata Hermawansyah, umumnya berakar dari surat ijin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Berbekal ijin lokasi dari Pemda setempat, perusahaan nekat memulai operasi. “Padahal seharusnya, ada seumlah tahap yang harus dilalui, mulai ijin pembebasan tanah dari masyarakat, ijin AMDAl, ijin operasi, dan evaluasi. Namun biasanya perusahaan langsung potong kompas,” ujarnya.
Akibatnya, muncul beragam masalah terkait penyerobotan tanah rakyat, penggusuran, dan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, pemberian ijin yang terkesan dipermudah oleh pemerintah daerah ini mengindikasikan adanya dugaan korupsi dan gratifikasi. “Kami sedang mendalami masalah ini, dan mengumpulkan bukti-bukti,” ujar Safrudin dari Save Our Borneo (SOB).
Menurut Safrudin, dugaan ini muncul karena ada tren pemberian ijin meningkat menjelang Pilkada. “Ada indikasi mengakali perijinan, dugaan gratifikasi dalam pemberian ijin,” ujarnya.
Bila terbukti terjadi pelanggaran, RSPO diminta mengevaluasi pengeluaran sertifikat “lestari”. “Bahkan, ada kemungkinan sertifikat itu dicabut,” tandas Hernawansyah.
https://antikorupsi.org/id/news/bermasalah-sertifikat-perusahaan-sawit-bisa-dicabut
Seruan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Kontak Rakyat Borneo dan Save Our Borneo, dua lembaga independen yang berpusat di Pontianak dan Palangkaraya, dalam jumpa pers yang digelar di Jakarta, Kamis (11/10).
Wakil koordinator ICW, Emerson Yuntho, menyebutkan, RSPO selama ini terlalu berorientasi pasar, serta seringkali mengabaikan beragam persoalan hukum, sebelum memberikan sertifikat “lestari” kepada perusahaan perkebunan sawit. Padahal, dari data yang dirilis organisasi semacam Greenpeace dan miliedefensie, sejumlah perusahaan yang mendapat sertifikat itu terbukti bermasalah.
“(Data-data itu) tidak dijadikan pertimbangan RSPO dalam memberikan sertifikat “lestari”,” ujar Emerson.
Penelusuran yang dilakukan jaringan masyarakat sipil di Indonesia mengungkapkan pelanggaran hukum serius dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang mengantongi sertifikat lestari RSPO. Dalam laporan yang dirilis Greenpeace, United Plantation di Kalteng terbukti melakukan penebangan tanpa Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Save Our Borneo (SOB), juga melaporkan indikasi korupsi perijinan yang dilakukan perusahaan Wilmar International.
Berbekal laporan lengkap mengenai berbagai indikasi pelanggaran hukum dan dugaan korupsi, ICW dan lembaga partner akan melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. ICW juga akan menyampaikan laporan kepada RSPO. “Agar menjadi bahan evaluasi dalam penerbitan sertifikasi,” tegasnya.
Hermawansyah dari Kontak Rakyat borneo membenarkan, dengan banyaknya indikasi pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit bermasalah, RSPO seakan hanya “menjual stempel” untuk meloloskan produk Crude Palm Oil (CPO) agar dapat masuk ke pasar luar negeri. Dikhawatirkan bila hal ini terus berlanjut, legitimasi RSPO akan menurun. “RSPO harus memperketat proses seleksi pemberian sertifikasi,” ujar Hermawansyah.
RSPO, sebagai penjamin mutu produk minyak sawit asal Indonesia di pasar internasional, kata Hermawansyah, harus dapat memastikan perusahaan tidak melanggar aturan hukum, HAM, lingkungan, dan bersih dari indikasi korupsi.
Ijin bermasalah
Akar masalah perusahaan perkebunan sawit di kawasan Kotawaringin Timur dan Seruyan, Kalimantan Tengah, kata Hermawansyah, umumnya berakar dari surat ijin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Berbekal ijin lokasi dari Pemda setempat, perusahaan nekat memulai operasi. “Padahal seharusnya, ada seumlah tahap yang harus dilalui, mulai ijin pembebasan tanah dari masyarakat, ijin AMDAl, ijin operasi, dan evaluasi. Namun biasanya perusahaan langsung potong kompas,” ujarnya.
Akibatnya, muncul beragam masalah terkait penyerobotan tanah rakyat, penggusuran, dan kerusakan lingkungan.
Lebih lanjut, pemberian ijin yang terkesan dipermudah oleh pemerintah daerah ini mengindikasikan adanya dugaan korupsi dan gratifikasi. “Kami sedang mendalami masalah ini, dan mengumpulkan bukti-bukti,” ujar Safrudin dari Save Our Borneo (SOB).
Menurut Safrudin, dugaan ini muncul karena ada tren pemberian ijin meningkat menjelang Pilkada. “Ada indikasi mengakali perijinan, dugaan gratifikasi dalam pemberian ijin,” ujarnya.
Bila terbukti terjadi pelanggaran, RSPO diminta mengevaluasi pengeluaran sertifikat “lestari”. “Bahkan, ada kemungkinan sertifikat itu dicabut,” tandas Hernawansyah.
https://antikorupsi.org/id/news/bermasalah-sertifikat-perusahaan-sawit-bisa-dicabut