Provinsi Kalimantan Selatan saat ini sedang diterpa banjir di daerah-daerah yang selama ini tidak pernah merasakan bencana seperti itu. Bencana itu datang saat kekayaan alam sedang dikeruk habis-habisan.
Banjir di tanah Bumi Lambung Mangkurat itu sudah terjadi lebih kurang selama seminggu lebih. Air sungai meluap dan meluluhlantahkan beberapa wilayah di provinsi yang luasnya 6,98 persen dari Pulau Borneo.
Data dari Dinas Sosial Provinsi Kalsel, banjir melanda di Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Balangan, tak luput juga Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.
Setidaknya, 71.339 jiwa terdampak, ribuan rumah rusak bahkan hanyut. Ketinggian banjir melebihi satu meter. (Kompas.id, 14/1/2021).
Di berbagai media dan media sosial terlihat bagaimana mobil terbawa arus, rumah-rumah lanting yang ditambat di pinggir sungai hanyut, bahkan ternak-ternak seperti sapi pun ikut hanyut.
Curah hujan yang tinggi menjadi salah satu faktor langsung yang menyebabkan banjir tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri beberapa wilayah yang dilanda banjir tersebut merupakan daerah pertambangan batu bara, intan, emas dan juga perkebunan kelapa sawit.
Data yang dikumpulkan tim Save Our Borneo (SOB), di Provinsi Kalimantan Selatan setidaknya terdapat 1,7 juta hektar konsesi pertambangan atau sekitar 10 persen dari total luas tambang yang ada di Pulau Kalimantan, 488.000 hektar konsesi perkebunan kelapa sawit, dan 780.000 hektar konsesi timber. Semua itu merupakan izin yang sudah operasional maupun yang belum beroperasi.
Dilihat dari izin-izin itu, jelas bahwa pembukaan lahan begitu masif. Hutan-hutan dibabat diganti jadi perkebunan maupun pertambangan.
Hutan yang memiliki daya tahan dan daya dukung alam pun hilang. Akibatnya, air melewati hutan yang harusnya ditampung, malah meluber ke desa-desa dan kota.
Perlu diingat, sebagian besar hutan di bagian hulu dari setiap sungai di Kalimantan Selatan, bahkan hampir di seluruh wilayah Kalimantan, sudah beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan. Bagian hulu yang menjadi penyokong air sekaligus benteng penahan sudah hilang. Semua itu menjadi pertanda datangnya banjir di wilayah hilir.
Dari jurnal Mekong River Commission, menyatakan banjir tidak dapat dikendalikan. Namun, manusia bisa mengelola pengaruhnya yang merugikan. Dengan beragam cara, tentunya juga kebijakan.
Terdapat beberapa jenis tindakan pengelolaan, mencermati banjir dan karakteristiknya seperti risiko, kebutuhan sosial dan ekonomi yang spesifik bagi masyarakat, dan kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya di daerah rawan banjir.
Banyak rekomendasi dan tindakan yang bisa diambil pemerintah untuk menangani persoalan banijr, biasanya mereka akan membuat tanggul atau dinding-dinding batu di sekitar sungai. Namun, banyak kejadian yang menunjukkan upaya itu sia-sia. Seperti yang terjadi di Bangladesh, mereka membangun tanggul yang diberi nama Brahmaputra untuk menjaga Sungai Brahmaputra.
Tanggul itu mampu menahan sungai yang meluap selama bertahun-tahun. Namun, di tahun 1987, tanggul sisi kiri jebol, melululantahkan puluhan desa di sekitarnya. Pada tahun 2020, luapan sungai ini menewaskan 77 orang di sekitar Brahmaputra.
Betul. Infrastruktur bukan jawaban yang baik. Mungkin mampu menahan dampak buruk banjir tetapi tak berlangsung lama. Perlu ada solusi praktis dan juga jangka panjang.
Inisiatif membangun dengan berkelanjutan tanpa merusak lingkunga diperlukan dan harus dijalankan dengan komitmen tinggi. Tak hanya itu, masyarakat dan pemerintah perlu belajar untuk hidup “bersama” dengan sungai.
Pengelolaan daerah aliran sungai dengan menggunakan kajian ilmiah wajib didengarkan. Cukup sudah para politisi dan penguasa optimis terhadap cara cepat menangani banjir hanya dengan membersihkan selokan, membangun parit, dan tanggul. Tak ada gunanya.
Mulailah berpikir ilmiah dengan mendasarkan kebijakan dari kajian-kajian ilmiah agar mengenal karakteristik dari alam dan risiko yang dihadapinya. Harus memulai untuk benar-benar bijak mengelola alam.
Banjir merupakan alarm agar kita lebih bijak lagi mengelola alam, mengelola sungai kita. Karena sekalinya rusak, akan butuh waktu lama untuk mengembaliikan fungsi alam yang mampu menyelematkan manusia dari kehancuran.
Sungai bisa menjadi sumber kehidupan, tetapi akan menjadi malapetaka jika tercemar. Tak hanya itu, sungai butuh hutan. Apalagi di bagian hulu. Mereka seperti dua sahabat yang tak boleh dipisah. Karena ketika mereka dipisah, salah satunya murka hingga datanglah bencana. (Dia_508)