Oleh : Amelia Ananta Arifin
Jerumbun, kawasan konservasi di Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat. Ia bisa didatangi melalui dua rute. Yang banyak dilalui wisatawan adalah rute yang sepenuhnya melalui jalur sungai. Dari tepi Sungai Kumai, wisatawan menyeberang dan masuk ke Sungai Sekonyer. Jerumbun ada di tepi kiri Sungai Sekonyer, setelah melewati sebuah persimpangan ke arah kiri (utara).
Karena ia berada di bibir Sungai Sekonyer, ia menjadi salah satu daerah penyangga Taman Nasional Tanjung Puting. Kondisi geografis ini memudahkan wisatawan yang berkunjung ke Tanjung Puting, untuk memilih Jerumbun sebagai salah satu tempat singgah.
Wisatawan datang ke Tanjung Puting karena nilai konservasinya. Akan lebih lengkap jika mereka juga bertandang ke Jerumbun. Di sini mereka bisa mendapatkan pengalaman lebih terlibat dalam menjaga alam. Ada ribuan bibit pohon di Jerumbun, yang bisa mereka pilih untuk ditanam, sambil memberikan donasi untuk kegiatan pelestarian alam.
Apa lagi yang lebih mengesankan, setelah menjalani susur sungai, trekking di hutan, tengok orangutan dan satwa-satwa liar lainnya, menikmati matahari terbit yang menghapus embun pagi di tengah hutan, lalu ikut menanam, menjadi bagian dari aktor konservasi?
Tapi berbeda jika kita lewat rute lainnya: menyeberang Sungai Kumai, lalu melalui jalan darat. Di rute ini, perjalanan darat hampir satu jam, didominasi oleh kebun sawit perusahaan. Dari sini, kita akan tahu, menciptakan kawasan konservasi seperti Jerumbun, penuh perjuangan.
Melalui rute inilah, saya dan belasan teman dari Universitas Antakusuma menuju Jerumbun pada 19 Februari 2024 lalu. Kami ke sana untuk belajar jurnalistik dan konservasi. Pulangnya, lima hari kemudian, baru kami melalui rute para turis, melalui Sungai Sekonyer.
Bermula sejak enam belas tahun silam. Jerumbun yang menurut cerita orang setempat awalnya dikenal dengan nama Beguruh, merupakan kawasan hutan yang terdegradasi. Hutan rusak karena tambang liar. Jejak tambang masih terlihat di beberapa bagian Jerumbun. Gundukan berpasir dan lubang bekas sedotan tambang emas masih tersisa. Pada 2006 kondisinya makin parah karena kebakaran hutan di sana.
Keadaan itu mendorong sejumlah aktivis konservasi yang tergabung dalam Friend of the National Park Foundation (FNPF), untuk memulihkan Jerumbun. Tapi itu tidak mudah. Meski terlihat sebagai lahan merana, Jerumbun sudah dikuasai sejumlah warga.
Staf FNPF akhirnya memutuskan secara swadaya membeli lahan-lahan di sana. Lahan yang dibeli itu, kemudian hak kepemilikannya diatasnamakan pada sejumlah staf FNPF. Dapatlah lahan seluas 13 hektar sebagai permulaan aktivitas di Jerumbun.
“Saya bersama rekan-rekan pertama kali memikirkan untuk membeli lahan di sini tahun 2007 dan baru bisa membeli pada 2008,” jelas Basuki, koordinator kegiatan restorasi FNPF. Basuki bilang selama setahun mereka menyisihkan sebagaian besar honor sebagai pembicara atau fasilitator kegiatan konservasi.
Jerumbun pun menjadi basis gerakan lingkungan Basuki dan kawan-kawannya. Secara perlahan, lahan bekas tambang, ditumbuhi pohon-pohon hutan baru. Mereka juga punya persemaian tanaman hutan yang berisi ribuan batang pohon endemik Kalimantan. Turis dan kaum terpelajar datang untuk terlibat penanaman dan belajar konservasi.
Mencegah ekspansi sawit
Keberhasilan ini membuat FNPF menjadikan Jerumbun sebagai program resmi mereka. FNPF pun mengeluarkan sumber daya yang dimiliki untuk mengamankan lahan kritis yang makin terancam. Mereka sadar, ancaman untuk menjaga hutan tidak selesai. Sawit yang secara ekonomis memang mendapat pasar besar adalah ancaman utama setelah tambang diatasi.
Bila tak dijaga, ekspansi sawit perusahaan akan terus meluas. Para staf FNPF pernah membuat pondok di jalan setapak untuk mencegah meluasnya ekspansi sawit. “Ini agar pihak perusahan tidak bisa membuka lahan di sekitar tanah milik FNPF,” terang Basuki.
Basuki bilang, ada saja upaya untuk membeli lahan yang sudah dikuasai FNPF demi perluasan sawit. Staf FNPF berusaha keras untuk mempertahankannya. Pihak perusahaan ditengarai pernah ingin menguasai lahan FNPF dengan menyuruh warga membelinya dengan harga tinggi.
“Orang kami tetap berusaha mempertahankannya dengan cara menaikkan harga melebihi harga awal,” jelas Samsu (40), Manajer FNPF Kalimantan.
Namun, bukan berarti FNPF tak pernah kecolongan. Pada suatu waktu, saat tata kelola FNPF belum sebaik saat ini, salah seorang staf mengundurkan diri. Menurut Samsu, Setelah pengunduran diri itu, lahan seluas satu hektar yang diatasnamakan dirinya ia jual untuk kebun sawit.
“Karena tanah di Jerumbun tidak semuanya milik FNPF. Ada juga tanah (atas nama) milik pribadi,” ujar Samsu.