Oleh: Salsabila Khairunisa
Ibu Kota jadi saksi perjuangan demi kebebasan Aleng dkk, warga Kinjil dari Kalimantan Tengah. Taburan koin di gerbang PT. BGA menunjukkan solidaritas massa dalam membantah tuduhan Aleng dkk sebagai pencuri buah sawit perusahaan.
Senin pagi bentangan jalan Melawai terasa lengang. Semrawut kendaraan yang biasanya terkumpul di sudut-sudut lampu merah ibu kota terurai dan pindah haluan menuju lapangan parkir di gedung-gedung perkantoran. Hembusan angin dan sinar hangat membelai lembut rontokan dedaunan pada jalanan trotoar yang belum disapu. Melawai tenang hari itu.
Namun, pemandangan tak biasa justru tampak pada salah satu gedung. Bentangan poster bertuliskan ‘Hentikan Kriminalisasi Untuk Warga Kinjil Bebaskan Aleng dkk’ terpasang di sana. Gedung itu kantor PT. Bumitama Gunajaya Abadi (BGA), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menjadi bagian dari Harita Group milik pengusaha taipan.
Gerbang kantor itu berwarna hitam, tinggi menjulang, tertutup rapat. Pada bagian ujung teralis pagar bentuknya runcing, mirip penjara. Mungkin untuk menangkis bala dari jejak-jejak nestapa yang telah ditinggalkannya di hutan-hutan Nusantara. Mungkin juga untuk menggambarkan watak bisnisnya yang memang durjana.
Belasan orang berkumpul dan membentangkan poster di tanggal 19 Juni 2023 itu. Mereka bagian dari solidaritas massa untuk mendukung Aleng (63), Maju (63), dan Suwadi (40), warga Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng Dalam perjuangan Aleng dkk untuk memperoleh hak atas plasma ini, mereka menjadi korban kriminalisasi. Ketiganya ditangkap dan dituduh mencuri buah sawit oleh PT. BGA. Padahal, mereka hanya memanen sawit di kebun milik sendiri. Ketiganya sempat ditahan di Kepolisian Resort (Polres) Kobar selama tiga bulan dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Massa ini bernama Koalisi Keadilan untuk Kinjil. Mereka terdiri dari berbagai gabungan organisasi dan masyarakat sipil. Ada WALHI Kalteng, WALHI Nasional, Greenpeace, Pantau Gambut, PILNET, Progress, Save Our Borneo, LBH Palangkaraya, Sawit Watch, hingga solidaritas pemuda dan mahasiswa di Pangkalan Bun dan Palangka Raya. Lewat aksi ini, mereka memperluas seruan perjuangan sampai Jakarta, pangkal beroperasinya siasat bejat oknum-oknum petinggi Negara dan korporasi.
“Hidup Rakyat!” seru Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional. Perempuan itu mengepalkan tangan kirinya dan mengangkatnya tinggi ke langit. Aksi si kordinator ini serempak dilakukan seluruh massa.
Uli mengawali orasinya dengan menjabarkan kronologis singkat kasus Aleng dkk. “Tindakan ini adalah tindakan yang merugikan kehidupan Aleng dan dua saudaranya, serta keluarganya. Karena bukan jiwanya saja yang ditahan di penjara, tetapi mentalnya, pikirannya. Bagaimana nasib dan perasaan dari keluarga mereka ini, bagaimana teman-teman, anak-anaknya harus menanggung malu atas tuduhan yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Aleng dan kawan-kawan.”
Setidaknya ada tiga tuntutan utama yang disebutkan Uli dalam orasinya. Pertama, mereka mendesak agar PT. BGA mencabut laporan terhadap Aleng dkk dan meminta Polres Kotawaringin Barat segera melepas Aleng dkk.
Massa juga mendesak PT. BGA untuk berhenti melakukan kriminalisasi dan mengembalikan serta mengakui hak rakyat atas tanah mereka di desa Kinjil. Ketiga, mereka menuntut Negara segera melakukan evaluasi terhadap izin PT.BGA.
Ditengah orasi, di bagian lain terlihat rombongan orang mengenakan jaket hijau-hitam khas layanan penyedia jasa angkutan transportasi di Indonesia, yang juga merambah ke jasa pengiriman barang. Mereka melintasi jalanan di depan kantor PT. BGA.
Rupanya mereka juga sedang melakukan aksi. Spanduknya bertuliskan tuntutan terhadap penghapusan tarif jasa yang terlalu murah. Meski tak terkait, saat berpapasan, mereka turut mengepalkan tangan kiri ke langit, memberikan semangat untuk perjuangan Aleng dkk.
Hari itu, terhitung ada lima perwakilan massa aksi yang menyampaikan orasi. Dua diantaranya perwakilan dari Kalteng, Gusti Samudera pendamping Aleng dkk dan Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Bayu Herinata. Keduanya menerangkan situasi yang terjadi di lapangan dan bentuk-bentuk solidaritas yang selama ini dilakukan oleh warga Kalteng dalam merespon kriminalisasi tiga petani Kinjil dihadapan para karyawan PT. BGA.
“Banyak sudah fakta di lapangan, surat tandatangan dari desa, ada juga surat pernyataan dari RSPO bahwa menyatakan tidak ada kewenangan PT. BGA di lahan yang dikelola Aleng dan kawan-kawannya. Jadi jelas tujuan kami bahwa harus segera dilakukan pencabutan laporan polisi yang dilakukan oleh PT. BGA dan kepolisian harus segera melepaskan Aleng dkk dari tahanan,” ujar Bayu dalam orasinya.
Ketika Bayu tengah memberikan orasi, terjadi sedikit kericuhan antara salah satu massa aksi dengan beberapa karyawan PT. BGA. Kericuhan ini disebabkan karena intimidasi dari pihak perusahaan. Adu mulut terjadi. Salah seorang karyawan PT. BGA tidak terima kawasan kantornya dijadikan tempat aksi. Ia meminta Polisi membubarkan massa. “Hei, pak polisi! Tolong amankan ini, ganggu orang dan kerja-kerja polisi,” katanya.
Polisi berdatangan. Jumlahnya semakin banyak berbaur dengan massa dan pihak perusahaan yang sedang bersitegang. Namun, mereka tak kuasa membubarkan paksa karena aksi ini ‘legal’. Sudah ada pemberitahuan sebelumnya.
Seorang pria dari PT. BGA bersuara. Dalam debat sengit, dengan kemeja biru formalnya ia menyerukan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. “Proses hukum tetap berjalan, tidak ada intervensi,” ujarnya.
Massa tak gentar. Aksi berlanjut ke penyerahan koin untuk PT. BGA. Sebab dalam tuduhannya, perusahaan menyatakan mengalami kerugian sebesar 2,9 juta rupiah akibat pencurian yang Aleng dkk lakukan.
Koin-koin sebagian besar terkumpul dari sumbangan masyarakat di Kalteng. Para anggota koalisi yang tersebar di Palangka Raya dan Pangkalan Bun turun hari Minggu pagi ke Car Free Day (CFD) dengan membawa kardus-kardus dan poster-poster untuk penggalangan koin mendukung Aleng dkk ini. Total terkumpul koin sejumlah Rp. 3.109.300. Jumlah ini melebihi kerugian materil yang selama ini digembar-gemborkan PT. BGA.
“Tuntutan kerugiannya hanya 2,9 juta, kawan-kawan,” teriak Uli dengan pengeras suara. “Tapi karena warga dari Kalimantan Tengah baik hati, kita kasih bonus. Sekitar hampir jutaan beberapa ratus ribu gitu ya. Kalau memang perusahaan benar-benar membutuhkan uang ini,” lanjutnya.
Rencananya koin-koin ini akan diberikan langsung kepada pihak PT. BGA. Namun, nyatanya perusahaan menolak. Mereka menutup rapat pagar gedung. Seluruh karyawan PT. BGA yang sebelumnya berdiri mengelilingi massa aksi mendadak bergegas masuk ke dalam kawasan kantor. Hanya beberapa terlihat masih berdiri di balik pagar yang mulai dijaga aparat.
Meski ditolak, massa tak beranjak. Mereka berpegang pada ikrar solidaritas yang digaungkan sejak awal aksi. Massa bergerak mendekat ke arah pagar sembari membawa beberapa kantong plastik berisi tumpukan koin. Mereka menumpahkan koin tersebut di depan pagar hitam berteralis tinggi yang jadi batas antara massa dengan perusahaan, bagai menegaskan bahwa mereka berada di dua sisi kutub berbeda.
Gemerincing bunyi koin yang berjatuhan diiringi teriakan massa aksi. Salah seorang massa bahkan berteriak sarkas ke PT. BGA. “Kalian kan cari uang di Kalteng, ini diantarkan uangnya ke sini sama warga nih,” serunya.
Selain itu, dalam aksi pendamping Aleng dkk, menjelaskan bahwa warga desa Kinjil telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan guna mencari jalan penyelesaian dari konflik. Sayangnya, pertemuan-pertemuan tersebut tidak sedikitpun membuahkan hasil. Pihak PT. BGA tidak menawarkan solusi apapun dan berdalih ‘menunggu pimpinan.’
“Dengan pihak PT. BGA ini, semenjak surat kesepakatan desa untuk dikembalikannya kepada Aleng dkk yang tanah diklaim itu, sebenarnya sudah (ada pertemuan), tetapi tidak ada solusi dari mereka BGA yang di Kotawaringin, dengan alasan selalu menunggu pimpinan,” papar Samudera.
Fakta lain juga menunjukan bahwa pada tahun 2020, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah menerbitkan surat yang menyatakan lahan beberapa warga Kinjil, termasuk Aleng yang diklaim oleh PT. BGA tidak masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT. BGA. Selain itu, berdasarkan SK Menteri LHK No SK.359/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 Tentang Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan, PT BGA juga terbukti telah melakukan aktivitas tanpa izin di kawasan hutan seluas 800 hektar.
Oleh sebab itu, Samudera menegaskan bahwa jika perusahaan tidak mencabut laporannya, maka rakyat akan terus melawan secara hukum. “Pada prinsipnya kalau itu memang dipaksakan oleh BGA untuk tetap begitu, mereka tidak mencabut laporan itu, ya akan kita lawan. Secara hukum akan kita lawan,” tegas Samudera.
Hal ini pun sejalan dengan apa yang disampaikan Uli di penghujung aksi. “Aksi ini akan terus ada dan bakal berlipat-lipat ganda,” tutupnya.
Hari itu Jakarta, ibu kota, jadi saksi. Perjuangan Aleng dkk tidak akan berhenti.