Kalimantan kembali terancam kekeringan dan kebakaran lahan setelah prediksi fenomena El Nino yang muncul sejak juni hingga akhir tahun ini. Pemerintah pun diminta untuk antisipasi dampak fenomena alam itu. Antisipasi pun sebenarnya belum cukup. Perlu komitmen untuk bisa menciptakan kebijakan yang tidak memperburuk kerusakan lingkungan.
Dua dekade atau tiga dekade lalu, masyarakat Indonesia mungkin tak perlu khawatir ketika kemarau datang, namun kini ceritanya berbeda. Semua orang mengeluh betapa panasnya bumi saat ini. Hal itu pun didukung oleh prediksi Badan Meteorologi dan Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Suhu Muka Laut (SML) meningkat hingga di atas normal. Menurut BMKG hal itu dipicu berbagai faktor, salah satunya fenomena El Nino. SML naik khususnya di wilayah Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
(BMKG) memprediksi bahwa beberapa wilayah indonesia di tahun 2023 ini kembali diancam kemarau ekstrim, diantaranya pulau Kalimantan. Mengutip dari siaran pers BMKG pada 07 Maret 2023 melalui situs www.bmkg.go.id, La Nina diprediksi akan bertahan hingga akhir semester pertama tahun ini, kemudian pada semester kedua akan beralih menuju fase El Nino.
Dalam siaran pers tersebut, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, wilayah yang baru memasuki musim kemarau pada bulan Juni meliputi Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.
“Beberapa wilayah tersebut diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih. Perlu aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering dari tiga tahun terakhir” kata Dwikorita.
Dari segala prediksi itu, pemanasan itu bisa mengulang bencana kabut asap 2015 dan 2019 lalu. Prediksi itu membawa memori kita ke tahun-tahun tersebut.
Pada 2015 lalu, kemarau ekstrim yang baru pertama kali terjadi sepanjang hidup saya telah menyebabkan kerugian yang begitu besar bagi bangsa. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di mana-mana, kabut asap menyelimuti berbagai daerah sumatera dan Kalimantan. Dampaknya multi-dimensi, kasus gangguan kesehatan hingga menyebabkan warga meninggal dunia terjadi. Belum lagi dampak ekonomi.
Bank Dunia telah menghitung total kerugian akibat dari kebakaran hutan dan lahan tahun di tahun 2015 sebesar Rp. 201 triliun. Situasi serupa kembali terjadi pada 2019. Meski tak separah situasi di 2015, namun karhutla masih terjadi di mana-mana.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas karhutla pada tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektar (ha), kemudian di tahun 2019 mencapai 857.756 Ha. Catatan ini tentunya harus diingat agar tidak terulang kembali saat kemarau mulai datang tahun ini.
Kian panas
Menurut BMKG, kemarau panjang sebagaimana yang terjadi pada tahun 2015 dan 2019 tersebut dipengaruhi oleh fenomena El Nino, yaitu pemanasan SML di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Sejalan dengan perkiraan BMKG tersebut, akhir-akhir ini cuaca di pulau Kalimantan khususnya di Kalimantan Tengah (Kalteng) terasa lebih panas dan jarang sekali turun hujan. Menyikapi adanya ancaman kemarau panjang ini, Dikutip dari situs berita kompas.id tanggal 28 Mei 2023, pemerintah Provinsi Kalteng sudah menetapkan status siaga darurat karhutla. Status tersebut berlaku sejak 23 Mei hingga 10 November 2023 mendatang atau 167 hari. Lama waktu status tersebut merupakan yang terpanjang yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam satu kali penerbitan kebijakan.
Bumi yang semakin panas, bencana kekeringan yang menanti di depan mata, menunjukan bahwa krisis iklim dan kerusakan alam itu nyata. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dilakukan dengan lebih baik.
Namun sayang, krisis iklim dan kerusakan alam ini belum begitu menjadi perhatian pemerintah kita. Pemerintah justru melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperparah kerusakan alam di pulau Kalimantan, seperti proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek food estate di Kalteng. Selain itu, pemerintah juga memberikan kemudahan bagi investasi untuk mengeksploitasi alam Kalimantan melalui pertambangan, perkebunan besar, dan Hutan Tanaman industri (HTI).
Berdasarkan data Map Biomas Indonesia, selama periode tahun 2000-2019, kita telah kehilangan 4,92 juta hektar hutan di pulau Kalimantan. Kehilangan hutan Indonesia di pulau Kalimantan tersebut setara 67 kali luas negara Singapura.
Dari data itu bisa dilihat bahwa pemerintah masih mengeluarkan kebijakan yang berpotensi memperburuk keadaan ketika kemarau tiba. Deforestasi yang tinggi mampu memicu bencana kebakaran yang hebat apalagi ketika investasi itu dibuka di kawasan gambut yang sangat rentan terbakar.
Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah, pemerintah mestinya melakukan upaya pemuliahan. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai aktivitas investasi dapat memperparah kerusakan alam dan lingkungan kita.
Di samping itu, pemerintah seharunya mendukung praktek pengelolaan hutan dan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat, karena selama ini masyakat lah yang terbukti mampu mengelola hutan secara berkelanjutan. (M. Habibi)