Penangkapan dan tuduhan mencuri buah sawit PT. Bumitama Gunajaya Abadi (BGA) terhadap Aleng, Suwadi, dan Maju, warga Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam), di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), membawa kesedihan bagi para istri. Namun, mereka tetap yakin bahwa suaminya bukanlah pencuri.
Hari sudah gelap, tetapi puluhan orang masih duduk melingkar di teras bangunan kayu yang disepakati sebagai tempat berkumpul. Mereka membicarakan tentang penangkapan Aleng dan kawan-kawan (dkk) yang terjadi setelah lebaran di bulan April 2023 lalu.
Dalam pertemuan itu ada beberapa ibu yang terlihat bergabung termasuk dua orang pemuda yang usianya masih belia. “Ini kedua anak yang dilepaskan. Mereka dilepaskan karena Polisi bilang belum cukup umur,” kata Gusti Samudera, pendamping warga Kinjil.
Gusti Samudera julukannya Raja Dalam. Rambutnya hitam diselipi helaian-helaian yang telah memutih, namun usianya masih jauh dari setengah abad. Ia tampil hanya mengenakan baju kaus hitam bertudung, tetapi darah Kesultanan Kutaringin, penguasa Kotawaringin Barat, memang mengalir di dalam dirinya.
Tampil berbeda, Gusti Gelombang, kakaknya justru plontos dengan baju kaos berkerah. Mereka yang hari itu memfasilitasi keluarga Aleng berkumpul di Pangkalan Bun. Keduanya selama ini memang mendampingi warga Kinjil yang wilayahnya sebagian besar dikuasai perkebunan BGA.
Dari mereka juga kabar penangkapan Aleng dkk ini pertama kali terungkap dan tersebar. Bagi mereka penangkapan ini janggal. Sebab lahan yang dipanen Aleng dan keluarganya berstatus milik mereka.
Kedua anak yang dikisahkan Gusti hanya diam dan sesekali menunduk. Tampak kejadian penangkapan itu masih membekas diingatan mereka. Rambut mereka pun digunduli. Kata Gusti, semua rambut mereka memang dipotong begitu sejak ditahan oleh Polisi.
Sementara itu, guratan lelah tampak jelas di wajah Sukemi, istri Aleng. Perempuan berusia 60 tahun itu tidak hanya lelah karena perjalanan selama dua jam yang ia tempuh dari Desa Kinjil ke ibu kota Kabupaten. Namun, ia juga lelah memikirkan suaminya yang sudah seminggu lebih berada di balik jeruji besi kantor Polisi Resort (Polres) Kobar.
Tepat di sebelahnya, Sedar, istri Muji juga duduk. Ia tak banyak berbicara namun tatapan matanya juga sendu. Pakaian hitam yang ia kenakan seakan menggambarkan kekelaman hatinya. Usianya memang lebih muda delapan tahun dari Sukemi, namun beban kesedihan yang ia tanggung sama dengan kakak iparnya itu.
Di sisi kanan dari Sukemi, ada menantunya Sri Sukatmi. Perempuan berusia 32 tahun itu menikah dengan anak semata wayangnya Sukemi, namanya Suwadi, yang saat ini juga ditahan bersama ayah dan pamannya di Polres Kobar.
Di seberang ketiga perempuan ini duduk dua perempuan lain. Keduanya adalah adik-adik Aleng dan ibu dari Siar dan Jaka, pemuda yang telah dibebaskan. Mereka yang membuat serta menyuguhkan kopi dan teh di pertemuan malam itu.
Sebenarnya Siar dan Jaka tidak begitu saja dilepaskan. Sebelumnya, mereka melalui musyawarah diversi yaitu penyelesaian tindak pidana anak melalui dialog antar semua pihak. Di sinilah diketahui bahwa keduanya masih berusia 16 tahun sehingga tidak seharusnya ditahan. Meski dibebaskan, mereka sempat mencicipi tahanan Polisi juga beberapa hari.
Di sela-sela pertemuan membicarakan nasib Aleng, Suwadi, dan Muji, terselip curahan hati dari para istri. Sedar mengaku sakit-sakitan pasca suaminya ditangkap. “Saya tidak selera makan, terus kepikiran,” curahnya. “Anak perempuan saya yang bungsu bilang ingin jengkuk bapak. Makanya kami ke sini.”
Sedar mengaku ia belum bertemu suaminya setelah penangkapan itu. Ia bahkan tidak tahu-menahu kenapa suaminya ditahan. Ia dan anak-anaknya sampai saat ini masih kebingungan.
“Saya juga tidak tahu bagaimana keadaan suami saya di dalam,” kata Sukemi turut mencurahkan keresahannya. Ia bercerita resah memikirkan bagaimana nasib ia, menantu, dan kedua cucu laki-lakinya kelak. “Kalau mereka ditahan, ya bagaimana nasib kami? Cucu saya dua masih kecil-kecil, menantu saya tidak bekerja. Bagaimana kami mencari makan?”
Nada suara Sukemi lemas. Garis kulit wajahnya yang berwarna cokelat pun turun. Baginya ini adalah cobaan yang berat.
Sementara pertemuan malam itu terus berlanjut hingga larut. Besok, 5 Mei 2023, disepakati para istri dengan didampingi penasehat hukum (PH) akan menjenguk suami mereka. Selain itu, PH juga sekaligus akan mengajukan surat permohonan ke Polres untuk meminta diadakannya Berita Acara Penahanan (BAP) tambahan.
Permohonan BAP tambahan ini penting. Sebab, sebelumnya Aleng dkk ditanyai polisi tanpa didampingi satupun PH. Informasi yang ditulis bisa jadi belum memuat sudut pandang kisah dari Aleng dkk. Hal ini ditunjukkan dengan tersebarnya berita di media massa yang isinya hanya menyudutkan Aleng dkk karena narasumber yang tidak berimbang.
Keesokan harinya seperti kesepakatan, pagi sekali para istri ini sudah berpakaian rapi. Meski tak sabar, tetapi tak lupa juga perannya sebagai ibu rumah tangga. Berbekal bahan makanan yang dibawa dari desa, mereka semua memasak di dapur. Ada yang merebus sayur, menggoreng ayam, hingga mengulek sambal.
Dengan cekatan para ibu ini memasikan ketersediaan pangan terlebih dahulu di atas meja. Mereka juga menyempatkan diri untuk memastikan anak-anaknya sudah menyantap sarapan. Kesedihan tidak menghilangkan rasa tanggung jawab mereka.
Sukemi, Sedar, dan Sri kemudian duduk lesehan di salah satu bangunan kayu berlantai keramik. Selesai dengan rutinitas di dapur, mereka rehat sejenak sambil menunggu waktu selepas sholat Jum’at nanti. Rencananya, saat itulah para istri dan PH akan berangkat ke Polres Kobar.
Disela-sela menanti, mereka kembali mencurahkan isi hatinya. Sukemi yang pertama. Dari semalam matanya memang selalu terlihat sendu. Sesekali ia bahkan tampak melamun.
Perempuan asal Pati, Jawa Tengah, ini memulai kisahnya dari pertemuan ia dengan Aleng, suaminya. Bak takdir, pada tahun 1991 ia menjadi perantau di desa Kinjil, bertemu Aleng, dan menikah pada tahun yang sama. “Ya, namanya juga karena sama-sama suka,” katanya agak tersipu.
Sukemi ingat ia bersama seorang anak laki-lakinya hidup cukup bahagia dengan Aleng. “Dulu kami berkebun karet,” kenangnya. “Tetapi kemudian berganti menjadi kelapa sawit perusahaan itu.”
Sejak berganti menjadi kelapa sawit, masalah mulai muncul. “Bilangnya kalau bisa dibuka untuk menanam sawit, kami bisa terima kavlingan. Hasilnya itu bisa untuk sekolahkan anak, bilangnya begitu,” katanya.
Sukemi berkisah bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit BGA saat itu menawarkan tidak cuma Aleng, tetapi masyarakat Kinjil membuka lahannya untuk kelapa sawit. Mereka dijanjikan akan diberikan hasil, semacam plasma dari perusahaan. Namun, lahannya dari masyarakat. “Waktu itu Pak Aleng mau, kan diserahkan,” lanjutnya.
“Kalau menyerakan tanah, besok kalau sudah jadi sawit mereka bilang akan dikasih kavlingan untuk biaya menyekolahkan anak sampai kapanpun. Mereka, perusahaan, bilangnya begitu, janji seperti itu,” kisah Sukemi menegaskan sekali lagi perkataan perusahaan kepada keluarganya.
Namun, saat itu Aleng dan keluarganya justru tak kunjung mendapat kavlingan atau yang disebut plasma. Tahun 2016, Aleng menuntut lahannya dikembalikan. Tuntutan ini tidak hanya dilakukan Aleng saja tetapi bersama beberapa warga Kinjil lainnya. Bahkan, didampingi oleh Sawit Watch, sebuah lembaga non-pemerintah, mereka melayangkan komplain ke RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) karena BGA adalah anggotanya.
Sejak saat itu, lahan di bawah pengawasan Aleng. Ia dan keluarganya yang membersihkan dan merawatnya. Meski begitu, Sri Sukatmi, menantu Aleng bercerita perusahan pernah beberapa kali mencoba datang untuk memanen. “Pernah dulu satu atau dua kali mereka coba panen, tetapi bapak usir,” katanya.
Menurut pengakuan para ibu ini, Aleng dan keluarga sama sekali belum pernah memanen sawit di lahan tersebut. Hanya pada tanggal 27 April 2023 lalu, Aleng baru mengajak keluarganya bersama-sama memanen buah sawit di sana.
Inipun ia lakukan setelah pada tahun 2020, RSPO mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa obyek tanah yang diklaim adalah areal plasma masyarakat melalui skema plasma. Lahan tersebut bukan milik BGA karena bukan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) BGA, sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Hukum Agraria.
Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU/HGB dan Hak Untuk Menggunakan Tanah juga menerangkan hal serupa. Sehingga, status lahan yang bersengketa tersebut tidak lagi di bawah kendali BGA.
Bahkan pada tahun 2020 juga, dibuat surat kesepakatan antara desa dengan Aleng. Termasuk juga surat pernyataan kepemilikan tanah dari desa yang dikembalikan kepada Aleng. “Bilang bapaknya (Aleng), itu sudah hak milik sendiri,” kata Sukemi sekali lagi menegaskan.
Sukemi dan Sri juga bercerita bahwa mereka turut membantu panen dengan sama-sama jadi pembrondol. “Saya itu brondol, mengumpulkan buah-buah sawit yang gugur dari tandannya,” kata Sukemi. “Namanya juga hak milik sendiri, jadi saya ikut,” terangnya lagi.
Sri juga menambahkan bahwa ada 6 orang yang membantu mertua laki-lakinya itu memanen. “Ada Maju, Siar, Jaka, Sukemi mertu saya, Suwadi suami saya, dan saya.” Namun, yang ditahan saat ini hanya Aleng, Suwadi, dan Maju.
Tidak hanya bingung karena ketiga orang keluarganya ditahan, mereka juga tidak mengerti kenapa penangkapan itu harus terjadi. Sedar, istri Muji, bahkan tidak tahu-menahu alasan dan bagaimana suaminya ditahan. “Saya memang benar tidak tahu, karena saat itu saya sedang di kebun,” katanya.
Sedar dan suaminya memiliki kebun sawit sendiri. Luasnya kurang lebih 3 hektar. Kebun inilah tempat mereka mencari rejeki.
“Sawit kami masih kecil, baru ditanam,” kata Sedar. Karena inilah setiap hari ia dan suami ke kebun untuk penyemprotan dan perawatan. Namun, hari itu Muji pergi lebih dulu untuk membangun pondok. Sesampainya Sedar di sana, suaminya sudah tidak ada lagi.
Sedar tidak khawatir. Dari anaknya, Sedar diceritakan bahwa suaminya memang sempat pulang ke rumah dan mengatakan baru selesai membantu Aleng.
Pulang sebentar, Muji kembali lagi ke kebun. “Saya tidak kepikiran. Sehabis panen itu, dia langsung ke kebun, bikin pondok. Jadi, saya mikirnya ya tidak ada apa-apa karena bapaknya juga tidak ada bilang kalau seumpama Mas Aleng ditangkap,” jelasnya. “Jadi saya kerja terus.”
Sore hari ketika pulang dari kebun ia baru mendengar kabar penangkapan kakak tertuanya, Aleng dari keluarga. Namun, belum jelas juga kenapa.
Keesokannya, Sedar dan keluarga tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa. Suaminya masih membuat pondok, hingga salah seorang keponakan mereka datang dan mengabarkan bahwa Muji disuruh pulang ke desa. “Setelah itu, saya tidak tahu lagi,” katanya.
“Bingung,” ungkap Sedar. “Setelah sampai di rumah, adik-adik saya bilang suami sudah dibawa.” Raut wajahnya kusut mengenang hari itu. Sedar mengaku kaget. “Saya kira dia akan balik ke kebun. Tapi sampai sore, ternyata sudah tidak ada lagi.”
Sukemi juga mengalami hal serupa. Selesai panen, ia pulang duluan. Ia tidak menyaksikan saat suaminya dibawa polisi. “Saya tunggu tetapi tidak pulang juga. Waktu saya hubungi, petugas Polsek Kolam yang mengangkat.” Dari situlah ia tahu bahwa suaminya ditangkap.
Penangkapan Suwadi dan Muji memang dilakukan sehari setelah Aleng, begitu pun Siar dan Jaka. Jika Muji tak sempat bertemu istrinya, maka lain lagi Suwadi. Kediamannya didatangi Polisi bersama Sekretaris Desa Kinjil. Mereka bilang hanya akan menanyai untuk barang bukti agar meringankan kasus Aleng. Makanya, Suwadi dibawa. Sukemi dan Sri mengiringi Suwadi sampai ke Pangkalan Bun.
Sri bercerita sesampainya di Polres, kedua keponakannya, Siar dan Jaka ditanyai Polisi di bagian perlindungan perempuan dan anak, terpisah dengan Suwadi dan Muji. Mereka ditanyai siapa saja yang ikut memanen, sehingga nama Sri dan Sukemi pun disebut.
“Penyidik bertanya dimana dua perempuan itu? Saya langsung masuk dan bilang saya ikut memanen, saya pembrondol yang muat di tempat dan langsung memasukan ke mobil,” cerita Sri dengan nada tegas.
“Lalu mereka bertanya, ibu bawa anak ya? Saya jawab iya. Mereka bertanya lagi, anaknya bisa dititipkan sama keluarga atau teman? Saya bilang tidak bisa. Mau dititipkan sama siapa lagi memang anak saya,” lanjut Sri. “Mereka hanya bilang, ya sudah besok saja kita lanjut. Tapi sampai sekarang tidak ada lagi,” terangnya.
Tidak jelas apakah ia akan ditanyai atau tidak. Namun, tidak juga ia dan keluarga disuruh pulang. “Kami cuma disuruh menunggu sampai besok, tetapi tak juga dipanggil ataupun dipersilahkan pulang,” kata Sri.
Sehingga, Sri dan anaknya, Sukemi, serta orang tua Siar dan Jaka tidur di depan kantor penyidik. “Kami tidur di depan kantor penyidik itu sampai jam setengah 2 atau setengah 3, baru kami pindah ke losmen,” jelasnya. “Jadi, kami datang hari Jum’at. Kami tunggu sampai hari Senin, tetapi tidak ada kabar juga. Terpaksa kami pulang.” Sementara menurut pengakuan Sri, surat penangkapan suaminya baru diberikan hari Minggu di Pangkalan Bun.
Sampai sekarang, ketiga perempuan ini masih tidak mengerti apa salah suami mereka sampai harus ditangkap. “Kami tidak mencuri,” tegas Sri. “Kami hanya melakukan yang sewajarnya sudah jadi hak milik sendiri. Seandainya kami mencuri, kenapa kami panennya berani bersamaan dengan BGA?”
Sri menyampaikan bahwa letak lahan hanya bersebelahan dengan kebun BGA. Sehingga, dapat terlihat jelas saat itu para pekerja perusahaan juga sedang memanen. Petugas keamanan, manajer, dan asistennya bahkan datang dan mengobrol santai dengan suami dan bapak mertuanya. Tidak ada cekcok, tetapi memang sesekali terllihat mereka mengambil foto.
Tidak disangka bahwa hal ini justru dilaporkan oleh perusahaan kepada Polisi. Mereka menuduh Aleng dkk mencuri buah sawit. Inilah yang membuat Sri kesal. “Kalau orang mencuri kan tersembunyi, tidak mungkin terang-terangan seperti kami,”katanya.
Sepakat dengan Sri, Sedar juga menyatakan hal serupa. “Tidak mungkin suami saya mencuri. Kalau mencuri tidak mungkin dia berani terang-terangan. Menurut saya, bapak tidak salah,” tegasnya.
Karena itu Sukemi, Sedar, dan Sri yakin para suaminya tidak bersalah. “Itukan sudah hak milik sendiri. Harapannya laporan itu dicabut,” kata Sukemi menambahkan.
Namun, jika pun memang harus bertarung di persidangan mereka mengaku siap. “Kami akan lanjut memperjuangakan hak kami,” tegas Sri. Sukemi bahkan menegarkan diri dan mengatakan akan terus menuntut haknya, begitu pun Sedar.
Sholat Jum’at sudah selesai. Saatnya ketiga perempuan ini berangkat menemui suaminya. Tampak mereka menguatkan diri. Sesekali menarik nafas meski raut wajah muram kadang tak dapat mereka tutupi.
Menutup curahan hati mereka siang itu, Sri berkata akan menyampaikan semangat untuk suaminya. Ia dan para istri lainnya akan tetap mendukung perjuangan suami mereka.
“Saya akan bilang, Sabar. Karena kita bukan pencuri,” tegas dan pesan Sri mewakili suara hati para istri. (P. Juliana)