Oleh Sandi Kurniawan
Perampasan ruang hidup Masyarakat Adat kian meluas yang berujung pada konflik antara masyarakat, perusahaan, bahkan aparat. Konflik yang tak kunjung usai itu hanya menyisakan derita bagi masyarakat.
Di bawah rerimbunan pohon cempedak, James Watt sedang mengumpulkan hasil panennya. Pria paruh baya itu kemudian mengangkut hasil panen buah sawitnya itu dengan motor sambil menyusuri jalan pulang menuju rumah. Begitu lah aktivitas James usai keluar dari penjara selama hampir satu tahun. Kegiatannya direkam oleh Watchdoc dalam film dokumenter berjudul Tanah Moyangku, 9 Agustus 2024.
Seakan teringat memori masa lalu. James Watt, yang merupakan pejuang lingkungan, selama ini melakukan pendampingan di Desa Penyang dan melakukan pengumpulan data terkait konflik agraria dengan PT HMBP. Namun, dalam kasus itu, ia justru dituduh memberikan perintah mencuri.
Ia ingat betul, Selasa (2/6/2020), sidang ke-10 digelar dengan terdakwa James Watt dan Dilik, warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur. Sidang dilaksanakan secara daring dan dipimpin oleh hakim ketua AF Joko Sutrisno. James Watt dan Dilik menjalani sidang daring dari tahanan Polres Kotawaringin Timur. Terdakwa lainnya, Hermanus, meninggal karena sakit beberapa waktu lalu. (Kompas.id/9 Agustus 2024).
Begitulah kisah James Watt. Namun, apa yang dialami James Watt juga dirasakan warga lainnya. Di Desa Bangkal, tempat tinggal James Watt, pada Sabtu (7/10/23) siang menjadi hari paling mencekam.
Siang itu, suasana mencekam saat warga aksi tuntut plasma ke perusahaan sawit, PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), berbuntut tewasnya seorang warga, Gijik (35). Gijik tewas ditembak aparat saat bentrokkan.
Tak hanya Gijik, Taufikurrahman juga tertembak, beruntung nyawanya selamat. Tetapi ia harus cacat seumur hidupnya.
Di lain wilayah Indonesia, konflik perampasan hak dan ruang hidup Masyarakat Adat terjadi di berbagai wilayah-wilayah adat, seperti yang dilansir dari website aman.or.id dalam Catatan Akhir Tahun 2023, setidaknya ada 2.578.073 hektar wilayah adat dirampas oleh Negara dan korporasi atas nama Investasi. Total terdapat 247 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi, 204 orang mengalami luka-luka, 1 orang meninggal ditembak, 100 lebih masyarakat adat yang tempat tinggalnya dihancurkan atas nama investasi.
Perampasan lahan itu berujung pada konflik. Kasus-kasus yang terjadi di tahun 2023 diantaranya: perampasan wilayah Adat Poco Leok, Manggarai NTT. Perampasan wilayah adat Kepulauan Aru, Maluku. Kekerasan dan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Dayak di Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah. Praktik Buruk Perusahaan di Muaro Langkap, Kerinci-Jambi. Perampasan Wilayah Adat dan Kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Rempang, Batam-Kepulauan Riau. Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam. (Website aman.or.id/Catatan Akhir tahun 2023)
Kasus-kasus diatas sesungguhnya terjadi akibat pemerintahan pusat melalui kementerian sektoral telah melakukan pengabaian terhadap pemenuhan hak Masyarakat Adat atas wilayah adat atau bagian tertentu dari wilayah adatnya. (Website aman.or.id/Catatan Akhir tahun 2023)
Menurut BRWA Sampai saat ini, telah registrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota,” kata Kepala BRWA, Kasmita Widodo dalam acara press rilis “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia, Selasa 9 Agustus 2023. “Dari 1.336 total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9 %. Masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah”, ucap Kepala BRWA.
Adapun pernyataan dari Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto, pada pertemuan 10th Facilitative Working Group (10th FWG) Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP) Road to UNFCCC COP 28 dilaksanakan pada tanggal 25 – 28 November 2023 di Dubai.
Sejak tahun 2016 hingga 2023, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 131 SK Hutan Adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten dengan total luas sekitar 244.195 hektar dan melibatkan 76.079 kepala keluarga. Adapun pada tahun 2023, terdapat tambahan 23 Hutan Adat dengan luas 90.873 hektar, dengan luas indikatif Hutan Adat seluas 836.141 hektar yang tersebar di 16 provinsi. (ppid.menlhk.go.id/SIARAN PERS).
Melihat hal itu Nora Hidayati, Manajer Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa. Menurut dia, tim terpadu harus lebih efisien dalam bekerja hingga ada percepatan pengukuhan hutan adat. Selama ini, pengukuhan hutan adat oleh KLHK terkendala oleh gerakan tim terpadu yang juga dibatasi anggaran. Mereka, katanya, hanya bisa verifikasi di daerah yang memiliki pengajuan hutan adat kolektif. “Misalkan sekarang ada usulan tujuh di Aceh. Mereka akan mengutamakan itu dulu, ketimbang yang ada di Kaltim, misal, yang cuma ada satu usulan,” ucap Nora. (Mongabay/ Pengakuan Wilayah Adat Lambat/9 Agustus 2023).
Untuk mengefektifkan kerja tim terpadu, katanya, perlu penyederhanaan proses untuk kawasan yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah. Menurut dia, verifikasi teknis yang rumit dan berlarut hanya akan mementahkan pengakuan yang sudah dilakukan pemerintah daerah. “Kan pengakuan itu sudah ada di daerah. Mereka seharusnya percaya terhadap kerja daerah dan menyederhanakan verifikasinya,” kata Nora. (Mongabay/ Pengakuan Wilayah Adat Lambat/9 Agustus 2023).
KLHK pun, kata Nora kerap mengesampingkan usulan penetapan hutan adat di daerah kalau tidak dikawal. “Tidak ada tenggat di KLHK dan tidak ketahuan berapa lama proses itu berjalan di sana.” Padahal, kalau KLHK gesit, mereka tidak hanya bisa memproses usulan penetapan hutan adat. juga mendesak daerah yang sudah memiliki perda tetapi tidak memiliki surat keputusan pengakuan masyarakat adat di wilayahnya. (Mongabay/ Pengakuan Wilayah Adat Lambat/9 Agustus 2023).
Akhirnya, dengan lambatnya proses pengakuan dan pengesahan hutan adat, berpeluang besar untuk terjadinya perampasan lahan, kerusakan ruang hidup dan konflik yang berujung merugikan Masyarakat Adat. Pengakuan dan pengesahan tersebut menjadi penting, supaya prinsip kemerdekaan sesungguhnya bisa terwujud tidak hanya untuk Masyarakat kelas menengah ke atas, tapi juga merata untuk Masyarakat kelas bawah dalam hal ini Masyarakat Adat.
Untuk itu, diperlukan Komitmen yang kuat dari Pemerintah, baik di Daerah, provinsi maupun pusat, untuk segera mengakui dan mengesahkan wilayah-wilayah adat dan hak-hak yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat agar terciptanya keadilan sosial, sesuai amanat Pancasila.