Empat tahun lamanya kegiatan restorasi gambut dijalankan di Kalimantan Tengah. Namun, sampai saat ini pembukaan lahan dan pembakaran di lahan gambut justru kian marak. Bahkan, hal itu terjadi di kawasan hutan.
Pada Rabu (29/01) tim Field Monitoring Save Our Borneo(SOB) mengikuti verifikasi lapangan. Verifikasi ini dilakukan oleh petugas dari Badan Restorasi Gambut (BRG) yang didampingi petugas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Penegakkan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SPORC Gakkum KLHK).
Kegiatan ini dilakukan berdasarkan surat pengaduan SOB pada tanggal 16 Desember 2019. Isinya adalah tentang dugaan adanya aktivitas pembukaan dan pembakaran lahan gambut pada kawasan hutan di wilayah Kota Palangka Raya.
Namun, karena letaknya di perbatasan antara Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) dan Kota Palangka Raya, maka tim melakukan konfirmasi kepada Udin Agon, Kepala Desa (Kades) Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulpis, Kalteng . “Saya tidak mengetahui pasti kebakaran lahan yang terjadi di wilayah itu,” katanya.
Udin juga mengatakan bahwa secara administrasi wilayah itu memang masih termasuk di Kota Palangka Raya, tepatnya di Kecamatan Sebangau. Tetapi, sebelum dia menjadi Kades, pada tahun 2013 pernah terjadi kesepakatan antara kelompok tani desa Tanjung Taruna dan Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sebangau.
Dalam kesepakatan itu, menurut Udin, dinyatakan bahwa sebagian dari wilayah itu adalah milik kelompok tani Desa Taruna. Sedangkan, sebagiannya lagi milik kelompok tani Kelurahan Sabaru. “Jadi saya tidak tahu secara pasti dimana batas antara Pulpis dan Kota Palangka Raya ini,” ungkapnya.
Sementara itu, di lapangan, tim menemukan hal baru. Jika sebelumnya ditemukan satu sumur bor, namun verifikasi itu ditemukan dua patok dan satu plang bertuliskan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa di lahan garapan. Sedangkan, excavator juga masih ada di situ tetapi tidak beroperasi.
Menurut informasi yang diterima tim SOB dari seorang pekerja di lokasi, patok dan plang tersebut masih baru. “Patok dan plang itu baru dipasang sekitar satu bulan ini,” katanya.
Pekerja itu juga mengatakan bahwa ia tidak mengetahui secara pasti siapa dan apa tujuan pemasangan patok dan plang itu. Sebab, ia baru bekerja selama tiga bulan untuk menanam dan memelihara kebun sengon saja. Meskipun, keberadaan kebun itu masih satu hamparan dengan lokasi yang diverifikasi.
Kondisi ini menjadi ironi ditengah empat tahun perjalanan restorasi gambut di Kalimantan Tengah oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Sebab, Kontra Restorasi (pembukaan lahan gambut) masih terjadi di mana-mana.
Perjalanan Restorasi
Lantas, apa kaitannya dengan Kontra Restorasi dan KHDTK Tumbang Nusa? Tertulis di laman website Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru, KHDTK Tumbang Nusa adalah satu-satunya hutan penelitian rawa gambut Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dari 33 KHDTK di Indonesia.
Hutan Penelitian di lahan rawa gambut Tumbang Nusa ini dimiliki dan dikelola oleh BP2LHK Banjarbaru sejak tahun 1998. Status hukum Hutan Penelitian adalah KHDTK berdasarkan SK penunjukan Menteri Kehutanan No.76/Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005. Adapun luasnya adalah 5.000 hektar (ha), dengan kedalaman gambut ≥ 3 meter, terletak dalam kawasan hutan produksi tetap wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Secara administrasi, KHDTK terletak di desa Tumbang Nusa dan Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Sedangkan, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan, areal KHDTK ini masuk wilayah kerja Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng dan dalam wilayah hukum Kepolisian Resort Pulang Pisau.
Sejatinya, KHDTKadalah kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan religi dan budaya setempat, sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 dengan tanpa mengubah fungsi kawasan yang dimaksud. Artinya, seluruh kegiatan yang berada dalam Kawasan ini harus beriringan dengan upaya restorasi lahan gambut yang dilakukan Pemerintah, termasuk kerja-kerja restorasi yang dilakukan BRG.
Terkait hal itu, bila mengingat kembali, pada kemarin adalah tepat 1.484 hari sejak lahirnya BRG di Indonesia. Hal itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016.
Lahirnya BRG ini merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintah dalam mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. Sehingga, tujuannya juga termasuk upaya pencegahan dan penurunan resiko kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus berulang.
Namun, seperti kita ketahui bersama, sebagian besar lahan gambut di Kalimantan sudah tidak dalam kondisi alaminya lagi. Gambut telah mengalami kerusakan dan degradasi parah akibat dari salah pengelolaan lahan yang selama ini dilakukan.
Kehadiran BRG sebelumnya diharapkan dapat bersinergi dalam kordinasi dengan Lembaga dan berbagai pihak untuk penyelamatan dan perbaikan ekosistem gambut di Indonesia. Namun, sangat disayangkan restorasi gambut tampak tidak berarti apa-apa tatkala terjadi pembiaran terhadap berbagai aktivitas kontra restorasi.