Azzahra Kiranafayza
Selama setidaknya dua tahun, seorang guru ngaji berinisial H (30 tahun), di Palangka Raya, menjadi pelaku kekerasan seksual. Korban adalah muridnya, perempuan 16 tahun. Interaksi yang intens saat belajar agama dan sebagai guru ditakuti, pelaku leluasa melecehkan muridnya.
Pencabulan itu terhenti, ketika keluarga korban dan warga sekitar melaporkan pada polisi. Polisi meringkus pelaku kejahatan seksual ini pada 27 Juni 2022.
“Saat diperiksa tersangka mengaku melakukan hal itu karena sering menonton film porno,” kata Ronny Naban, Kasatreskrim Kepolisian Resor Kota (Polresta) Palangka Raya saat itu, sebagaimana dilansir Kompas.id Rabu (29/6/2024).
Kasus ini lambat terungkap sebab korban takut dan malu untuk melaporkan kepada keluarga. Setelah hampir dua tahun memendam trauma, korban baru berani bicara.
Kasus seperti ini bukan sedikit terjadi di Kalimantan Tengah. Sebagaimana dilansir Kompas.tv (30/6/2022), Polda Kalimantan Tengah mencatat kenaikan lebih dari seratus persen kasus kekerasan seksual dari 2020 ke 2021. Pada 2020 terdapat 38 kasus. Setahun kemudian terjadi 85 kasus, ditambah 25 kasus kekerasan fisik.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada bulan Mei 2022 sampai dengan Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Seiring perkembangan interaksi digital, laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual berbasis Elektronik (KSBE).
Kekerasan seksual merupakan perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau tindakan lainnya terhadap tubuh. Ini terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual atau fungsi reproduksi. Ia dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.
Biasanya kekerasan seksual ini terjadi karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender atau sebab lain antara pelaku dan korbannya. Pelakunya seringkali merupakan orang-orang yang dekat dengan korban.
Selain menindak tegas pelaku, korban kekerasan seksual harus diperhatikan juga kepentingan dan kelangsungan hidupnya secara wajar, baik fisik maupun kondisi psikologisnya. Perhatian ini bisa diwujudkan dalam konsep rumah aman bagi para korban. Rumah aman untuk korban memfasilitasi pendampingan psikologis, dukungan orang-orang sekitar dan pendampingan advokasi.
Sebagaimana dirilis Kumparan, selama periode Oktober 2020 – Maret 2021, sudah didirkan sebanyak 11 rumah aman. Dikelola LBH Apik, lembaga bantuan hukum yang mengadvokasi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, rumah aman itu telah memberikan pelayanan kepada 137 perempuan korban kekerasan.
Para korban tidak hanya mendapatkan tempat yang aman, tapi juga memperoleh layanan hukum untuk menindaklanjuti kasus masing-masing. Selama di rumah aman, para korban juga mendapatkan terapi psikologis dan pertanggungan medis.