Search
Close this search box.

Balian, Penanda Jejak Leluhur dari Hulu Sungai Montalat

Oleh : M. Habibi

Di hulu Sungai Montalat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, tersembunyi sebuah kampung tua bernama Tongka. Di desa ini, tradisi pengobatan kuno yang dikenal dengan nama balian. Tradisi pengobatan kuno ini dihormati sebagai warisan leluhur yang tak ternilai.

Seperti masyarakat adat Dayak pada umumnya, kehidupan masyarakat Desa Tongka begitu erat dengan alam. Mereka menggantungkan hidupnya pada hutan dan tanah. Di sela-sela hutan, ladang-ladang ditanami padi lokal. Uniknya hanya ditanam sekali setahun tidak seperti sawah yang ditanam berkali-kali. Semua dikerjakan dengan pola tanam tradisional.

Selain bertani, masyarakat juga membudidayakan karet, kakao, dan jagung, yang sebagian hasilnya dijual sebagai pakan ternak. Sebagian warga bekerja sebagai aparat desa, pegawai negeri, pedagang, atau karyawan perusahaan kayu dan tambang di sekitar wilayah itu.

Situasi itu saya lihat dan rasakan kala pertama kali menginjakkan kaki di Tongka pada 2021 lalu. Saya menyusuri pedalaman anak Sungai Barito, wilayah yang sarat akan kisah sejarah dan legenda, untuk menuju desa itu.

Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah bahasa mereka. Sekilas terdengar seperti bahasa Thailand, meski ternyata kemiripan itu hanya terdapat pada beberapa kata.

Menurut penelitian Neni Puji Nur Rahmawati dan Musfeptial (2015) berjudul Upacara-Upacara Adat pada Komunitas Adat Dayak Taboyan, kata Taboyan berarti “jernih, bersih, dan aman.” Suku ini terbagi dalam tiga kelompok besar: Taboyan Lawangan, Taboyan Teweh, dan Taboyan Bantiak, yang tersebar di tiga kecamatan di Barito Utara: Gunung Timang, Gunung Purei, dan Teweh Timur.

Dalam penelitian tersebut juga dikisahkan bahwa leluhur Dayak Taboyan berasal dari Kerajaan Kutai. Mereka bermigrasi ke wilayah yang dikenal sebagai Tanjung Goang Ka Talino dan Neden Balik, dua tempat yang dianggap kampung gaib. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke Tangur Suai di hulu Sungai Teweh dan dikenal sebagai Suku Senakai. Sebelumnya, mereka disebut Dayak Bawo, meskipun tidak dijelaskan secara rinci kapan dan bagaimana perubahan nama tersebut terjadi.

Penasaran, saya bertanya langsung kepada warga tentang bahasa yang mereka gunakan. Ada yang menyebutnya Taboyan, ada pula yang mengatakan Tewoyan. Rupanya, kedua istilah ini merujuk pada dialek yang berbeda namun memiliki makna yang sama.

Perjalanan saya di Tongka mempertemukan saya dengan Rodi Gusta Irawan (50), atau Bang Rodi, tokoh masyarakat yang kala itu menjabat sebagai Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan desa. Meski sibuk mengurus administrasi, semangatnya terhadap pelestarian hutan sangat tinggi. Ia adalah penggerak utama dalam pengajuan skema perhutanan sosial melalui program Hutan Desa.

Namun, Rodi bukan sekadar pejabat desa. Ia menyimpan pengetahuan mendalam tentang kawasan hutan sekitar, termasuk situs-situs penting yang pernah dijelajahi sejak remaja, saat ia sering berburu sarang walet di gua-gua rimba, bahkan hingga ke wilayah Kalimantan Timur.

Rodi (kiri) dan Ilwati (kanan) saat mengnjungi Tanir di dalam hutan Gunung Oke, Desa Tongka

Dalam satu percakapan, ia menuturkan bahwa leluhur Taboyan hidup secara nomaden, mengikuti aliran Sungai Montalat. “Orang tua kami dulu hidup berpindah-pindah. Sungai jadi jalan, gua dan hutan jadi rumah,” ujarnya.

Menurut Rodi, jejak sejarah itu masih tersisa dalam berbagai situs sakral yang saat ini masuk dalam area hutan desa, seperti Gunung Oke, tempat ditemukannya peti kayu ulin berisi tulang belulang. Gua di Gunung Oke ini diduga merupakan tempat persemayaman leluhur. Ada pula Tanir, lokasi yang dipercaya menyimpan tengkorak milik Lumbing Jewata Tongka, pendiri desa. Nama lain yang disebut warga adalah Janir, meski tidak sekuat keyakinan terhadap Lumbing Jewata.

Kisah lain yang saya dengar adalah tentang Liang Daong, sebuah gua besar yang diyakini sebagai tempat musyawarah. Meski saya belum sempat melihatnya langsung, imajinasi saya menggambarkan betapa megahnya gua tersebut sebagai ruang pertemuan nenek moyang. Ada juga Kelaat Brasen, pertemuan dua anak sungai yang airnya berbeda warna, satu jernih, satu keruh dan dipercaya sebagai tempat penempaan senjata pusaka.

Setahun setelah kunjungan pertama, saya kembali ke Tongka dan bertemu dengan sosok muda inspiratif, Edo Sylvanus Gerhat (27). Ia adalah seorang mantir adat muda sekaligus dukun balian yang sangat aktif melestarikan tradisi.

Meski berlatar pendidikan teknik lingkungan dari Yogyakarta, Edo tidak melupakan budaya leluhurnya. Justru ia menjadi jembatan antara pengetahuan modern dan tradisi lokal. Ia memimpin ritual pengobatan tradisional, membaca doa-doa adat dengan khidmat, serta menggerakkan kaum muda untuk mencintai budaya sendiri.

Edo Syilvanus Gerhat saat berjalan memasuki hutan di Desa Tongka

Edo menceritakan kepada saya kisah asal-usul orang Taboyan. Menurutnya, leluhur mereka berasal dari satu pencipta agung yang disebut Ju’us Tuha Alah Tala. Dalam kepercayaan mereka, Tuhan dikenal melalui berbagai gelar dan sifat yang mencerminkan pemahaman mendalam terhadap alam dan semesta.

“Sebenarnya, Ju’us Tuha Alah Tala itu adalah gelar tertinggi bagi Tuhan. Artinya roh paling tua dan tertua. Ia bukan hanya pencipta, tapi juga sumber dari segala yang ada,” ujarnya.

Edo juga menyebut beberapa gelar pencipta lain seperti Tatau Aning Kelelio (sumber kemurnian dan kesucian) dan Dewa Kelelungan (sumber segala roh kehidupan). Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa dalam spiritualitas Taboyan, pencipta diwujudkan dalam tiga aspek utama

Menurutnya, ada yang disebut Nayu, yaitu melambangkan sifat keayahan, tegas, keras, bahkan berperang. Ada pula Jewata, mewakili energi keibuan, penuh kasih, lembut, dan pengampun. Selanjutnya, Uwok. Yaitu  sosok penolong yang netral, membantu manusia menjalani kehidupan sebagai bagian dari keseimbangan semesta.

Pada pertengahan 2023, saya juga bertemu dengan Edi Sumantri (53), Kepala Desa Tongka yang baru. Dalam perbincangan singkat, ia mengatakan bahwa Tongka memiliki keterkaitan historis dengan Kerajaan Banjar, terutama dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Salah satu tokoh penting, Tumenggung Kenten, disebut pernah membantu pasukan Banjar saat mereka terdesak oleh Belanda.

“Dulu ada benteng tua di desa ini, tempat para pejuang Taboyan mempertahankan wilayah mereka,” ujar Edi.

Tongka juga menyimpan legenda tentang sebuah sumur keramat yang disebut Sumur Putri Raja. Hingga kini, lokasi sumur itu belum ditemukan, namun kisahnya masih hidup dalam ingatan kolektif warga dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Meski waktu saya berbincang dengan Edi terbatas, Edo kembali melengkapi cerita-cerita tersebut. Menurut edo, gelar temanggung, raden, dan pangkalima, itu menunjukan adanya strata sosial yang diberikan oleh pihak kerajaan terdekat seperti kerajaan kutai dan kerajaan banjar.

“Mengapa mereka diberi gelar tersebut, kalau raden itu tokoh-tokoh Taboyan di desa Tongka yang beristri dari pihak kerajaan. Kalau temanggung, itu dulunya memang selalu bermusuhan dengan pihak kerajaan dia selalu berperang bahkan merampok harta kekayaan dari pihak kerajaan” jelas Edo.

Edo melanjutkan, karena pihak kerajaan tidak dapat menaklukan para tokoh tersebut, akhirnya mereka diberi gelar temanggung oleh pihak kerajaan dengan tujuan agar para tokoh tersebut tidak lagi menyerang kerajaan. “Di Tongka ini dulu ada beberapa tokoh yang bergelar temanggung, seperti Temanggung Kenten, Temanggung Santet, Temanggung Sirat Jaya” Lanjut Edo.

Sumber Kehidupan

Setelah mendengarkan kisah dari tiga tokoh yang berbagi tentang sejarah dan adat Dayak Taboyan di Tongka, saya jadi berpikir alam memang jadi sumber kehidupan. Tak hanya itu, alam juga menjadi pusat spiritualitas masyarakat di sekitarnya.

Perjalanan saya berlanjut. Kali ini pun tak kalah berkesan, saya bertemu dengan tiga perempuan yang bagi saya mereka sungguh luar biasa. Ada Pemiluwati (53), Ilawati (45), dan Watiana (53). Ketiganya dikenal karena begitu aktif dengan semua aktivitas di alam terbuka.

Ilawati (kiri) bersama Pemilu (tengah) dan Watiana (kanan) saat berdiskusi tentang potensi sumber daya alam dalam area hutan desa Gunung Oke

 Tentu saja, banyak perempuan Dayak Taboyan lainnya yang juga memiliki pengetahuan dan keahlian luar biasa, namun dari ketiganya, saya mendapat kesempatan menyaksikan secara langsung bagaimana alam menjadi ruang hidup yang mereka kenali, rawat, dan hargai.

Ada salah satu situs penting yang memiliki cerita dan sejarah bagi orang Taboyan di Desa Tongka. Situs itu bernama Tanir dan di tempat itu lah saya berjumpa dengan Pemiluwati dan Ilawati, jauh di dalam hutan Desa Gunung Oke. Keduanya, bahkan, menjadi penunjuk jalan, memandu kami menyusuri hutan lebat Tongka dengan langkah yang mantap dan penuh percaya diri.

Pemilu dan Ila, begitu mereka kerap disapa, sangat menguasai seluk beluk jalan di bawah rindangnya hutan. Meski pepohonan begitu rapat mereka dengan cepat menuntun kami menuju jalan untuk menuju Tanir. Sesekali keduanya mengeluarkan bilah golok yang tersarung di pinggang, keduanya cekatan menebas ranting dan dahan yang menghalangi jalan. Gerakan mereka lincah dan terlatih, mencerminkan pengalaman bertahun-tahun menyatu dengan rimba.

Di tengah perjalanan, saat kami beristirahat sejenak, saya bertanya, “Seberapa sering Ibu berdua masuk ke hutan?”

“Sering,” jawab Pemilu sambil tersenyum.

Ia bercerita bahwa aktivitas seperti memancing, berburu, dan berladang adalah bagian dari rutinitasnya. Ia bahkan memiliki beberapa bekas ladang yang kini telah menjadi kebun buah-buahan. 

Pemilu dan Ila sedang rehat dalam perjalanan menuju Hutan Desa di Tanir Nyeloi

Berbeda dengan Pemilu, Ilawati mengaku tidak sesering itu masuk ke hutan. “Kalau saya tidak begitu sering dibanding Ibu Pemilu. Biasanya saya memancing, mencari sayur, mengambil ramuan untuk ritual balian, dan sesekali ikut menuba,” ujarnya.

Menuba adalah praktik tradisional menangkap ikan menggunakan racun alami dari tumbuhan tertentu. Sementara, balian merupakan ritual pengobatan yang dilakukan oleh orang yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.

Setelah berjalan sekitar empat jam menyusuri lebatnya hutan Gunung Oke, kami tiba di Tanir menjelang sore. Rombongan segera menyiapkan tempat beristirahat dan menyalakan api untuk memasak. Namun, Pemilu, Ilawati, dan beberapa perempuan lainnya justru pergi memancing ke Sungai Alar, anak Sungai Montalat. Berkat mereka, malam itu kami menikmati ikan-ikan segar seperti baung, telan, dan gabus.

Dalam kunjungan ke Tongka pada juni 2024, saya bertemu dengan Watiana, seorang perempuan yang tidak kalah tangguh. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di hutan dan ladang bersama suaminya. Bersama-sama mereka menjelajahi lorong-lorong pepohonan, berburu dengan senapan angin, dan memasang jerat untuk menangkap babi, rusa, kancil, dan hewan buruan lainnya.

Menurut cerita warga, Wati memiliki kemampuan berburu. Ia juga mahir menggunakan sumpit, alat tradisional yang memerlukan ketepatan tinggi dan latihan yang tidak singkat.

Saya menyaksikan langsung keahlian Wati dalam hal lain. Saat itu, ia sedang mengoperasikan gergaji mesin untuk membelah balok kayu untuk merenovasi kamar rumahnya. Saya terpukau melihat kemahirannya. Apa yang ia lakukan tidak mudah dan jelas tidak bisa dilakukan oleh semua orang, termasuk saya.

Kemampuan itu, katanya, lahir dari pengalaman yang konsisten. Menebang pohon di hutan, mengolah kayu menjadi papan dan balok, lalu membangunnya menjadi rumah tempat tinggal di ladang, semua itu adalah hal yang sudah biasa ia lakukan.

Watiana saat membuat pondok singgah di dalam hutan menggunkan kayu dan rotan)

Hasil buruan Wati biasanya dijual kepada warga desa. Jika banyak, ia membawanya ke pasar kecamatan di Kandui. Namun, dalam ceritanya, ia mengaku bahwa dari semua jerat yang dipasang, lebih sering zonk, tak mendapatkan tangkapan.

Pada suatu sore, dalam perjalanan kami mengunjungi Tanir dan situs-situs penting lainnya di dalam wilayah hutan Gunung Oke di Desa Tongka. Saya kembali menyaksikan kebersamaan para perempuan dengan alam. Wati, Ibu Pemilu, Ilawati, dan beberapa perempuan lainnya memancing bersama di Sungai Alar. Pemandangan itu langsung membawa ingatan saya kembali ke perjalanan pertama ke Tanir tentang kerja sama dan keahlian yang bersumber dari kedekatan mereka dengan alam.

Hari itu, tangkapan kami sangat melimpah. Ikan-ikan besar dan beragam memenuhi wadah. Namun, karena garam yang kami bawa terbatas, sebagian ikan pun diasap agar awet dan bisa dimakan esok hari.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa bagi masyarakat Dayak Taboyan, hutan bukan sekadar sumber pangan atau bahan bangunan. Hutan adalah ruang hidup yang sakral, tempat spiritualitas tumbuh, tempat pengetahuan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan tempat hubungan sosial dipererat.

Pertemuan saya dengan ketiga perempuan itu memanggil kenangan masa kecil. Dulu, di kampung, saya sering ikut ibu berladang, juga ikut mengambil kelakai (daun pakis), ujau (rebung), dan kulat (jamur hutan). Hasil dari hutan itu menjadi pangan utama keluarga kami. Jika berlebih, kami menjajakannya ke tetangga dan warga kampung. Hasilnya cukup untuk jajan atau kebutuhan harian.

Lebih dari sekadar kenangan, perjumpaan ini mengingatkan saya pada perjuangan ibu saya sendiri. Meskipun kini usianya sudah lebih dari setengah abad dan tidak lagi berladang,  tetap menjalani hidup dengan aktivitas yang serupa dengan Pemilu, Ila, dan Wati. Setiap hari ia masih menyadap karet dan memotong rotan di hutan. Khusus hari Rabu dan Kamis, ia juga masih rutin mencari kelakai, ujau, dan kulat untuk dijual di pasar Jumat di kampung.

Dalam beberapa kesempatan ketika pulang ke kampung halaman, saya masih menjumpai rutinitas ibu. Meskipun kini tidak lagi berladang karena ancaman pidana yang menghantui ibu dan seluruh warga desa jika membakar ladang, sebagian pekerjaan yang dulu pernah saya ikuti sejak kecil hingga remaja, masih tetap ia jalani. Pekerjaan itu antara lain menyadap karet, memotong rotan, dan mencari sayuran di dalam hutan.

Setelah shalat Subuh, saat langit masih gelap, ibu sudah tidak ada di rumah. Walaupun serba seadanya, nasi, lauk, dan sayur selalu ia siapkan di meja makan, sebagian bahkan masih berada di atas kompor. Sekitar pukul tujuh pagi, ketika matahari mulai meninggi, saya biasanya sudah sarapan dengan masakan yang ia buat. Namun, terkadang saya sarapan saat ia pulang dari hutan, karena sekitar pukul delapan pagi ibu sudah kembali ke rumah setelah menyadap karet. Kalau pun ia terlambat, biasanya karena mencari sayur pakis, rebung, atau jamur hutan.

Beberapa kali saya melihat ibu pulang dari menyadap karet dan mencari sayur. Tubuhnya yang kecil, kurus, dan telah menua muncul dari celah rerimbunan rotan dan pepohonan di belakang rumah. Dengan penampilan sederhana mirip anak sekolah, meski bukan seragam sekolah yang ia kenakan. Ia membawa tas ransel lusuh di punggung, sambil menenteng kantong berisi daun pakis dan jamur hasil panennya dari hutan. Terlihat bulir-bulir keringat di wajahnya dan pakaian yang basah oleh peluh.

Ketika masuk melewati pagar dapur dan meletakkan barang bawaannya, ia berkata, “Nah, lumayan usaha hari ini.” Wajahnya tampak bersyukur atas hasil kerja keras sejak Subuh tadi. Ia lalu menggelar bekas karung beras sebagai alas untuk menghamparkan daun pakis, jamur, dan rebung.

Sesekali ia berkata, “Sekarang usaha ini saja yang bisa dilakukan. Hasil ini pun sudah cukup untuk membeli kebutuhan dapur seperti beras, gula, ikan, dan bumbu-bumbu lainnya.”

Meskipun saya sering mengingatkannya agar tidak terlalu keras bekerja, saya merasa bahagia. Di usianya yang tak lagi muda, ibu masih semangat bekerja dan tetap bersyukur atas rezeki yang didapatnya.

Ancaman

Lepas dari perjalanan menyusuri hutan belantara di Desa Tongka dan mengamati kehidupan orang-orang hebat dari masyarakat Dayak Taboyan, saya menyimpan satu kegelisahan dalam hati. Di balik kehidupan yang tampak tenang, sejuk, dan lestari itu, saya merasakan adanya ancaman yang pelan-pelan merayap masuk, ancaman yang tak terlihat secara kasat mata, tetapi nyata ekspansi investasi besar seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pertambangan.

Di sekitar desa Tongka ini sendiri setidaknya ada 2 konsesi HPH yang masih beroperasi hingga saat ini. Selain itu, ada enam izin usaha pertambangan. Dari keenam perusahaan tersebut ada tiga perusahaan tambang yang sudah menjalankan aktivitas pertambangan.

Tentu ini adalah kekhawatiran yang muncul berdasarkan dari pengamatan pribadi saya sebagai orang luar, yang hanya singgah untuk sementara. Tapi dari pengamatan dan perbincangan selama saya berada di sana, saya melihat ada alasan kuat untuk menyebutnya sebagai ancaman. Ancaman terhadap ruang hidup, terhadap pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi, terhadap hutan yang selama ini bukan hanya menjadi sumber pangan dan penghidupan, tapi juga tempat spiritual dan identitas bersama.

Investasi semacam itu hampir selalu datang membawa logika ekonomi semata, target, dan keuntungan. Sementara masyarakat Dayak Taboyan hidup dengan logika keberlanjutan, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap alam. Perbedaan ini bukan soal siapa yang lebih modern, tetapi soal cara memandang kehidupan itu sendiri.

Masuknya perusahaan kayu dan tambang dapat mengubah cara orang-orang dalam memanfaatkan alam dan hutan. Ketergantungan pada skema eksternal dan tekanan ekonomi sering kali mengikis kemandirian, bahkan secara perlahan menyingkirkan nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini menjaga hubungan antara manusia dan alam.

Meski begitu, tidak semua warga Dayak Taboyan di Desa Tongka tergoda oleh janji manis investasi luar. Ada sebagian yang tetap teguh memegang prinsip. Mereka tidak rela tanah leluhur mereka, tempat hutan tumbuh subur dan sungai mengalir jernih, diserahkan begitu saja kepada pihak luar. Kesadaran akan pentingnya menjaga hutan demi keberlangsungan hidup anak cucu kelak membangkitkan semangat mereka untuk bertahan dan mengambil langkah nyata dalam mempertahankannya.

Kegelisahan yang sama juga dirasakan oleh Rodi. Meski kini ia bukan lagi seorang aparat desa, hatinya masih menyimpan kekhawatiran yang dalam. Ia sadar betul bahwa kehadiran berbagai investasi besar yang perlahan menggerogoti wilayah mereka akan menghancurkan hutan-hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan, tempat bernaung, dan identitas masyarakat.

Andai diberi pilihan, Rodi dan warga Tongka lainnya tentu lebih memilih menjadi pemilik dan pengelola tambang atau perusahaan kayu itu sendiri, mengelola kekayaan alam yang melimpah dengan tangan mereka sendiri, demi kemakmuran bersama. Namun kenyataan berkata lain. Keadaan memaksa mereka untuk menerima peran sebagai pekerja, bukan penguasa. Mereka tidak punya cukup kuasa, tidak pula cukup modal.

Sementara itu, izin-izin perusahaan HPH dan tambang muncul begitu mudah, seolah tanpa pertimbangan dampak terhadap masyarakat setempat. Di tengah arus deras eksploitasi, warga Tongka hanya punya satu pilihan, bertahan hidup dengan cara mereka sendiri, meski itu berarti terus berjuang di tanah yang semakin sempit oleh kepentingan luar.

Inisiatif Bertahan

Pada tahun 2018, masyarakat Tongka mencoba mengajukan penetapan hutan adat sebagai bentuk perlindungan terhadap wilayah leluhur mereka. Namun, upaya tersebut menghadapi hambatan administratif. Salah satu syarat utama pengakuan hutan adat adalah adanya pengakuan formal dari pemerintah daerah terhadap keberadaan masyarakat adat itu sendiri, yang hingga kini, pengakuan itu belum juga diberikan.

Menghadapi kebuntuan tersebut, masyarakat Dayak Taboyan di Tongka tidak tinggal diam. Mereka memilih jalur alternatif dengan mengusulkan skema hutan desa, yang secara hukum lebih memungkinkan untuk diakses.

Inisiatif ini bermula sekitar November 2020, saat Rodi ikut menghadiri sosialisasi perhutanan sosial di Malungai, sub-desa dari Bintang Ara, Kabupaten Barito Selatan. Di sana, ia bertemu tim dari Save Our Borneo (SOB) dan Sawit Watch (SW). Sepulang dari Malungai, ia segera mengadakan diskusi di Kantor Desa Tongka bersama tim SOB dan SW,

Tidak perlu waktu lama, Rodi berhasil mengumpulkan puluhan warga. Dalam pertemuan itu disepakati mengajukan hutan desa.

Rodi dan beberapa warga yang menjadi pengurus dalam proses pengusulan kesana kemari mendatangi kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Barito Tengah di Muara Teweh, Dinas Kehutanan di Palangkaraya, hingga Kementerian Kehutanan di Jakarta.

Lebih dari satu tahun berproses,  upaya Rodi dan warga Tongka itu pun membuahkan hasil. Pada tahun 2022 dan 2023, tiga hutan desa berhasil ditetapkan, dengan total luas mencapai 5.800 hektar. Ketiganya adalah Hutan Desa Gunung Oke dengan luas 3.467 hektar, Prewali Lisat Lestari seluas 2.150 hektar, dan Kelaat Brasen seluas 195 hektar.

Langkah ini bukan sekadar pilihan teknis, melainkan strategi bertahan yang sangat penting. Melalui skema hutan desa, masyarakat tetap menjadi aktor utama dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah mereka. Ini bukan hanya soal mempertahankan hutan dan tanah, tetapi juga menjaga keberlangsungan budaya, identitas, dan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Sebarluaskan :

Recent Post