Search
Close this search box.

Mendadak ke Kinipan: Apa Misi Menteri LHK?

Pada tahun 2015, pelepasan kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) telah memicu konflik antara masyarakat adat Kinipan dan perusahaan. Lama berselang, Menteri datang kunjungi Kinipan. Apa misinya?

Pada tanggal 7 September 2024, Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) beserta rombongannya tiba di Desa Kinipan menggunakan dua helikopter. Helikopter ini mendarat di lapangan sepak bola desa Kinipan.

Informasi tentang rencana kunjungan Menteri LHK ini cukup mengejutkan masyarakat, termasuk Wilem Hengki Kepala Desa Kinipan, yang baru menerima kabar tentang rencana tersebut beberapa hari lalu. “Kami sangat terkejut dengan kunjungan mendadak Menteri LHK ini. Informasinya baru kami terima dua hari lalu dari Sekretaris Camat (Sekcam),” kata Hengki.

Menurut Hengki, ia diberi tahu tujuan kedatangan Siti Nurbaya adalah untuk mempercepat proses penetapan hutan adat di Kinipan. Meski begitu ia tetap merasa heran mengapa menteri sampai jauh-jauh turun ke desanya yang terletak di hulu Sungai Lamandau. “Sangat luar biasa, seorang menteri tiba-tiba datang ke Kinipan. Padahal, bupati atau gubernur bahkan tidak pernah datang ke sini,” tambah Hengki.

Namun, ia menjelaskan bahwa warga Kinipan akan tetap menyambut kedatangan menteri. Ia dan masyarakat berharap kunjungan ini dapat membawa perubahan positif bagi perjuangan Kinipan.

Serupa dengan respon Hengki dan warga, kedatangan Menteri LHK ke Kinipan juga menimbulkan pertanyaan bagi Save Our Borneo. Sebagai salah satu anggota koalisi keadilan untuk Kinipan, berita ini terdengar positif tapi sarat akan makna.

Apakah kunjungan ini benar-benar untuk mempercepat penetapan hutan adat di Kinipan? Kenapa baru sekarang? Padahal, permohonan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hutan Adat (HA) oleh Kinipan telah sejak lama diajukan.

Warna-Warni Konflik dan Kriminalisasi Mengiringi Perjuangan Kinipan

Sejak tahun 2018, Kinipan telah mengajukan permohonan pengakuan sebagai MHA kepada Pemerintah Kabupaten Lamandau dan permohonan penetapan HA kepada Kementerian LHK. Namun, proses ini sering terhambat oleh birokrasi dan aspek teknis, seperti batas desa dan standar peta.

Konflik antara Kinipan dan PT. SML juga tidak terlepas dari izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan oleh Menteri LHK pada Maret 2015. Saat itu, izin diberikan untuk pelepasan hutan seluas 19.090 hektar bagi PT. SML untuk perkebunan kelapa sawit. Sekitar 5.000 hektar dari total area tersebut merupakan wilayah adat Kinipan. Akibatnya, sekitar 1.700 hektar wilayah adat Kinipan telah digusur dan ditanami sawit, sementara 3.300 hektar lainnya masih terancam.

Konflik ini juga menyebabkan kriminalisasi terhadap beberapa tokoh Kinipan, contohnya Efendi Buhing. Ia dituduh mencuri gergaji mesin dan ditangkap bak pelaku kriminal. Ia diseret dari rumahnya sendiri oleh para Polisi berpakaian hitam lengkap dan bersenjata. Mirisnya, Effendi hanya mengenakan baju kaos dan celana pendek saat itu tanpa senjata apa pun.

Meskipun setelahnya Efendi dan beberapa rekannya sesama pejuang hutan adat tidak lagi ditahan, namun status hukum mereka masih belum jelas. Entah mereka sudah mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau masih berstatus tersangka di Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng). Mungkin hanya kepolisian yang tahu.

Selain Efendi, pada tahun 2022, Wilem Hengki juga menjadi korban kriminalisasi. Hengki yang dikenal mendukung perjuangan masyarakat adat Kinipan dituduh korupsi dan ditahan oleh Polres Lamandau. Namun, setelah persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangka Raya, ia dinyatakan tidak bersalah. Berdasarkan putusan ini, Hengki mengajukan gugatan ganti rugi. Akhirnya, Polres serta Kejaksaan Negeri Lamandau dihukum untuk membayar kompensasi sebesar Rp 500 ribu.

Dari konflik di Kinipan, terlihat jelas bahwa instrumen hukum pidana sering digunakan untuk menghambat perjuangan masyarakat adat. Status hukum tidak jelas, seperti yang dialami oleh Efendi Buhing serta lima orang lainnya, yaitu Riswan, Yefli Desem, Yusa, Muhammad Ridwan, dan Embang menambah kerumitan masalah ini.

Harapan dari Kunjungan Menteri LHK

Kunjungan Menteri LHK ini mungkin bisa dipandang sebagai bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat adat Kinipan sehingga proses pengakuan MHA dan penetapan Hutan Adat akan dipercepat. Selain itu, kunjungan ini bisa jadi untuk menyelesaikan konflik antara Kinipan dan PT. SML yang sudah berlangsung lama.

Permasalahan ini juga harusnya menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia, khususnya di Kinipan. Namun, sudahkah ini sesuai harapan?

Menteri LHK nyatanya tak datang sendiri. Bersama Siti Nurbaya Bakar hadir pula Bezos Earth Fund (BEF), organisasi filantropi yang belakangan diketahui telah menandatangani kontrak kerja sama dengan KLHK. Ditulis dalam laman situs KLHK, penandatanganan ini dilakukan (25/6/2024) di Norwegia oleh menteri LHK dan Senior Fellow Lord Zac Goldsmith.

Beberapa upaya yang didorong dari kemitraan ini menyangkut isu iklim dan konservasi. BEF mendukung upaya pemerintah untuk penyerapan bersih karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Selain itu, mereka juga mendukung komitmen untuk memperluas target perhutanan sosial, termasuk pengakuan hukum atas hutan adat yang ditujukan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan praktik pengelolaan lahan berkelanjutan.

Tampaknya, tak kebetulan menteri berinisiatif hadir di Kinipan.

Meski begitu, kunjungan Menteri LHK bersama jajaranya seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kepentingan politik atau bisnis yang mengincar hutan dan sumber daya alam di Kinipan. Kunjungan ini harus pula dimaknai sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan, mendamaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan, serta melindungi hutan adat Kinipan.

Kita berharap berbagai penghalang yang menghambat perjuangan masyarakat adat Kinipan dapat diatasi, termasuk menghentikan penggunaan instrumen hukum pidana dalam menghadapi perjuangan mereka. Pemerintah baik dari Kementerian LHK, kepolisian, maupun pemerintah daerah, harus mengakui dan melindungi masyarakat adat. Terutama bagi mereka yang sedang berjuang untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan sebagai masyarakat hukum adat (MHA).

Semoga ada kabar baik dari kunjungan Menteri LHK di Kinipan. (Habibi/Pinar)

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo