Oleh : Thata Debora Agnessia
Nama Desa Sekonyer di Kalimantan Tengah begitu dikenal bahkan hingga ke luar negeri sebagai destinasi wisata. Sayangnya, Desa yang berada di tepi Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kabupaten Kotawaringin Barat itu sudah 30 tahun lebih menampung air hujan untuk dikonsumsi. Tempat yang teduh nan indah itu tercemar akibat aktivitas illegal dan perkebunan di sekelilingnya.
Siang itu, Sabtu (9/3/2024) matahari sedang bulat-bulatnya. Teriknya matahari itu menyengat kulit. Di sepanjang Sungai Sekonyer, kapal-kapal wisata mondar-mandir membawa turis asing yang terlihat bersantai menikmati terik. Kulit mereka merah terbakar.
Beberapa sambil mengenakan kaca mata hitam tidur di geladak kapal wisata, beberapanya lagi menyeruput es warna-warni dalam gelas mewah. Di kanan-kiri mereka pohon-pohon besar menyapa, begitu teduh. Hingga akhirnya plang penanda Desa Sekonyer menyapa, desa wisata ini tak jauh dari TNTP, tempat para bule tadi menyaksikan orangutan makan siang dan sore
Di saat matahari sedang terik seperti itu jangan coba-coba berjalan tanpa alas kaki saat memasuki Desa Sekonyer di jalan yang beralas papan kayu. Panas membawa telapak kaki.
Tak jauh dari situ, Aisyah, salah satu warga Sekonyer sedang duduk di teras rumah kayunya. Janda berusia 67 tahun itu beberapa kali memicingkan mata hingga kacamatanya melorot ke hidung. Ia memandangi jalan, menunggu Danil, berusia 13 tahun cucunya, pulang sekolah.
Ia selalu khawatir karena Danil merupakan anak yang spesial. Ia mengalami kelainan saraf sehingga lumpuh sejak lahir. Ia bahkan masih bisa bersekolah.
Aisyah tersenyum ketika melihat segerombolan anak berseragam putih biru. Beberapa orang mendorong kursi roda dengan Danil yang duduk sambil bersenda gurau. Mereka tampak begitu akrab.
Itu pemandangan setiap hari yang Aisyah saksikan. Meski khawatir cucunya itu dirundung di sekolah, namun ia percaya ada banyak orang baik di sekitarnya.
Aisyah punya empat anak, anak pertama dan kedua sudah keluar dari Sekonyer mencari pekerjaan dan membangun rumah tangganya. Anak ketiga, ibunya Danil, meninggal karena penyakit gondok yang kemudian berkembang menjadi tumor ganas. Si Bungsu yang menjaga Aisyah dan Danil di rumah, bekerja di TNTP. Anak itu kini menjadi tulang punggung keluarga, membiayai Aisyah dan keponakannya Danil.
Tak banyak aktivitas yang dilakukan Aisyah, hanya memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia dulu berjualan wadai atau kudapan namun tak bisa lagi melanjutkan karena sudah tidak kuat berjualan keliling.
Aisyah hidup dengan cucunya yang punya kelainan saraf di otak sehingga lumpuh, ditinggal suami dan anak perempuannya yang terkena tumor. Hidup Aisyah begitu berubah dalam 30 tahun terakhir, salah satunya karena air bersih.
TERCEMAR
Aisyah mengenang kembali saat air bersih begitu mudah didapat. Semua orang mengonsumsi air tanah, bahkan sungai. Semua berubah ketika aktivitas illegal dan perkebunan sawit masuk.
Tahun 1977 warga Desa Sungai Sekonyer tidak tinggal di tempat mereka saat ini, melainkan di seberang Sungai Sekonyer. Saat itu, mendapatkan air bersih merupakan hal mudah. Di mana pun sumur digali, air bersih membuncah dari dalam tanah, sumbernya pun tak jauh.
Tahun 1826 desa di seberang berdiri, rumah warga dibangun sepanjang tepian Sungai Sekonyer. Mereka harus pindah karena tempat tinggal terdahulu telah menjadi kawasan konservasi orangutan yang saat ini menjadi kawasan TNTP.
Keadaan mulai berubah. Hadran, tetua desa, ingat betul perubahan itu. Setelah jadi kawasan konservasi, kawasan tempat mereka tinggal diincar pertambangan emas illegal, meski agak jauh namun masih dalam satu kawasan hamparan.
Hadran yang juga berusia 67 tahun seperti Aisyah, menjelaskan, aktivitas tambang yang masuk tahun 1992 itu membuat air mengandung merkuri air raksa (Hg). Warga pun dilarang mengonsumsinya. Di saat yang sama perkebunan sawit juga masuk. Penggunaan pupuk kimianya juga ikut merusak air tanah apalagi saat itu limbah sawit dibuang begitu saja ke sungai.
“Pertambangan emas liar dilakukan di beberapa titik, menggunakan air raksa merkuri untuk mengekstraksi emas, dicuci dengan air sungai agar terpisah dari kotoran, akhirnya limbah pencucian ini tergenang di penambangan ataupun mengalir masuk kembali ke dalam Sungai dan menyebar, selain itu oli dan solar dari mesin juga berkontribusi dalam pencemaran,” jelas Hadran.
Hadran ingat, pada 2002, mendadak seluruh ikan mati dan terapung ke permukaan air, bahkan buaya yang merupakan pemangsa puncak terkuat di lingkungannya juga ditemukan mati. Setelah diusut, ternyata hal itu disebabkan oleh pencemaran limbah sawit dari hulu Sungai Sekonyer. Setelah kejadian ini, warga Desa Sungai Sekonyer tidak bisa mendapatkan ikan seperti biasa selama satu tahun, apalagi untuk berani mengkonsumsi air sungai.
“Saat itu parah, ikan semuanya mati, butuh waktu setahun untuk bisa mendapat ikan seperti biasa, itupun kecil-kecil. Di TKP ada indikasi air tercemar limbah sawit. Memang benar, tapi kami tidak bisa memastikan apakah disengaja atau tidak. Tapi yang pasti, air sudah rusak.” Jelas Hadran.
Sejak itu hingga sekarang sebanyak 700 jiwa di Desa Sungai Sekonyer harus mengkonsumsi air hujan dari penampungan agar mendapatkan air bersih. Di setiap rumah warga di desa memiliki tangki berukuran 200 – 1.200 liter. Tangki biasanya dipasang disamping rumah atau didalam rumah, dimanapun itu asal dapat mengumpulkan air hujan.
Musim kemarau jadi mimpi buruk mereka. Aryadi (43), warga lainnya, mengungkapkan, saat kemarau mereka harus keluarkan uang untuk membeli air lantaran tak mungkin lagi menampung air hujan, hujannya saja tidak ada.
“Air sungai tak bisa dikonsumsi lagi, jadi kami menggunakan air hujan untuk konsumsi. 1.200 liter kurang lebih cukup sebulan jika hanya digunakan untuk masak dan minum. Tapi tergantung aktivitas” jelas Aryadi.
Aryadi bercerita, ketika uang tak ada lagi untuk membeli air bersih, mereka harus menempuh 2,5 kilometer untuk mendapatkan air bersih. Itu pun harus menyeberangi sungai ke kawasan desa mereka yang lama. Hingga sekarang, beberapa warga terkadang masih melakukannya meskipun sudah ada alternatif lain.
“Dulu kami pergi ke Pesalat, disana ada sumber air bersih yang tidak pernah kering. Meskipun kami harus menempuh jarak 2,5 kilometer tidak peduli, daripada tidak minum. Sampai sekarang terkadang masih, tapi kebanyakan sekarang kami beli saja dari Desa Sungai Bedaun lebih dekat, 1 jerigen ada 20 liter air dengan harga Rp. 5.000 – 7.000,” jelas Aryadi.
KESEHATAN
Aisyah masih ingat betul, meski tahu air sudah tercemar, mereka yang belum terbiasa dengan air hujan masih mengonsumsi air yang tercemar itu. Ia pun menduga banyak penyakit yang menyerang keluarganya disebabkan masalah air.
“Saat kemarau itu sulit, sekarang harga air sudah naik menjadi Rp. 7.000 perdirigen. Ditambah saya janda dan tidak kuat lagi bekerja. Dulu, saya bisa dagang kue basah untuk membantu ekonomi keluarga. Sekarang hanya mengharap cucu, itupun kurang. Sehingga, saya sering minta bantuan air gratis kepada penjual,” jelas Aisyah.
Saat itu, kata Aisyah, mulai timbul keluhan masalah kesehatan seperti sakit perut dan kulit yang gatal. “Awalnya kami minum saja air sungai itu meskipun tahu ada perubahan, tetapi beberapa warga kemudian mengeluh sakit perut. Selain itu, ada warga yang mandi kulitnya gatal-gatal bahkan sampai merah,” tutur Aisyah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, dalam pemaparannya menyebutkan bahwa merkuri berasal dari berbagai macam sumber, mulai dari emisi ulang hingga aktivitas manusia seperti Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), produksi besi serta limbah peralatan merkuri. Unsur tersebut, berpotensi meracuni masyarakat, dan mengganggu kesehatan.
Vivien mengatakan bahwa merkuri juga bisa meracuni sumber pangan. Pencemaran tersebut bisa terjadi antara lain jika ada ladang padi yang lokasinya tidak jauh dari aktivitas PESK yang menggunakan unsur merkuri. Selain itu, ikan yang hidup di ekosistem yang tercemar merkuri juga bisa tercemar.
“Dampaknya terhadap kesehatan bisa menyebabkan kerusakan paru-paru, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan sistem saraf pusat, cacat mental, kebutaan, kerusakan otak hingga gangguan pertumbuhan pada anak,” terangnya. (Keterangan Rosa Vivien diambil dari PPID Kementerian LHK dengan judul artikel, “Waspada Merkuri di Sekitar Kita” 21 Desember 2021).
Pernyataan soal merkuri dan fakta bahwa para penambang menggunakan merkuri itu membuat luka mendalam bagi warga Sekonyer. Desa yang pernah didapuk sebagai salah satu desa wisata terbaik di Indonesia itu, kini betul-betul terluka karena krisis air bersih.
Celakanya, krisis air bersih seperti ini tidak hanya terjadi di Desa Sungai Sekonyer, tapi di banyak tempat di Kalimantan Tengah. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah Sembuluh, danau perkasa yang kini lumpuh, di Kabupaten Seruyan. Sangkai (59) warga Desa Bangkal menjelaskan, warga tidak bisa lagi memanfaatkan air dan keindahan Danau Sembuluh. Danau tercemar semenjak dibangun pabrik dan masuknya perkebunan sawit di sekitar danau.
“Airnya gatal dan tak bisa diminum lagi. Penggunaan pestisida dari perkebunan sawit di sekitar danau mengalir lewat sungai-sungai lalu berkumpul di danau. Selain itu, limbah sawit yang tak diolah dengan baik juga berkontribusi,” jelas Sangkai.
Sangkai melanjutkan, bagi nelayan untuk sekedar menangkap ikan di Danau terbesar di Kalimantan Tengah tersebut, mereka harus berebutan. Banyak spesies ikan yang mati dan hilang akibat pencemaran tersebut. Sekarang, nelayan di sana hanya bisa menangkap ikan- ikan kecil saja yang tak seberapa.
UPAYA DESA
Kepala Desa Sekonyer Purqan menjelaskan, secara umum lahan di Desa Sekonyer merupakan lahan gambut, air yang dihasilkan mengandung kadar organik dan zat besi yang tinggi sehingga tidak layak digunakan sebagai air minum. Tetapi, menurut Purqan, kondisi ini bisa disiasati dengan teknologi filtrasi. Namun, sekarang ada indikasi pencemaran tanah yang berdampak pada air di dalamnya.
“Herbisida beracun seperti gramoxone dan roundup digunakan dalam perkebunan sawit yang banyak sekali di sini. Apalagi dalam jangka panjang menyerap masuk ke akar, karena kondisi lahan kita rawa maka akhirnya bisa larut juga bersama air dalam tanah. Mungkin, bisa jadi hal ini yang memperparah kondisi kami sekarang,” jelas Purqan.
Purqan menuturkan, sekitar tahun 2015 pihak desa pernah beberapa kali mengajukan laporan terkait permasalahan ini kepada salah satu perusahaan sawit yang beroperasi. Akhirnya, pihak perusahaan ikut berupaya menyediakan air bersih bagi warga. Tapi saat itu warga tidak merasa dilibatkan dalam prosesnya, akhirnya sampai saat ini proyek itu mangkrak dan hanya meninggalkan tangki-tangki kosong.
Desa tak pernah menyerah, upaya lain kembali dilakukan pada 2020. Saat itu pemerintah Desa Sungai Sekonyer melakukan kerja sama dengan pemerintah Desa Sungai Bedaun terkait bantuan saluran air bersih. Tapi hasilnya macet karena jarak dan persediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dua desa.
“Pipa panjang dibuat untuk menyalurkan air dari Desa Sungai Bedaun ke desa kami. Di setiap rumah warga sudah ada mesin pompa air. Tetapi tidak bertahan lama, bahkan di RT. 02 hanya bertahan dua bulan saja,” jelas Hadran.
Ribuan orang di Sekonyer masih merindukan air bersih hadir di desa itu. Namun, kerinduan itu mungkin bakal panjang.