Perjuangan Masyarakat Adat Kinipan menjaga hutan dan wilayah adat leluhur mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta. Sebaliknya, Pemerintah dan Lembaga Adat di Kalimantan Tengah (Kalteng) justru diam seribu bahasa.
Sejak tahun 2018, geliat penolakkan Masyarakat di desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalteng terhadap aktivitas penggundulan hutan oleh PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) di wilayah adat mereka mulai terlihat. Mereka dengan tegas menolak aktivitas dan keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka.
Dasar penolakkan mereka jelas, tidak mau hutannya diganti kebun sawit dan sadar betul harus mewariskannya suatu hari nanti ke anak cucu. Mereka ingin menjaga hutan demi menjaga adat, budaya, dan sejarah leluhur yang akan selalu hidup di sana.
Mereka menolak anak cucunya hanya tahu pohon sawit, sementara kelak tidak pernah melihat pohon-pohon ulin dan meranti yang tinggi menjulang di hutan. Mereka juga menolak mengabdikan diri kepada perusahaan yang mungkin hanya memberikan mereka pekerjaan sebagai buruh panen dan pupuk atau security.
Mereka masih ingin berladang, memanen padi setahun sekali, memanen jengkol yang bahkan bisa dijual dengan harga tinggi, memanen buah durian, rambutan, langsat, dan buah lainnya. Selain itu, ada madu hutan juga jika pohon-pohon kusi tempat lebah bersarang tidak habis ditebang oleh perusahaan.
Di hutan juga ada burung Tingang yang seharusnya dilindungi. Ada babi hutan yang bisa diburu supaya dagingnya bisa diasapi (salai), serta ikan-ikan yang dipancing untuk makanan sehari-hari. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan hutan. Hanya mengambil apa yang perlu dan tidak merusak apa yang ada di sana.
Prinsip hidup dan upaya Masyarakat Dayak Tomun di desa Kinipan dalam menjaga hutan inilah yang dikagumi oleh Akademi Jakarta. Mereka memberikan penghargaan kepada Masyarakat Kinipan sebagai kelompok masyarakat yang konsisten dan gigih memperjuangkan hak-hak dasar manusia, lingkungan hidup, alam, dan sosial.
Pada tanggal 28 Juni 2021 lalu, melalui akun Youtube Dewan Kesenian Jakarta, Akademi Jakarta mengadakan acara penyerahan penghargaan tersebut. Selain Kinipan, ada pula penghargaan kategori Pribadi yang diberikan kepada Remy Sylado sebagai seniman yang konsisten mengembangkan gagasan khas serta melahirkan karya kreatif dan inovatif.
Ignatius Sandyawan Sumardi atau Romo Sandy, perwakilan seniman dan budayawan anggota Akademi Jakarta, dalam pidato penganugerahan penghargaaan menyampaikan bahwa Indonesia dan dunia mempunyai hutang besar kepada komunitas adat seperti Masyarakat Adat Laman Kinipan. Merekalah yang selama ini melindungi hutan, tetapi justru tidak dilindungi Negara.
“Entah sudah berapa komunitas adat di Indonesia yang meregang nyawa, terluka, dan dikriminalisasi, hanya karena mempertahankan hutan. Indonesia dan dunia punya hutang besar kepada Masyarakat Adat yang selama ini telah berperan besar dalam menjaga kelestarian hutan, tanpa dibayar dan cenderung tanpa dukungan Negara,” katanya.
“Hormat, terimakasih, dan selamat kepada Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kalteng,” kata Romo Sandy. “Yang telah menjadi teladan, salah satu best practice di Negeri ini, tentang bagaimana menjadi manusia Indonesia yang berbudaya dan menghayati prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab,” tutupnya.
Sayangnya, tidak sehangat respon dari Ibu Kota, kontribusi dan upaya Masyarakat Kinipan justru tidak pernah diapresiasi Pemerintah Daerah (Pemda) apalagi Lembaga Adat di Kalteng. Seringkali dipojokan, komunitas ini justru dipaksa berjuang sendiri tanpa didampingi lembaga adat yang seharusnya berpihak kepada perjuangan mereka.
Bahkan Effendi Buhing, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Laman Kinipan, mengaku awalnya tidak menduga akan mendapatkan penghargaan seperti ini dari Ibu Kota. “Penghargaan ini tidak kami duga sebelumnya, tetapi ini menjadi penyemangat kami dalam berjuang,” katanya.
Ia juga membenarkan bahwa dalam perjuangan selama ini, mereka merasa sendiri tanpa adanya peran dari para tokoh adat, elit politik hingga lembaga-lembaga adat. “Kami merasa berjuang sendiri, padahal kami Masyarakat Adat Dayak di Kalteng ini, “ katanya.
Pernyataan Effendi tentu beralasan, bukan hanya terbawa perasaan semata. Ia bersama enam orang masyarakat Kinipan pada tahun 2020 lalu mengalaminya sendiri. Ketika itu, ia dan kawan-kawannya dikriminalisasi dengan pasal pencurian barang milik perusahaan. Padahal, jelas-jelas posisi mereka saat itu sedang berjuang mempertahankan tanah leluhur.
Jika bukan karena tekanan publik dari video yang diambil istrinya saat penangkapan itu viral, mungkin sampai saat ini, Effendi bersama keenam rekannya akan tetap mendekam di balik bui. Kemana saat itu lembaga adat yang seharusnya membela mereka? Padahal, mereka berjuang untuk hutan dan wilayah adat.
Jika mundur lagi ke belakang, bukankah ijin yang diperoleh PT. SML untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Kinipan ini juga terkesan janggal? Meski masyarakat bersikeras tidak pernah memberikan ijin, namun Pemda Lamandau kala itu justru memberikan tanda tangan.
Bahkan, ketika Masyarakat Kinipan berteriak ingin penyelesaian secara adat, hanya Mantir, para tokoh adat desa, dan Pemdes Kinipan yang hadir. Dimana posisi lembaga-lembaga adat Dayak mulai dari tingkat Kecamatan hingga Nasional? Kecuali Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang lain tidak pernah terdengar kehadirannya.
Bergabungnya sebagian besar Masyarakat Kinipan sebagai anggota dan simpatisan Tariu Borneo Bangkule Rajank (TBBR) yang dipimpim Panglima Jilah asal Kalimantan Barat (Kalbar) juga sempat menimbulkan polemik tersendiri. Beberapa tokoh dan lembaga adat pernah menyatakan ketidaksetujuan karena menurut mereka Kalteng sudah mempunyai lembaga atau organisasi adatnya sendiri.
Namun, mereka lupa. Kemana mereka saat Kinipan butuh bantuan? Effendi dan komunitas adat Kinipan juga sering bertanya-tanya, “Dimana para tokoh-tokoh adat di Kalteng saat mereka butuh pembelaan?” Sampai hari ini, mereka merasa belum ada tokoh Kalteng yang menyuarakan keresahan mereka.
Hingga permasalahan Kinipan jadi berita Nasional pun, lembaga-lembaga adat di Kalteng tetap tidak pernah menyatakan dengan jelas dimana posisi mereka untuk Masyarakat Kinipan. Jangankan ucapan terimakasih, dukungan pun tidak diterima Masyarakat Kinipan. Sehingga, ironis memang, saat apresiasi terhadap Kinipan justru jauh-jauh datang dari Jakarta.
S. Mahendra, pegiat Save Our Borneo, juga sependapat dengan Effendi. Ia sudah mengamati bahkan turut berpartisipasi dalam upaya Masyarakat Kinipan sejak tahun 2018. Menurutnya, Pemda, tokoh, dan lembaga setempatlah yang seharusnya memberikan apresiasi kepada Kinipan.
“Yang jauh justru lebih peduli,” kata S. Mahendra. “Padahal seharusnya perjuangan Masyarakat Kalteng itu diakui oleh Pemerintah Daerahnya, baik Provinsi maupun Kabupaten, bukannya dari Pemerintah Daerah Jakarta, karena Akademi Jakarta ini juga kan Dewan Penasehat Gubernur Jakarta untuk bidang seni-budaya,” katanya.
S. Mahendra juga menyampaikan bahwa hal ini seharusnya menjadi tamparan keras untuk Pemda Kalteng, tokoh, dan lembaga adat agar mulai peduli terhadap perjuangan Masyarakat Kinipan. Apalagi lembaga adat, seharusnya mereka mendukung penuh upaya Kinipan. Meskipun faktanya, di Kalimantan memang masih banyak lembaga adat yang terkesan lebih pro kepada investasi.
Disamping itu, penghargaan seperti ini juga sangat dibutuhkan untuk masyarakat Kinipan. “Intinya, kami juga mengapresiasi pemberiaan penghargaan ini. Karena Kinipan memang perlu dukungan yang besar dari publik secara luas. Ini akan mendorong semangat Masyarakat Kinipan agar mereka terus berjuang dan merasa tidak sendiri dalam perjuangannya,” katanya.
Sementara itu, saat ini perjuangan Masyarakat Kinipan memang telah memasuki babak baru. Mereka berupaya memperoleh pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari Negara sebagaimana tertulis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pangakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Upaya ini mereka lakukan agar kelak hutan dan wilayah adatnya juga dapat diakui sebagai milik mereka oleh Negara. Sehingga aktivitas pembabatan hutan oleh PT. SML dapat dihentikan dan mereka dapat mengelola dan menjaga hutan serta wilayah adatnya dengan aman dan damai.
Namun, upaya yang sedang mereka lakukan ini juga tidak mudah. Meski Bupati Lamandau telah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (PMHA) yang beranggotakan Instansi Pemerintah terkait dan Kelembagaan Adat beserta tokoh/organisasi Adat sejak 1 Desember 2020 lalu, tetapi nyatanya sampai hari ini prosesnya juga masih menggantung.
Belum ada kepastian apa dan kapan pengakuan itu akan diberikan oleh Pemerintah. Penantian dalam ketidakpastian masih terus menguji kesabaran Masyarakat Kinipan. Padahal, seharusnya dalam hal inilah dukungan serta peran Pemda dan lembaga-lembaga adat ini sangat mereka butuhkan.
“Seharusnya apabila mereka mendukung Masyarakat Kinipan, tidak perlu masyarakat harus dibuat menunggu seperti ini,” kata S. Mahendra. “Apresiasi mereka itu justru bisa mereka tunjukan dengan memberikan pengakuan kepada Masyarakat Kinipan sebagai MHA,” tegasnya lagi.
Sedangkan bagi Effendi dan Masyarakat Kinipan sendiri, mereka masih menaruh harapan kepada Pemerintah. Sehingga, melalui penghargaan yang mereka terima dari Akademi Jakarta ini, setidaknya juga dapat membuka pintu hati Pemda untuk mempercepat proses pengakuan Masyarakat Kinipan sebagai MHA.
“Kami masih terus berharap hati Pemda tergerak. Kami berharap keberadaan kami diakui dan didukung bukan hanya dari orang lain, tetapi dari Kalteng, tempat kami sendiri,” pesan Effendi. (P.Juliana_SOB)