Kasus yang dialami Willem Hengki, Kepala Desa (kades) Kinipan bisa dicegah sejak dini. Selain bisa dihentikan di tingkat Inspektorat, pengawalan dan pengawasan dana desa juga menjadi peran Kejaksaan. Namun, ia justru dipidanakan.
Rasanya sudah kesekian kalinya saya mengikuti sidang Willem Hengki, kades Kinipan. Di ruang persidangan yang sama, mulai sekitar pukul 10.00 WIB seperti biasa, serta menulis di buku catatan saya yang sama dan biasa. Namun, kali ini suasananya sedikit berbeda.
Sidang hari itu (21/4/2022), dilaksanakan secara hybrid kembali, yaitu di dalam ruang sidang pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Palangka Raya dan daring. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamandau, Kalimantan Tengah, dan saksi ahlinya, Tjipto Prasetyo Nugroho dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), mengikuti sidang melalui ruang pertemuan zoom yang telah disediakan oleh pengadilan.
Selain sebagai saksi ahli dari JPU dalam persidangan, Tjipto sebelumnya juga bersaksi untuk penyidik Kepolisan Resort (Polres) Lamandau saat pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanggal 27 Oktober 2020 lalu. “Saat itu, para penyidik memaparkan dulu kasusnya. Kemudian, saya jawab berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada dalam BAP itu,” cerita Tjipto. Ia juga mengaku saat itu bertemu langsung dengan para penyidik.
Menariknya, selama bersaksi dalam persidangan, Tjipto tidak pernah menyatakan Willem melakukan korupsi. Ia mengatakan bahwa sebagai kades saat itu, Willem, melakukan tindakan untuk membayar hutang. “Kenyataannya, swakelola (pengeloaan sendiri) itu diatur sedemikian rupa sebenarnya untuk membayar hutang kepada penyedia (kontraktor) yang sudah melaksanakan pekerjaan pada tahun 2017,” jelasnya.
Menurutnya, tindakan itu memang tidak dapat dibenarkan. Ia mengatakan tindakan itu menyalahi prosedur yang tertulis dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013, tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa dan Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013, tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
Ia juga menyatakan bahwa kades Kinipan tidak memenuhi tahapan yang seharusnya berlaku dalam proses pengadaan barang jasa ini. “Berdasarkan informasi dari penyidik, tidak terpenuhi Pak Jaksa,” kata Tjipto. “Karena bahasanya yang tadi saya sampaikan, hanya untuk bayar hutang kegiatan di 2017, maka sudah pasti tahapan ini tidak dilakukan,” jelasnya.
Namun, telah dari awal bukankah kita juga sudah tahu bahwa Willem memang hanya membayar hutang desa? Bahkan, masyarakat Kinipan pun menyatakan demikian. Dalam hal ini, kita sepakat dengan saksi ahli dari JPU ini. Lantas, kenapa jadi kasus korupsi?
Baca: https://saveourborneo.org/kades-kinipan-dikriminalisasi-adilkah-bagi-masyarakat-adat-laman-kinipan/
Kemudian, JPU kembali menanyakan pendapat Tjipto tantang pekerjaan jalan. “Apakah pekerjaan itu bisa dinyatakan total loss (kerugian total)?” tanya Okto Silaen, satu-satunya JPU hari itu.
“Sepertinya, total loss-nya tidak Pak,” jawab Tjipto. “Karena, secara fisik (jalannya) ada ya. Hanya prosedur pembayarannya saja yang kemudian menjadikan salah,” ungkapnya. Dalam jawabannya, ia menjelaskan bahwa memang hanya prosedur pembayarannya saja yang salah. Sehingga, terkait pekerjaan yang sudah ada dengan nilai pembayarannya dapat dicocokan kemudian. “Total loss, Alhamdulillah, tidak ya Pak Jaksa,” kata Tjipto mengulang pernyataannya lagi.
Jika begitu, Willem seharusnya tidak perlu dijerat kasus korupsi bukan? Mungkin, kesalahan dalam admisnistrasi saja yang terjadi. Hal seperti ini, bukannya sering kita dengar dalam kasus-kasus penggunaan Dana Desa di seluruh Indonesia.
Karena melihat potensi kesalahan administrasi yang seringkali terjadi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bekerjasama dengan Kejaksaan Agung sejak beberapa tahun lalu. Harapan dari kerjasama ini, Kejaksaan dapat mengawal dan mendampingi para kades mulai dari tahap merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), penyaluran, pelaksanaan, hingga pelaporan dana desa.
Kerjasama tersebut bahkan direalisasikan Kejaksaan lewat program Jaga Desa. Salah satu tujuannya, agar melalui pendampingan ini tidak perlu lagi ada kades yang harus berurusan dengan hukum. Namun, tampaknya kasus kades Kinipan menjadi pengecualian. Di sini, Jaksa justru buru-buru menyeret Willem ke persidangan kasus pidana. Janggal? Dari awal memang saya selalu mengatakan bahwa kasus ini janggal.
Baca: https://saveourborneo.org/willem-kades-kinipan-dan-dakwaan-tak-cermat/
Selanjutnya, saya tidak terkejut lagi dengan penjelasan Tjipto. Ia mengatakan seharusnya kasus ini bisa dicegah sejak dini. Ia menyatakan kepada para kuasa hukum Willem bahwa Inspektorat punya peran untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran pada kasus ini sejak awal.
“Sebetulnya, terkait dengan pembayaran tahun 2017 tersebut, bisa dilakukan tanpa harus merekayasa di tahun 2019, seolah-olah ada kegiatan swakelola. Ini adalah solusi sebetulnya,” ungkap Tjipto. “Pada 2017, itu bisa dibayar tetapi sebelumnya diperiksa dulu oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dalam hal ini Inspektorat Lamandau untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hukum. Kemudian juga, proses pengadaannya itu dilakukan dengan benar,” jelas saksi.
Apakah hal ini sudah dilakukan oleh para aparatur Negara ini? Tentu tidak. Jika iya, Willem tentu tidak akan ada di ruang persidangan hari ini. Ironisnya, Inspektorat justru yang pertama kali menyulut kasus ini diangkat ke ranah pidana setelah mendapat titah dari pimpinan.
Baca: https://saveourborneo.org/titah-pimpinan-di-balik-kasus-kades-kinipan/
Terakhir, pertanyaan dari Hakim anggota, Muji Kartika Rahayu, semakin memperjelas pemahaman saya tentang kasus Willem. Ada skenario besar yang memang jauh-jauh hari telah dipersiapkan untuk kasus ini.
Dalam pertanyaanya, Hakim Muji Kartika mempertanyakan data apa yang digunakan oleh LKPP dalam melihat kasus ini. Sebab, pada persidangan sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaku mengambil data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lamandau, tetapi tidak pernah melakukan pengecekan ke lapangan. “Dari LKPP, data-data dari PUPR dan BPKP itu dipakai?” tanyanya.
“Tidak ada kami terima terkait data,” jawab Tjipto. Ia juga menjelaskan kepada Hakim tidak terhubung dengan kedua lembaga itu. Serta, mengakui belum pernah turun ke lapangan secara langsung.
Meskipun BPKP memiliki kompetensi untuk menghitung kerugian dan LKPP dapat menyatakan pihak mana yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut, namun dalam kasus ini, kedua lembaga penting ini tidak pernah duduk bersama. Menurut Tjipto, hanya melihat dari aturan saja sudah cukup untuk bisa melihat siapa yang bertanggung jawab.
Mendengar banyak ketidaksesuain ini, membuat saya mempertanyakan para saksi yang selama ini telah dihadirkan JPU. Seakan berusaha dikondisikan, diberikan data yang setengah-setengah, hingga penjelasan yang seringkali subjektif. Apakah kasus ini memang layak diangkat ke ranah pidana? Seperti bermain-main, sayangnya kemerdekaan Willem dipertaruhkan.
Harusnya Willem tidak perlu sampai mengalami ketidakadilan ini. Jika para aparatur Negara seperti Inspektorat dan Jaksa benar-benar menjalankan tugasnya dengan adil dan bijaksana, tidak perlu Ia dihadapkan dengan pidana. Namun, siapa yang tahu? Mungkin ada dalang dibalik kasus ini. Mungkin anda sudah tahu? Anda dan kita, bisa menilai sendiri. (P. Juliana_SOB)