Palangka Raya (25/06). Tidak terasa moratorium sawit sudah berjalan 10 bulan sejak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 19 September 2018 lalu.
Dalam Inpres tersebut, setidaknya ada 2 tugas penting dari Presiden kepada Menteri Kordinator Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur dan Bupati/Wali Kota, yaitu menunda pemberian izin baru dan mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. Namun, hingga saat ini, masyarakat belum mengetahui hasil apa saja yang sudah dicapai dari pelaksanaan Inpres tersebut, terutama oleh Gubernur dan Bupati/Wali Kota di Kalimantan Tengah.
Sementara itu, kasus konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit masih belum bisa diatasi oleh pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut adalah kasus konflik lahan antara masyarakat Adat Laman Kinipan dengan PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) serta konflik lahan antara masyarakat Danau Sembuluh dengan PT. Salonok Ladang Mas (SLM).
Di sisi lain, kasus pelanggaran hukum oleh perusahaan kelapa sawit juga belum menjadi perhatian serius aparat pemerintah dan penegak hukum. Terutama, terhadap aktivitas illegal perkebunan diluar izin dan aktivitas perkebunan dalam kawasan hutan serta ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban pembangunan kebun masyarakat sebesar 20% dari total luas izin.
Padahal, kita semua berharap dengan adannya moratorium ini dapat menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan persolanan perkebunan di Kalimantan Tengah, khususnya menyangkut kasus pelanggaran hukum oleh perusahaan, tumpang tindih perizinan, dan konflik lahan yang sudah terjadi sejak lama.