Di saat warga Kinipan berjuang mempertahankan wilayah adatnya, perusahaan sawit terus bekerja membabat pohon, menggunduli rimba. Meski sudah banyak cara dilakukan untuk mempertahankan wilayah adat dari garapan perusahaan sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (SML), namun belum ada upaya apapun dari pemerintah.
Rabu (8/1/2020), ratusan orang dari Desa Kinipan, Batu Tambun dan desa-desa tetangga menyambangi kantor Bupati Lamandau di Nanga Bulik. Mereka beraksi untuk mendesak pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan salah satu perusahaan pemegang izin konsesi perkebunan sawit di wilayahnya.
Dalam aksi itu warga meminta Bupati Lamandau Hendra Lesmana menghentikan aktivitas PT. SML di wilayah Adat Kinipan yang sudah berlangsung sejak 2015 lalu. Dalam waktu lebih kurang lima tahun hutan adat yang jadi sumber penghidupan warga Kinipan dan sekitarnya berubah jadi hutan gundul yang saat ini mulai ditanami sawit.
Penolakan investasi sawit di Wilayah Adat Kinipan ini bukan baru saja terjadi. Penolakan sudah dilakukan masyarakat jauh sebelumnya, bahkan sejak Desa Kinipan belum menjadi bagian dari Kecamatan Batang Kawa seperti sekarang ini. Pada tahun 2005, Kinipan masih bagian dari Kecamatan Delang. Saat itu, baik pemerintah desa maupun tokoh masyarakat di kecamatan itu membuat pernyataan untuk menolak kehadiran investasi sawit di wilayah mereka.
Demikian pula setelah bergabung dengan kecamatan Batang Kawa, mereka tetap menolak kehadiran investasi sawit. Mereka mencoba meproteksi wilayah adat Kinipan dengan melakukan pemetaan dan mendaftarkanya ke Badan Regestrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2017. Meski sudah terdaftar dan mendapat sertifikat wilayah adat dari BRWA, Komunitas Adat Kinipan juga mengupayakan agar wilayah adat mereka diakui oleh negara. Akan tetapi, ketika proses itu sedang berjalan, investasi sawit tetap masuk.
SML yang saat itu masih di bawah Grup PT. Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) Tbk, mendapat izin dari Bupati Lamandau yang saat itu di jabat Ir. Marukan. Selain itu, PT. SML juga memperoleh Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar. Sejak tahun 2015 PT. SML mulai melakukan aktivitasnya sambil mengurus perpanjangan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan permohonan Hak Guna Usaha (HGU).
Ditahun yang sama, Environmental Investigation Agency (EIA) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Kalimantan Tengah (JPIK Kalteng) mengajukan complain ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Isinya EIA dan JPIK Kalteng menduga PT. SML melanggar standar RSPO dan berpotensi melanggar hukum Indonesia.
Selanjutnya, di tahun 2016 PT. SSMS melepas 100% sahamnya pada PT. SML dan satu anak perushaanya lagi di Kabupaten Seruyan kepada PT Agro Jaya Gemilang dan PT Metro Jaya Lestari dengan total transaksi mencapai Rp 289,5 miliar. Pelepasan 100% sahaam PT. SSMS atas PT. SML tersebut, dikarenakan izinnya yang tidak kunjung selesai. (Berita Satu; 3/1/2016, Izin Lahan Tak Kunjung Rampung, Sawit Sumbermas Jual Anak Usaha Rp 289,5 Miliar).
SML yang sejak saat itu bukan lagi anak perusahaan PT. SSMS tetap beraktivitas di Wilayah Adat Kinipan. Pihaknya mengklaim bahwa aktivitas di wilayah itu sudah sesuai dengan aturan dan sudah mendapat izin lengkap dari pemerintah.
Komunitas adat Kinipan merasa tidak pernah dilibatkan, atau dimintakan persetujuan saat pemerintah mendatangkan Investor kewilayah mereka, warga merasa tidak pernah sama sekali mendapatkan sosialisasi dari pemerintah, tentu saja warga merasa sangat dirugikan karena hutan dan wilayah adat terus di garap oleh PT. SML tanpa permisi. Menurut mereka, PT. SML sudah menggarap 4.000 hektar lebih dari luas Wilayah Adat Kinipan yang luasnya mencapai 16.132 hektar.
Khawatir wilayah adatnya akan habis karena terus di babat oleh PT. SML, Komunitas adat Kinipan beberapa kali datang kelokasi meminta para pekerja PT. SML menghentikan pembukaan lahan di wilayah adat mereka.
Di samping itu, Komunitas adat Kinipan juga sudah beberapa kali melakukan aksi protes agar aktivitas PT. SML segera di hentikan mulai dari aksi penanaman pohon, demonstrasi ke kantor DPRD Lamandau, hingga membuat ritual adat.
Aksi penanaman dilakukan mulai dari orang tua hingga remaja di Kinipan. Ibu-ibu menanam sayuran, bapak-bapak dan remaja menanam tanaman keras dan buah-buahan, bahkan mantir adat pun ikut membantu dengan menanam tanaman obat.
Semua tanaman yang ditanam dalam aksi protes itu merupakan sebagian kecil dari jenis-jenis tanaman yang hilang karena pembabatan dan penggundulan akibat konversi lahan. Hal itu membuktikan betapa warga membutuhkan tanaman-tanaman itu dalam kehidupan sehari hari.
Mereka tahu bahwa rimba yang sebenarnya terdiri dari ratusan bahkan ribuan jenis tanaman, bukan satu jenis tanaman. Bukan sawit yang mereka benci, mereka membenci system monokultur yang merusak.
Tak bisa dihitung berapa kerugian dari hilangnya hutan. Pada akhir tahun 2018 dan 2019 di musim hujan, untuk pertama kalinya Sungai Batang Kawa yang berjarak beberapa meter dari kampung meluap, salah satu dermaga tenggelam ditelan luapan air sungai.
Berapa plasma nutfah yang hilang. Petani durian tak lagi bisa merengkuh keuntungan seperti tahun-tahun sebelumnya karena tutupan pohon durian yang menyusut, mantir adat atau dukun kampung kehilangan ruang tanaman obatnya, padahal akses rumah sakit jauhnya bukan main, anak-anak sekolah bisa mengenyam Pendidikan karena bapak ibunya menjual hasil hutan bukan kayu.
Pertimbangan-pertimbangan itu tak pernah terlintas dipikiran pemerintah si pemberi ijin apalagi perusahaan si pemegang ijin. Dalam benak mereka, sawit memberikan kontribusi besar untuk negara. Mungkin benar, tetapi itu belum pernah dirasakan minimal oleh masyarakat adat Laman Kinipan.
Mediasi penyelesian konflik oleh KSP
Merasa tuntutannya tidak ditanggapi oleh PT. SML dan Pemerintah Kabupaten Lamandau, komunitas adat Kinipan mencoba mengadukan masalah ini ke Kantor Staf Presiden (KSP) yang tidak lain adalah koordinator Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA).
Pengaduan itu mereka lakukan dengan berkirim surat hinga datang langsung ke kantor KSP di komplek Istana Kepresidenan di Jakarta. Dari pengaduan komunitas adat Kinipan itu, setidaknya sudah tiga kali perwakilan sampai komisioner KSP datang langsung memantau aktivitas PT. SML dan berbincang dengan warga Kinipan dalam rangka mengumpulkan data-data terkain konflik lahan antara komunitas Adat Kinipan dengan PT. SML. Namun sampai saat ini, tuntutan warga untuk menghentikan aktivitas perusahaan sawit itu belum ada ujung rimbanya.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat Laman Kinipan hanya memiliki satu tujuan, yakni mempertahankan ruang hidup mereka, menjaga rimba dan budaya mereka. Mereka tahu jalan Panjang harus ditelusuri, mereka tak berhenti atau menyerah, mereka melalui jalan itu setapak demi setapak. Mereka masih menunggu dan melihat keberpihakan pemerintah. Apakah pemerintah berpihak pada rakyatnya atau justru mendukung penuh kehadiran investasi monokultur ini, dan apakah riuh tentang Reforma Agraria hanya sebuah janji manis ketika berkampanye pada pemilu yang lalu .(HBB_SOB-Jan2020)