[berdasar release Saveourborneo, ditulis oleh Norjani – LKBN Antara]
“Bupati dapat diduga melakukan praktik pengalihan aset pemerintah dan hal ini dapat merupakan tindakan koruptif,”
Senin, 20 Oktober 2014
Sampit (Antara Kalteng) – Aktivis lingkungan di Kalimantan Tengah mengancam melaporkan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur ke Komisi Pemberantasan Korupsi jika membiarkan perkebunan sawit bermasalah tetap beroperasi.
“Apabila penyitaan tidak dilakukan atau nantinya dilakukan penyerahan sepihak tanpa proses hukum terhadap aset dari hasil praktik tidak sah yang dilakukan PBS (perusahaan besar swasta) kelapa sawit oleh pemda, maka kami akan melaporkannya ke KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atas penyerahan aset tersebut,” kata Direktur Eksekutif Save Our Borneo Nordin di Sampit, Senin.
Hal ini diungkapkan Nordin terkait sebuah perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit, PT Hati Prima Agro, yang beroperasi di Kecamatan Antang Kalang, Kotim.
Perusahaan tersebut tidak diperbolehkan lagi beroperasi karena sebagian lahan yang mereka garap tidak mendapat izin yang sah.
Aktivis lingkungan yang pernah menjabat sebagai anggota dewan Walhi Nasional ini menjelaskan, keluarnya Keputusan Mahkamah Agung tanggal 24 Desember 2013 Nomor 435 K/TUN/2013 merupakan keputusan final.
PT Hati Prima Agro yang bernaung di bawah bendera BGA Group tersebut dinyatakan telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit tanpa disertai Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan. Selain itu, izin lokasi perusahaan tersebut juga telah dicabut oleh bupati Kotim. Untuk itulah, bupati disarankan segera segera melakukan eksekusi dengan mengambil alih lahan tersebut.
Selanjutnya, lahan tersebut secara legal dijadikan aset milik pemerintah daerah untuk dikelola dengan berbagai cara, baik oleh BUMD ataupun Kerjasama Operasional dengan perusahaan lain, dengan status lahan tetap menjadi milik pemerintah.
SOB khawatir, dengan tidak jelasnya eksekusi tersebut dapat memunculkan kemungkinan kongkalingkong antara pemerintah daerah dengan perusahaan pemilik asal yang telah nyata-nyata dinyatakan tidak sah. Jika areal tersebut dialihkan sepihak kepada perusahaan secoki baru dari perusahaan atau grup lama, Nordin menegaskan, hal itu sama saja berarti bupati dapat dikatakan lalai dalam menjalankan kewenangannya atau bahkan menyalahgunakan wewenangnya.
“Apabila areal tersebut tetap dialihkan kepada perusahaan lama atau secokinya secara sepihak oleh bupati karena adanya lobi-lobi tingkat tinggi, maka bupati dapat diduga melakukan praktik pengalihan aset pemerintah dan hal ini dapat merupakan tindakan koruptif,” tegas Nordin.
SOB mengusulkan agar lahan tersebut segera diambil alih dan dimasukkan menjadi bagian dari asset daerah, setelah sebagiannya dikembalikan kepada pemilik lahan asal dari masyarakat lokal dan diserahkan sebagai kemitraan sebesar minimal 20 persen.
Data SOB terkait kronologis kasus ini, yakni Kementerian Kehutanan pada tahun 2000 pernah mengeluarkan Surat Keputusan No 186/Kpts-II/2000 tentang pelepasan sebagian Kawasan Hutan dari Kelompok Hutan Sungai Mentaya seluas 5.369,80 hektare, untuk perkebunan Kkelapa sawit atas nama PT Hati Prima Agro.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kemenhut dengan memperhatikan aspek kemajuan aktivitas yang dilakukan HPA ternyata didapakan bukti-bukti bahwa HPA tidak melakukan aktivitas apapun dan tidak melakukan pengurusan apapun sejak izin pelepasan kawasan hutan No 186/Kpts-II/2000 dikeluarkan.
Atas dasar itu, pada 11 Maret 2008, Kemenhut megeluarkan SK No : SK.51/Menhut-II/2008 tentang tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 186/KPTS-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan dari Kelompok Hutan Sungai Mentaya seluas 5.369,80 hektare tersebut.
Selanjutnya, Bupati Kotawaringin Timur telah mengeluarkan surat tanggal 19 April 2012 Nomor 525.25/228/Ek.SDA/IV/2012 tentang pencabutan persetujuan prinsip arahan lokasi maupun izin lokasi atas nama PT HPA dan memerintahkan PT HPA segera meninggalkan lokasi.
Bupati juga tidak menyetujui permohonan perpanjangan izin lokasi yang diajukan oleh PT HPA. Keputusan itu ditegaskan dalam surat Nomor 525.26 / 256 / Ek.SDA / IV / 2012 tanggal 24 April 2012.
Menanggapi surat pencabutan oleh Bupati Kotim dan Pencabutan IPKH oleh Kementerian Kehutanan RI tersebut, PT HPA membawa persoalan ini ke PTUN Palangka Raya. PTUN melalui sidang putusan pada 4 Desember 2012 mengabulkan tuntutan PT HPA dan menyatakan bahwa pencabutan dan pembatalan izin lokasi dan izin pelepasan kawasan hutan oleh Bupati Kotawaringin Timur dan oleh Menteri Kehutanan, tidak sah.
Kementerian Kehutanan masih mengajukan upaya banding ke PTTUN Jakarta. Keputusan Banding di PTTUN keluar pada tanggal 20 Mei 2013, yang justru menguatkan putusan PTUN Palangka Raya, yakni memenangkan PT HPA.
Kementerian Kehutanan RI kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya pada 24 Desember 2013 keluar keputusan Mahkamah Agung Nomor 435 K/TUN/2013, yakni menerima permohonan kasasi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 35/B/2013/PT.TUN.JKT tanggal 20 Mei 2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya Nomor 12/G/2012/PTUN-PLK tanggal 4 Desember 2012.
“Dengan dicabutnya SK 186/Kpts-II/2000 dengan SK.51/Menhut-II/2008 dapat dipastikan areal yang semula diperuntukkan bagi rencana konsesi perkebunan kelapa sawit untuk PT. HPA batal. Sesuai amar putusan yang termuat dalam SK.51/Menhut-II/2008. Yang pasti, seharusnya Pemkab Kotim harus melakukan eksekusi pengambil alihan lahan bekas PT Hati Prima Agro tersebut terlebih dahulu,” tegas Nordin.
Sementara itu, Bupati Kotim, H Supian Hadi yang sempat dimintai komentar terkait masalah ini belum lama ini, mengaku masih menunggu salinan putusan tersebut. Selanjutnya akan dipelajari lebih lanjut sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah mengambil langkah selanjutnya.