Tidak terima dikatakan melakukan penebangan hutan untuk kebun sawit di Papua, perusahaan Indonesia, Kenertec yang mengaku bagian dari Perusahaan Konglomerat Korea Selatan – Indonesia, Korindo Grup, menggugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Selamatkan Hutan Hujan di Pengadilan Tinggi Hamburg, Jerman. Mereka menggunakan Gugatan Strategis Menentang Partisipasi Publik (Strategic Lawsuit Against Public Participation-SLAPP) untuk bungkam pejuang lingkungan.
Persidangan pertama gugatan oleh Kenertec kepada LSM Selamatkan Hutan Hujan digelar pada 22 Januari 2021 lalu di Pengadilan Tinggi Hamburg, Jerman. Gugatan ini berawal dari keberatan perusahaan terhadap laporan sembilan LSM, termasuk Selamatkan Hutan Hujan, tentang tindakan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh Korindo Group.
Tepatnya pada tahun 2016 lalu, para LSM ini melaporkan adanya perusakan hutan hujan di Papua melalui surat kepada Siemens dan Nordex, perusahaan energi angin Jerman, yang memiliki hubungan kerjasama dagang dengan Korindo Grup. Isi pokok dari surat ini yakni melaporkan adanya aktivitas pembakaran sisa kayu dari hasil pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh Korindo Grup.
Para pejuang lingkungan yang tergabung dalam LSM ini menyerukan agar Siemens dan Nordex tidak lagi melakukan kerjasama bisnis terhadap perusahaan perusak hutan. Anehnya, baru belakangan ini, Kenertec yang mewakili Korindo Grup merasa terganggu atas laporan tersebut.
Dari gugatan ini, LSM Selamatkan Hutan Hujan diancam denda hingga 250.000 € atau kurungan penjara selama 6 bulan. Selain itu, mereka juga diancam kurungan penjara selama 2 tahun apabila mengulangi perbuatan yang sama, yakni melaporkan aktivitas Kenertec-Korindo Grup.
Bagi para pejuang lingkungan ini, apa yang dilakukan oleh Kanertec-Korindo Grup adalah sebuah upaya untuk membungkam kritik publik terhadap pelanggaran yang mereka lakukan lewat SLAPP. SLAPP sendiri adalah cara yang digunakan perusahaan atau pribadi pemilik kuasa untuk membatasi partisipasi dan kritik publik terhadap mereka dengan menggunakan instrumen hukum.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sebab, SLAPP pada akhirnya hanya digunakan untuk mengancam dan menghentikan para aktivis pejuang lingkungan dan organisasi serupa dalam mengungkap kejahatan dan praktik-praktik pelanggaran terhadap lingkungan maupun hak asasi manusia.
LSM Selamatkan Hutan Hujan dengan tegas menolak gugatan tersebut. Apalagi laporan mereka sebelumnya bukan tak berdasar dan tanpa bukti. Bukti-bukti ini mereka temukan berdasarkah hasil studi Center for International Policy melalui organisasi Mighty Earth, yang berjudul “Burning Paradise”. Dari studi ini ditemukan bahwa Korindo benar telah merusak hutan hujan dalam skala besar, bahkan melanggar hak-hak Masyarakat Adat di Papua dan Maluku Utara.
Selain itu, menurut Prof. Dr Roger Mann, selaku kuasa hukum LSM Selamatkan Hutan Hujan, pihaknya telah memberikan bukti berupa video, foto dan foto satelit, studi, serta pernyataan saksi kepada pengadilan. “Melihat dari bukti-bukti ini, penyangkalan “tidak membakar” oleh perusahaan pun nantinya tidak akan cukup,” katanya.
Sementara itu, Marine Klute, salah satu ketua dan pakar Indonesia dari LSM Selamatkan Hutan Hujan mengatakan akan lebih menggunakan kejadian ini sebagai wadah untuk kampanye dan edukasi terkait hutan hujan. Ia juga merasa penting untuk memberi tahukan fakta dan gambaran sebenarnya tentang seberapa besar kerusakan terhadap hutan hujan saat ini di Papua kepada Pengadilan dan publik.
“Kami akan memanfaatkan proses pengadilan ini untuk menarik perhatian publik dan menerangkan lebih jelas tentang perusakan terhadap hutan hujan yang saat ini sedang terjadi. Pada persidangan selanjutnya, kami juga akan berusaha menyampaikan gambaran itu di Pengadilan,” katanya.
Sementara itu, keputusan pengadilan terhadap gugatan ini akan diberikan setelah melalui masa persidangan selama dua bulan. Sampai saat itu, para pejuang ini tidak menyerah dan tunduk terhadap SLAPP yang dilayangkan perusahaan.
Anti SLAPP
Di Indonesia sendiri, meskipun terdapat berbagai aturan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi, bersuara dan melakukan kontrol dalam setiap kebijakan pemerintah, terutama menyangkut kebijakan pengelolaan lingkungan, namun ketika masyarakat melakukan kontrol dan turut berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat justru mengakibatkan berbagai resiko tanpa ada perlindungan dari pihak pemerintah. Resiko yang sering muncul berupa ancaman hukum maupun kekerasan fisik dan psikologis.
Sudah banyak kasus yang menimpa masyarakat, para aktivis dan Lembaga atau organisasi di Indonesia yang mendapatkan serangan balik dari pihak yang merasa dirugikan terutama pihak perusahaan pemegang izin konsesi (HPH, pertambangan, perkebunan HTI, DLL) yang terindikasi melakukan tindak kejahatan kehutanan.
Sebenarnya, telah tersedia Undang-Undang (UU) untuk mengatasi SLAPP. Hal tersebut tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 32 Tahun 2009) Pasal 66 yang biasa juga dikenal dengan konsep Anti SLAPP.
Pada Pasal 66 tertulis, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Hal ini menunjukkan bahwa ada garansi imunitas terhadap masyarakat maupun pegiat lingkungan atas tuntutan hukum dalam bentuk apapun.
Selain itu, UU ini juga menjamin hak dan akses bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga seharusnya UU ini dapat menjadi jaminan bagi para pejuang lingkungan.
Meskipun begitu, dalam kenyataanya UUPPLH 32 Tahun 2009 ini tidak sepenuhnya bisa dijadikan jaminan bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi aktif dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebab, selain masih adanya kelemahan, permasalahan utamanya justru terdapat pada proses implementasi di level pemerintah dan aparatur penegak hukum di Indonesia.
Seperti dijelaskan oleh Safrudin, Direktur Save Our Borneo, kasus kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan baik sebagai aktivis maupun masyarakat masih marak terjadi. Sebab, faktanya di lapangan, banyak aktivis maupun masyarakat yang berjuang untuk melindungi lingkungan justru dijebloskan ke penjara bahkan kehilangan nyawa. Sementara, para perusak lingkungan seperti korporasi tetap bebas beraktivitas.
Ia juga mengatakan ada dua hal yang sering kali melatar belakangi penerapan SLAPP lebih sering dibandingkan anti-SLAPP di Indonesia. Kedua hal tersebut adalah upaya pembungkaman dan lemahnya pelaksanaan kewajiban dari pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Pertama, saya memandang bahwa upaya pembungkaman, pembatasan partisipasi, dan kritik publik untuk para pejuang lingkungan di Negara ini masih sering dilakukan untuk kepentingan-kepentingan si empunya kuasa atau pun investor. Hal ini bisa jadi untuk mengalihkan fokus perjuangan mereka sehingga waktunya habis mengurusi masalah kriminalisasi.”
Safrudin juga mengatakan hal seperti ini tak lebih sebagai bentuk intimidasi kepada para pejuang lingkungan dalam melaksanakan kerja-kerjanya. Dampaknya, tidak ada kontrol terhadap kerusakan lingkungan yang dampaknya berupa bencana ekologi.
“Kedua adalah karena pemerintah beserta aparat penegak hukum yang tidak menjalankan kewajibannya dengan benar. Ini bisa disebabkan karena rendahnya pemahaman para aparatur ini terhadap implementasi aturan terkait atau adanya indikasi praktek korupsi di sana,” jelas Safrudin.
Pada akhirnya, para pejuang lingkungan di Indonesia belum bisa menaruh harapan besar pada UU anti SLAPP ini. Namun, bukan berarti bahwa UU ini tidak bisa digunakan. Dorongan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk berkomitmen menjalankannya harus terus dilakukan.
“Selain berkomitmen melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan kekayaan alamnya, sudah seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum ini meningkatkan kapasitas diri mereka dalam menaati dan melaksanakan peraturan dan undang-undang, terutama UUPPLH 32 Tahun 2009. Karena penegakkan hukum harus dilakukan dengan adil di Negara ini,” pesan Safrudin. (P.Juliana_SOB)