Penangkapan Effendi Buhing yang hanya berdasarkan laporan kepolisian oleh sebuah perusahaan kelapa sawit, akhirnya menimbulkan polemik. Posisi aparat keamanan yang seharusnya memberikan rasa aman ke masyarakat, justru terkesan memihak perusahaan. Publik pun mempertanyakan kinerja para abdi Negara ini.
Menilik kembali kasus penangkapan pejuang Kinipan, Effendi Buhing, pada tanggal 26 Agustus 2020 lalu, memunculkan banyak spekulasi publik tentang bagaimana sebenarnya posisi aparat keamanan Negara terhadap masyarakat. Alhasil banyak yang kecewa, namun sebagian kecil ada pula yang mendukung.
Pro dan kontra penangkapan Buhing adalah sesuatu yang wajar. Sebab, bagi sebagian masyarakat yang belum mengerti duduk perkaranya, para aparat ini dianggap sedang melakukan tugas. Apalagi, saat Buhing dikatakan sebagai orang yang menyuruh melakukan pencurian dengan kekerasan satu buah gergaji mesin (chain saw) milik perusahaan.
Namun, proses penangkapan Buhing yang dramatis terkesan janggal. Hanya untuk pencurian sebuah gergaji mesin yang belum terbukti, kedatangan banyak aparat, bahkan beberapa berpakaian lengkap anti peluru, helm pelindung, dan senapan, justru terlihat berlebihan dibandingkan Buhing yang hanya mengenakan baju kaos dan celana pendek.
Buhing bukan kriminal, apalagi teroris. Ia hanya ketua komunitas masyarakat adat Laman Kinipan. Namun, hari itu ia diseret paksa masuk ke dalam mobil. Perlakuan tidak manusiawi aparat ini dikutuk keras berbagai pihak terutama komunitas masyarakat Dayak yang merasa terhina salah satu ketua adat mereka diperlakukan bagai seorang kriminal.
Lalu, mengapa aparat bertindak sangat agresif terhadap Buhing? Padahal, saat penangkapan, Buhing tidak bersenjata, begitu pun beberapa warga Kinipan yang jadi saksi hari itu. Istri Buhing saja hanya bermodalkan sebuah kamera smart phone, yang terus mendokumentasikan saat-saat suaminya diperlakukan tidak adil oleh para aparat Negara.
“Bapak, Effendi bukan penjahat pak. Bukan penjahat!” Teriak istri Buhing histeris. Seorang ibu bahkan terlihat tertatih-tatih mencoba menahan aparat yang menyeret Buhing. Dengan kekuatan yang seperti itu, bagaimana mungkin mereka berpotensi membahayakan para aparat? Sebaliknya, kehadiran aparat justru menebar ancaman dan ketakutan di masyarakat Kinipan.
Video penangkapan Effendi Buhing : https://www.youtube.com/watch?v=t0CO3ibQoFA
Disamping itu, Buhing bersama masyarakat Kinipan sebelumnya tidak pernah memiliki masalah dengan pihak aparat keamanan. Selama ini, apa yang Buhing dan komunitas lakukan hanya berjuang menghentikan aktivitas pembabatan hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML) di wilayah hutan adat mereka.
Bahkan, seandainya pun tuduhan semacam ini benar, lantas kenapa harus gergaji mesin? Sebuah gergaji mesin, harganya hanya berkisar antara delapan ratus sampai empat juta rupiah (sumber: blibli.com) Padahal, Buhing dan komunitas masyarakat Kinipan sedang berjuang mempertahankan hutan dan wilayah adat yang nilainya jauh lebih tinggi.
Tidak hanya tuduhan yang terkesan tidak masuk akal, tetapi juga tindakan tergesa-gesa aparat menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa para penegak hukum ini sangat responsif terhadap laporan perusahaan tetapi seakan menutup mata terhadap permasalahan mendasar tentang konflik lahan yang tak kunjung usai antara PT. SML dan masyarakat Kinipan?
Namun, kasus penangkapan sepihak oleh aparat seperti Buhing bukan terjadi kali ini saja di Kalimantan Tengah. Sebelumnya, pada tahun 2019, ada Wardian, warga desa Danau Sembuluh I, Kabupaten Seruyan yang hampir digiring paksa masuk ke dalam mobil pihak aparat.
Awal mula permasalahannya juga serupa dengan Buhing yaitu konflik lahan antara Wardian dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Selonok Ladang Mas (PT. SLM) yang tak kunjung usai. Bukannya memperoleh titik terang atau perlindungan dari aparat, Wardian justru menjadi sasaran kriminalisasi.
Video Kisah Kriminalisasi Wardian : https://www.youtube.com/watch?v=5SS1BwP4Q_Y&t=214s
Saat itu, Wardian didatangi para aparat ketika berada di pondok kebun dan peternakannya. Para aparat ini datang dengan beberapa menggunakan seragam instansi, sedangkan beberapa lagi menggunakan baju biasa. Kedatangan mereka yang tiba-tiba serta ingin membawa paksa Wardian memicu konflik antar pihak keluarga dan aparat. Beruntung, Wardian sempat diselamatkan sehingga tidak perlu merasakan jeruji besi.
Sebaliknya, nasib James Watt jauh lebih menyedihkan. Pada awal tahun 2020, ia ditangkap pihak aparat saat sedang berusaha memperoleh perlindungan hukum di Jakarta. Para aparat dari Polisi Daerah Kalimantan Tengah datang ke Jakarta dan menjemput paksa James Watt yang saat itu sedang bermalam di Mess Walhi Nasional.
James ditahan dengan tuduhan yang hampir serupa dengan Buhing, yaitu menyuruh melakukan pencurian buah sawit yang diklaim sebagai milik perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (PT. HMBP) di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringi Timur. Padahal, James mengaku tidak pernah menyuruh melakukan hal yang dituduhkan dan dilaporkan oleh perusahaan itu.
James justru sebenarnya adalah seorang aktivis dan pejuang keadilan yang secara prabono membantu masyarakat Penyang terkait masalah konflik lahan mereka dengan PT. HMBP. Namun, seakan ingin dibungkam, James malahan diseret ke dalam kasus pidana.
Bersama dengan James, ada pula Dilik dan Hermanus, dua orang masyarakat Penyang yang dituduh sebagai pelaku pencurian buah sawit. Namun, keduanya pun sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai pencuri. Sebab, lahan yang diklaim oleh PT. HMBP sampai hari ini, berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan dan masih menjadi hak masyarakat Penyang.
Tragisnya dari kisah perjuangan mereka, Hermanus harus lebih dahulu berpulang kepada Tuhan bahkan sebelum ia sempat bersaksi untuk dirinya sendiri di persidangan. Kepergian Hermanus menimbulkan luka yang sangat dalam bagi keluarga. Sementara James harus mendekam di balik jeruji besi sampai hari ini.
Video Kisah Kriminalisasi James Watt : https://www.youtube.com/watch?v=L61vOpaqKTc
Dari beberapa kisah para pejuang ini, sepertinya wajar apabila publik mempertanyakan posisi dan kinerja aparat keamanan dan penegak hukun di Negara ini. Apalagi jika diperhatikan, baik Buhing, Wardian, dan James memiliki akar permasalahan yang sama yaitu konflik lahan. Selain itu, penangkapan terhadap ketiganya selalu hanya berdasarkan laporan dari pihak perusahaan.
Lantas, apa sebenarnya hubungan antara aparat keamanan dengan perusahaan? Mengapa mereka terkesan lebih melindungi kepentingan perusahaan dibandingkan masyarakat? Bukankah tugas dan fungsi mereka adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat? (sumber: humas.polri.go.id)
Tidak perlu buru-buru menjawab. Di dalam hati, setiap kita pasti bisa menerka-nerka. Namun, apabila para aparat Negara masih terus mempertahankan gaya lama, bukan tidak mungkin kepercayaan publik akan menghilang dengan sendirinya. Maka, ketika hal itu terjadi, siapa yang akan disalahkan?
Karenanya, Negara ini tidak hanya membutuhkan revolusi mental dan pembanguan ekonomi. Praktek-praktek kuno yang menyalahi aturan di instansi-instansi keamanan Negara harusnya juga bisa direvolusi. Sehingga, para aparat ini tidak lagi melakukan blunder dan mengkriminalisasi orang- orang yang seharusnya menerima rasa aman seperti Buhing.