Search
Close this search box.

Tuntut Lahan, Ratusan Warga Desa Blokir Jalan ke Kebun Sawit

Ratusan warga dari delapan desa memblokir jalan-jalan masuk utama ke perkebunan sawit, PT Salonok Ladang Mas (SLM), anak usaha Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) Group di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada Rabu (5/2/14). Mereka dari desa-desa, seperti Desa Sembuluh I, Sembuluh II, Baung dan Telaga Pulang, Desa Tabiku, Bangkal, Pembunag Hulu serta Natai Nangka.

Warga menuntut perusahaan menyelesaikan sengketa lahan sejak perusahaan beroperasi 2004-2005 sampai saat ini. Mereka memasang portal kayu pada jalur utama masuk sampai pukul 11.

Mariana, warga Desa Telaga Pulang, mengatakan, meneruskan perjuangan almarhum suami untuk menuntut lahan mereka yang dirampas SLM sejak 2005. Menurut dia, semasa hidup, sang suami berupaya menuntut pengembalian kebun mereka di Salonok ini.

“Sampai dia meninggal dunia tahun lalu, belum ada niat baik perusahaan menyelesaikan tuntutan kami. Sekarang, saya yang meneruskan itu.”

Nordin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) dalam surat elektronik kepada Mongabay, mengatakan, warga sudah protes ke perusahaan sejak empat tahun lalu. “Warga protes kala membangun pabrik dan berhasil dihentikan.”

Kini, perusahaan pelan-pelan mulai membangun pabrik. “Banyak tuntutan warga agar lahan mereka dikembalikan karena diukur sepihak, tapi tak digubris.”

Menurut Nordin, sejak awal SLM diduga kuat melakukan land grabbing. Mereka tak segan-segan mengkriminalisasi warga. Dua tahun lalu, katanya, seorang warga, Wardian, mendekam dipenjara dengan tuduhan memanen buah sawit. “Padahal Wardian panen sawit di lahan sengketa.”

Dia meminta, pemerintah kabupaten segera menuntaskan masalah ini. “Jangan sampai perusahaan besar sawit menjadi bahaya laten yang menjadi musuh segenap warga di kampung-kampung. Ini akan berbahaya.”

Kalimantan Tengah (Kalteng), salah satu provinsi yang menjadi ‘rumah’ konflik antara warga dan perkebunan sawit. Berdasarkan catatan akhir tahun SOB, hampir semua wilayah Kalteng terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan.  Lebih dari 127 konflik didominasi sengketa lahan, ganti rugi, lahan plasma, wilayah adat, dan pencemaran sungai. Kabupaten Kotawaringin Timur, menduduki rangking pertama dengan 49 kasus.

Catatan SOB, grup besar seperti Wilmar, Sinar Mas, Makin Goup, sampai BGA Group, seolah tak tersentuh hukum, permasalahan dan pelanggaran tak pernah ditindaklanjuti kepolisian maupun pemerintah. Berbeda kala perusahaan melaporkan warga. Polisi sangat cepat menindak, menangkap, menahan bahkan tak segan menjebloskan warga ke penjara.

SOB mengidentifikasi, konflik terjadi karena pemerintah lalai dalam pengawasan, seperti  pemberian izin lokasi tanpa kajian di lapangan. “Apakah lokasi yang diizinkan ada pemukiman warga, lahan masyarakat, wilayah adat, situs keramat dan lain-lain,” kata Nordin. Kepolisian, katanya, seringkali beralasan kurang personil dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.

Data Dinas Perkebunan Kalteng, ada sekitar 310 perusahaan sawit, hanya 87 perkebunan dianggap clean & clear, sisanya masih proses.  Perusahaan clean & clear disini bahwa perkebunan sawit lengkap dan memenuhi semua perizinan. Sedang masih proses, karena ada beberapa izin harus dilengkapi perusahaan.

Dalam aturan, jika perusahaan belum memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau hak guna usaha (HGU) belum bisa beroperasi. Kegiatan yang diizinkan hanya pembibitan. Kenyataan, perusahaan-perusahaan sudah beraktivitas membuka lahan, menggarap hutan, menanam, bahkan sebagian sudah memanen buah.

Bahkan, ada beberapa perusahaan memperluas kebun dengan menggarap kawasan hutan dan lahan masyarakat.  Kebun mereka melebihi luas izin. Contoh adalah PT Globalindo Agro Lestari berlokasi di Kabupaten Kapuas. Perusahaan ini sudah panen buah dan memperluas kebun. Setelah pengukuran ulang oleh masyarakat, LSM dan pemerintah ada kelebihan luas kebun 6.000 hektar

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2014/02/09/tuntut-lahan-ratusan-warga-desa-blokir-jalan-ke-kebun-sawit/

Sebarluaskan :

Recent Post
Donasi Save Our Borneo