Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya, Kalimantan Tengah selalu tampak berbeda bagi saya saat persidangan kepala desa (kades) Kinipan digelar. Hari-hari biasa gedung ini tampak selalu sepi. Tidak terlihat tanda-tanda ada atau tidaknya persidangan di dalam.
Berbeda tiap kali persidangan Kades Kinipan berlangsung. Hari itu Kamis, 31 Maret, di area depan gerbang tampak lalu lalang anak-anak muda. Beberapa mengenakan almameter kuning universitas. Sementara itu, tepat di seberang gerbang, beberapa motor juga terparkir berjajar dan para pengendaranya turun, berkumpul, sambil mulai membuka gulungan kertas karton yang mereka bawa.
Saya pun ikut memarkirkan motor saya di sana. Saya berjalan sambil memberikan salam sekilas kepada para peserta aksi Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan (GERSTUK) yang tengah bersiap, ingin masuk melalui pagar besi hitam yang tampak kaku tertutup dan terkunci rantai tepat di belakang massa.
“Pak, saya mau ikut sidang di dalam. Boleh masuk lewat sini nggak?” Saya bertanya kepada beberapa petugas polisi yang juga tampak berkumpul di pos jaga. Lokasinya tepat di depan gerbang bagian dalam.
Meski agak sedikit enggan, salah satu Polisi berjalan juga mendekat ke arah saya dengan percakapan kami yang terhalang jajaran besi. “Waduh, lewat pintu lain saja ya. Saya capek buka tutup kunci gerbangnya. Bawa saja motornya masuk ke dalam nanti,” katanya.
Tanpa berlama-lama, saya segera beranjak dari sana. Kembali mengendarai motor dan memutar ke arah yang diinstruksikan. Setelah memarkirkan motor di samping gedung, saya buru-buru pergi ke lobi.
Di lobi seorang rekan dari Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (Walhi Kalteng) tampak duduk tepat di sebelah pintu masuk dan tak lama Willem Hengki juga bergabung di sana bersama seorang pengacaranya. Berselang beberapa menit, pengacara Willem yang lain juga datang begitu pun beberapa awak media.
Saya memilih beranjak ke ruang sidang. Mengatur posisi duduk sebelum kehabisan kursi karena sidang kali ini tampaknya cukup diminati. Beruntung perkiraan saya benar, setelahnya banyak yang masuk ke ruangan. Kursi cepat sekali penuh karena duduknya berjarak antar satu sama lain.
Sidang memang dimulai, tetapi bukan kasus Willem yang pertama. Kasusnya masih menunggu giliran, sedangkan saya dan sebagian besar orang sudah malas beranjak keluar dan memilih menunggu di dalam. Sekitar 30 menit kemudian, pukul 09.30 WIB, persidangannya dimulai juga.
Jika minggu lalu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamandau absen di persidangan, tetapi hari ini mereka menghadirkan 3 orang saksi fakta. Ketiganya adalah Umar dari Inspektorat Kabupaten Lamandau, Roni dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lamandau, dan Triyena Ketua Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Pembangunan jalan usaha tani Pahiyan.
Baca: https://saveourborneo.org/misteri-jalan-pahiyan-laman-kinipan-nyata-atau-rekayasa/
Selesai diambil sumpahnya, Umar yang pertama duduk di kursi saksi. Meski perawakannya tidak besar, namun suara Umar cukup lantang saat menjelaskan siapa dirinya ketika ditanya JPU. “Saya dari Inspektorat Kabupaten Lamandau, auditor pertama, punya sertifikat, dan berhak melakukan audit,” jawabnya percaya diri.
Kepada Umar, Majelis Hakim pun bertanya bagaimana audit terhadap desa Kinipan awalnya bermula. “Audit saya laksanakan pada tahun 2020 karena ada perintah dari Bupati,” Umar mulai mejelaskan. “Ada surat yang masuk kepada kami dan memerintahkan audit khusus untuk desa Kinipan,” katanya lagi.
Jawaban Umar membuat saya sedikit tercengang. Tunggu dulu, mungkin saja saya salah dengar. Namun, kemudian pertanyaan Majelis Hakim menyadarkan saya. “Maksudnya audit ini saudara laksanakan karena ada surat dari Bupati?” tanya Hakim.
“Karena ada laporan,” kata Umar kemudian. Namun, anehnya Umar tidak bisa menjelaskan siapa yang memberikan laporan saat hakim bertanya siapa yang melapor. Ia justru hanya menjawab “masyarakat” tetapi tidak juga bisa menjelaskan masyarakat yang mana.
Sempat berputar-putar akhirnya jawaban Umar kembali ke awal bahwa audit dilaksanakan karena ada surat dari Bupati. “Surat apa?” tanya hakim yang terus terang saja mewakili pertanyaan saya juga. “Tidak tahu rekomendasi siapa,” sahut Umar. “Saya hanya diperintahkan oleh surat itu,” katanya.
Menurut Umar, berdasarkan surat rekomendasi itulah ia kemudian ditugaskan untuk melakukan audit terhadap anggaran desa Kinipan tahun 2017, 2018, dan 2019. Audit ini ia lakukan selama rentan waktu 10 – 21 Februari 2020. Metode auditnya sendiri adalah dengan meminta konfirmasi langsung ke kades dan perangkat desa Kinipan.
Dari hasil audit inilah, Umar kemudian menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Umar mengaku memang memperoleh temuan dari hasil pemeriksaan yang mereka lakukan. Temuan itu terkait dengan pembayaran jalan usaha tani Pahiyan yang di lakukan oleh kades Kinipan, Willem Hengki. Menurutnya, pekerjaan jalan itu mendahului anggaran. Sehingga, Umar menekankan bahwa pembayaran jalan yang dilakukan pada tahun 2019 adalah fiktif.
Dalam LHP, Umar kemudian memberikan 2 rekomendasi ke Bupati. Pertama, memerintahkan Bupati Lamandau memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Kades Kinipan. Kedua, memerintahkan kades Kinipan untuk menagih kontraktor dan menyetorkan dana tersebut ke kas desa Kinipan. “Jangka waktu yang diberikan untuk melaksanakan rekomendasi ini adalah 60 hari sejak LHP diterima,” begitu kata Umar.
Menurut Umar juga, karena rekomendasi ini tak kunjung dilaksanakan oleh kades Kinipan, permasalahannya kemudian dilimpahkan ke Kepolisian. Sekarang saya jadi tahu dari mana kasus Willem ini berawal.
Umar tadinya memang percaya diri dengan jawabannya, tetapi mendadak suasana berubah tegang saat kuasa hukum Willem mulai mencecar Umar dengan berbagai pertanyaan. Suaranya mulai kebingungan ketika diminta menunjukkan halaman mana dalam LHP yang memuat jangka waktu 60 hari yang Umar sampaikan sebelumnya. Ia sampai bolak-balik membuka halaman pada LHP yang ia pegang. Faktanya, tidak ada dalam LHP.
Namun, Umar berkelit. “Biasanya selalu ada dituliskan dalam LHP,” katanya. Meski begitu dalam LHP yang ia kirim untuk Willem memang tidak ada.
Kemudian, kuasa hukum bahkan hakim juga bertanya kepada Umar terkait pernyataan tentang pembayaran fiktif yang sebelumnya ia sebutkan. Dengan agak terbata dan nada suara yang mulai tinggi, Umar berusaha menjelaskan di depan persidangan. “Jadi pekerjaan jalan itu tahun 2017 ada, tetapi pembayarannya tahun 2019 itu yang fiktif,” katanya.
Umar juga menambahkan bahwa pada tahun 2019 tidak mungkin ada pekerjaan pada jalan itu. Sebab, menurut kunjungan yang sekali ia lakukan itu pada tahun 2020 lalu, kondisi jalan masih semak belukar dan ada pohon-pohon besar. Ia merasa janggal dengan adanya jalan itu. Namun, ia tetap mengakui bahwa pengerjaannya memang ada. Pernyataan Umar memang seringkali kontradiktif.
“Pekerjaan jalan itu sudah 100% dilaksanakan pada tahun 2017,” kata Umar lagi. Namun, kemudian ia juga menyatakan bahwa pembayarannya tetap fiktif. Bagaimana mungkin pengerjaannya ada tetapi pembayarannya fiktif? Bukankah akan wajar jika pembayaran dilakukan setelah pengerjaan? Itu juga berarti bahwa jalan Pahiyan memang benar ada, makanya kemudian Pemerintah Desa (Pemdes) membayarkan biaya pengerjaannya.
Di dalam ruang sidang, saya tidak pusing sendiri mendengar pernyataan Umar. Kuasa hukum dan hakim bahkan mempertanyakan hal yang sama. Jika pembayarannya fiktif, lalu atas dasar apa Umar mengatakan pengerjaan jalannya sudah 100% di tahun 2017. Umar juga tidak dapat menjelaskan. Bagaimana sih Umar?
Keseruan sidang hari itu tidak berhenti pada Umar. Selanjutnya, JPU menghadirkan Roni, saksi fakta dari Dinas PUPR Kabupaten Lamandau. Roni mengaku diminta turun ke lapangan oleh Kepala Dinas PUPR dan Kepolisian Resort (Polres) Lamandau bersama 2 rekannya yang lain untuk melakukan pemeriksaan fisik dan uji kelayakan konstruksi kepada jalan usaha tani Pahiyan.
Roni tampak tenang duduk di kursi saksi. Ia bercerita dibekali dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan gambar rencana oleh penyidik Polres untuk turun ke lapangan. Di lapangan, ia dan rekannya melakukan pengukuran terhadap jalan Pahiyan. “Lebar jalannya bervariasi. Ada yang panjangnya 916,9 meter dengan lebar 8 meter, serta satu lagi panjangnya 388,2 meter dengan lebar 15,9 meter,” katanya.
Berdasarkan hasil pengecekan lapangan dan dokumen RAB yang ia pegang, Roni menyampaikan keberatan dengan volume total harga yang tertulis dalam RAB. “Ada perbedaan total harga pekerjaan dengan selisih kelebihan penghitungan harganya,” katanya. Menurut Roni, dana sebesar 50 juta rupiah seharusnya sudah cukup untuk membuat jalan Pahiyan.
Bagi saya pernyataan Roni ini cukup mengejutkan. Bagaimana bisa uang sebesar 50 juta cukup untuk pembangunan jalan sepanjang 1,3 kilometer di Kinipan? Namun, menurut Roni analisis ini telah ia lakukan berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) PUPR No. 28 Tahun 2016 tentang Analisis Harga Satuan Pekerjaan.
Pernyataan Roni ini juga kemudian dipertanyakan oleh kuasa hukum Willem. “Alat apa yang saudara gunakan untuk melakukan pengecekan di lapangan?” tanya kuasa hukum. Saya sempat menanti jawaban ini dengan hikmat, berharap cukup mengobati rasa penasaran saya atas munculnya angka 50 juta yang disebut Roni.
“Kami membuat patok dan meteran untuk alat ukurnya,” kata Roni. Selain itu, ia mangatakan hanya melakukan pengecekan terhadap RAB. “Saya melakukan pengecekan terhadap data yang ada saja karena saya memang tidak tahu bagaimana kondisi awalnya,” jelas Roni lagi.
Kemudian, kuasa hukum kembali bertanya. “Apakah saksi tahu siapa yang membuat jalan itu?” Anehnya, Roni mengaku tidak tahu. Ia menjelaskan bahwa ia hanya melakukan pekerjaan sebagaimana yang diperintahkan kepada dia dan timnya. Roni mengaku tidak terlalu banyak tahu selebihnya dari itu.
Lalu, kenapa Roni berani mengatakan hanya butuh dana 50 juta saja untuk membangun jalan Pahiyan? Pertanyaan ini menempel kuat di kepala saya. Dengan keterbatasan data yang ia miliki, bukankah pernyataan Roni terkesan terlalu berani?
Dari Palangka Raya saja, perjalanan ke desa Kinipan bisa sampai 14 jam. Dari Kabupaten Lamandau, jauhnya sekitar 3 jam. Itu pun dengan kondisi jalan perbukitan, dengan aspal yang tidak merata di banyak bagian. Medannya tidak mudah untuk ke Kinipan, apalagi dengan mengangkut alat berat seperti eksavator. Lantas, apakah harga 50 juta itu masuk akal? Bagaimana dengan upah pekerja hingga ke urusan tetek bengek pembangunan jalannya? Apakah ini tidak masuk hitungan?
Namun, Kasus kades Kinipan ini sejak awal memang ajaib. Tiba-tiba mencuat dari antah berantah. Saya tidak heran. Jika ada titah dari pimpinan, bukan mustahil apa pun bisa terlaksana.
Kedua saksi ini menjadi topik hangat di kalangan awak media. Keterangan keduanya tidak hanya ganjil tetapi juga mengejutkan. Namun, keduanya cukup berhasil menguak kemungkinan terbesar adanya konspirasi licik di balik mencuatnya kasus kades Kinipan.
Mungkin kasus ini benar kasus pesanan. Mungkin juga kasus ini mengada-ada. Mungkin dan mungkin, banyak kemungkinan. Namun, masing-masing kita pasti bisa menilai sendiri.
Ketika persidangan selesai, saya sempat mengobrol singkat dengan Willem. Wajahnya lesu. Saya tahu dia pasti lelah dengan persidangan ini, belum lagi saat harus mendengarkan keterangan para saksi yang memojokkan dirinya. “Saya tidak habis pikir mereka bilang jalan Pahiyan dibangun dengan 50 juta,” keluh Willem.
Namun, kita hidup di Negeri yang katanya berhukum ini. Sehingga, kita harus menghormati proses hukum yang berjalan. Harapan terbesar kita adalah agar Majelis Hakim dapat melihat perkara ini secara objektif. Seharusnya titah pimpinan masih bisa kita patahkan dengan kebenaran dan keadilan, bukan? Serta, kita juga harus terus berusaha mendukung kebebasan bagi Willem dan masyarakat adat Kinipan. (P.Juliana_SOB)