Pada tanggal 14 Maret 2022 lalu, untuk keenam kalinya persidangan kasus Willem Hengki, Kepala Desa (Kades) Kinipan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya. Untuk kedua kalinya, sidang masih dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamandau.
Kemungkinan beberapa minggu ke depan, agenda sidang juga akan tetap sama. Bagaimana tidak, di Berita Acara Penahanan (BAP) Willem saja total penyidik menanyai 20 orang saksi. Sejauh ini, setengah dari jumlah para saksi itu pun belum sampai yang hadir di persidangan. Penyidik dan JPU tampak bersemangat sekali menangani kasus ini.
Entah harus bersyukur atau tidak, status Kades Kinipan sebagai tahanan kota setidaknya sedikit meringankan beban beliau. Bayangkan bagaimana perasaan beliau bila harus menjalani proses persidangan yang panjang seperti ini dari balik bui?
Namun, ada satu hal yang menarik dari kesaksian 7 orang saksi yang telah dihadirkan JPU sampai sejauh ini. Jalan Usaha Tani Pahiyan, kata ini selalu disebutkan dalam setiap keterangan mereka. Lalu, apa hubungan jalan ini dengan kasus Kades Kinipan, Willem Hengki?
Sebenarnya, ide pembangunan jalan usaha tani Pahiyan ini tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Berdasarkan keterangan Emban, mantan Kades Kinipan yang menjabat sejak tahun 2011 – 2017, dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor tanggal 14 Maret 2022 lalu mengatakan bahwa ide pembangunan jalan ini justru lahir dari keinginan masyarakat sendiri. Karena itulah jalan ini kemudian dibangun dan rampung pada tahun 2017.
Willem baru menjabat sebagai Kades Kinipan pada tahun 2019. Ada jeda waktu 2 tahun, lalu apa hubungannya dengan Willem? Sebenarnya tidak ada. Namun, kemudian menjadi ada karena ternyata pembangunan jalan ini belum dibayar Pemerintah Desa (Pemdes) Kinipan kepada kontraktor yaitu CV. Bukit Pendulangan, sebagai pihak ketiga. Suka atau tidak, masalah yang kita sebut saja sebagai hutang piutang ini kemudian menurun kepada Willem, sang Kades baru saat itu.
Polemik Pembayaran Jalan Usaha Tani Pahiyan
Sama seperti masalah di Negara yang kita tinggali saat ini, fenomena hutang piutang turunan seperti sudah lumrah terjadi. Terdengar tidak asing kan? Meski yang berhutang pendahulunya, tetapi yang akan datang turut serta menanggungnya. Akhirnya, hutang turun temurun ditanggung oleh generasi-generasi penerusnya, seperti kita ini.
Namun, perlu digaris bawahi juga bahwa kesepakatan tentang hutang piutang Desa Kinipan dengan CV. Bukit Pendulangan ini tidak berlangsung secara sepihak. Pemdes Kinipan melalui Kadesnya saat itu, Emban, bersepakat bahwa pembayaran pembangunan jalan usaha tani Pahiyan ini akan masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2018.
Jika pembayaran masuk ke dalam APBDes tahun 2018, lalu bagaimana jalan usaha tani Pahiyan ini dapat dibangun pada tahun 2017? CV. Bukit Pendulangan bersedia mengeluarkan dananya terlebih dahulu, kira-kira begitu keterangan yang didapat dari para saksi. Saat itu, perusahaan kontraktor ini menyanggupi proses pembangunan jalan dan bersedia menerima pembayaran di akhir. Alasan tentang mengapa perusahaan ini bersedia, sampai saat ini belum diketahui, masih menjadi misteri.
Kemudian, jalan selesai dibangun tetapi masa jabatan Emban sebagai Kades Kinipan juga sudah selesai. Secara lisan ia mendelegasikan pembayaran pembangunan jalan ini kepada Karya, Pelaksana Tugas (Plt) Kades Kinipan, pada tahun 2018. Karya juga mengaku pernah ditagih oleh CV. Bukit Pendulangan saat itu, tetapi ia menolak memasukan biaya pembayaran itu ke dalam APBDes tahun 2018 karena merasa tidak memiliki kewenangan terhadap masalah ini. Hingga pada tahun 2019, Willem Hengki menjabat sebagai Kades Kinipan.
Selain itu, Pemdes Kinipan percaya betul dengan CV. Bukit Pendulangan. Menurut Emban, penghitungan biaya pembangunan jalan bahkan dipercayakan kepada kosultan dari kontraktor perusahaan ini. Total biaya yang disebut saat itu adalah Rp. 400.000.000; (empat ratus juta rupiah).
Namun, kemudian diketahui sebelum membayar kepada kontraktor, Willem menghitung ulang biaya pembangunan jalan dengan menyewa konsultan independen dan mendapati biaya hanya sebesar Rp. 321.469.000 (tiga ratus dua puluh satu juta empat ratus enam puluh sembilan ribu rupiah). Sehingga, hanya total biaya ini yang dibayar oleh Willem kepada pihak ketiga.
Maksud Willem sebenarnya baik. Ia hanya ingin memutus rantai hutang piutang ini. Sebab, pihak CV. Bukit Pendulangan juga sudah bolak balik menagih Pemdes Kinipan. Malangnya, niat ini malah jadi buah simalakama bagi dirinya sendiri.
Belakangan diketahui juga, ditengah polemik kasus Willem, CV. Bukit Pendulangan malah melayangkan gugatan atas nama Kades Kinipan ke Pengadilan Tinggi Pangkalan Bun dengan perkara wanprestasi atau tidak dipenuhinya prestasi/kewajiban dalam suatu perjanjian. Mereka merasa pembayaran Pemdes Kinipan sebesar tiga ratus dua puluh satu juta empat ratus enam puluh sembilan ribu rupiah itu tidak sesuai perjanjian.
Entah latah atau hanya bagian dari usaha menyelamatkan diri, gugatan ini justru terkesan sama terburu-burunya dengan dakwaan tanpa pasal yang pernah dibacakan JPU pada persidangan pertama Willem. Permasalahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Lamandau, anehnya justru mereka laporkan ke Pengadilan yang ada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Sungguh jadi misteri.
Jalan Usaha Tani Pahiyan, Nyata atau Rekayasa?
Lalu, bagaimana dengan jalan usaha tani Pahiyan? Benarkah jalan ini benar ada atau hanya rekayasa proyek semata? Jawabannya ada. Bahkan, sejak selesai dibangun hingga hari ini masih aktif digunakan oleh masyarakat Desa Kinipan.
Bagi masyarakat, jalan usaha tani Pahiyan ini penting karena digunakan sebagai akses menuju ladang dan pertanian mereka. Bahkan, keberadaannya juga mempermudah masyarakat dalam mengangkut hasil ladang atau tani, hingga hasil alam lainnya. Menurut keterangan para saksi di persidangan, terutama perangkat desa Kinipan, jalan bahkan bisa digunakan tidak hanya untuk kendaraan roda dua tetapi juga roda empat.
Saya sendiri datang dan berjalan di atas jalan ini pada bulan Januari 2022 lalu. Di sana saya mendapati jalan lebar yang kiri kanannya memiliki parit. Selain ladang dan kebun, ada rumah masyarakat juga di sana.
Mirisnya, justru verifikasi lapangan terhadap keberadaan jalan ini belum pernah dilakukan para penyidik dan jaksa, termasuk oleh beberapa saksi dari Pemerintahan Kabupaten Lamandau yang ditanyai penyidik di BAP. Lalu, atas dasar apa kasus ini diangkat menjadi korupsi? Inilah misteri lainnya.
Konspirasi di Balik Masalah Wilayah Adat Kinipan
Rasanya permasalahan hukum bukan pertama kali terjadi di Laman Kinipan. Sejak masyarakat menunjukkan penolakan dan perlawanan terhadap eksploitasi hutannya yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit oleh PT. Sawit Mandiri Lestari (PT. SML), sejak itu pula masalah tak pernah ada habisnya menimpa Kinipan.
Seakan tak cukup hanya dengan merampas lahan, kriminalisasi juga dilakukan demi membungkam perlawanan masyarakat. Pada tahun 2020, total ada 6 masyarakat Laman Kinipan yang dikriminalisasi, termasuk Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan.
Tidak cukup sampai di situ, usaha masyarakat dalam memperoleh pengakuan atas keberadaan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Kabupaten Lamandau juga seakan tidak dibiarkan berjalan mulus. Ada-ada saja kendalanya. Mulai dari data atau dokumen yang tidak lengkap padahal masyarakat sudah mengikuti setiap syarat dan aturan yang ditulis. Hingga yang terbaru, munculnya tuduhan kasus korupsi terhadap Kades Kinipan, Willem Hengki. Mungkinkah ini konspirasi?
Mungkin. Apa saja mungkin terjadi di bawah langit ini. Hal salah dan benar seakan dibuat rancu oleh keahlian oknum-oknum tertentu. Kinipan adalah salah satu contohnya.
Tugas kita tidak hanya mengawal perjuang Kinipan, tetapi juga terlibat di dalam perjuangan dan gerakan untuk Kinipan. Suarakan lebih lantang lagi pembebebasan Kades Kinipan. Suarakan pula agar keberadaan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan diakui oleh Negara. Mengembalikan dan menjaga wilayah dan hutan adat Kinipan tidak hanya jadi tanggung jawab mereka, tetapi kita semua yang hidup di Bumi juga anak cucu kita di masa depan. (P.Juliana_SOB)