Menolak jera, Presiden Indonesia, Jokowi promosikan proyek gagal food estate di forum COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Haruskah kita lanjutkan?
Di bawah cuaca mendung tanggal 2 Desember 2023 lalu, spanduk kuning lebar dibentangkan tepat di lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk program ketahanan pangan food estate yang berlokasi di desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng). Food Estate Feeding Climate Crisis (Food Estate memberi makan krisis iklim), begitu tulisan di spanduknya.
Lahan pasir gersang, tak ada hamparan tanaman singkong yang tumbuh subur. Jika ada, hanya sedikit yang bertahan. Itu pun kecil antara hidup segan mati tak mau. Di tengah kondisi lahan singkong yang gagal ini pula meja dan kursi makan disusun, lengkap dengan pangan lokal siap santap di atas mejanya.
Sementara empat orang aktivis berbaju batik mengenakan topeng duduk di sana. Ada wajah Jokowi si Presiden Indonesia saat ini. Ada juga wajah Ganjar, Anies, dan Prabowo, calon-calon Presiden yang pada tahun 2024 nanti akan memperebutkan kursi pengganti Jokowi.
Aksi kreatif ini disebut parodi Makan Siang Presiden Jokowi dan Tiga Calon Presiden di Pemilihan Presiden 2024. Aksi yang digagas para aktivis dari Greenpeace, Save Our Borneo, Walhi Kalimantan Tengah, dan LBH Palangka Raya. Pesan yang ingin disuarakan adalah bahwa food estate bukanlah solusi ketahanan pangan, malah justru memperparah krisis pangan dan iklim.
Pesan ini disuarakan sebagai bentuk tanggapan atas pidato Jokowi saat berada di forum Transforming Food Systems in the Face of Climate Change (Mentransformasi Sistem Pangan dalam Menghadapi Perubahan Iklim) di COP28 di Dubai, Uni Emirates Arab pada tanggal 1 Desember 2023 lalu.
Mengkutip berita CNN, alih-alih sadar akan kegagalan food estate, dalam pidatonya Jokowi justru mengundang kolaborasi global untuk mendukung dana dan teknologi pengembangan food estate. Hal itu ia sampaikan tanpa ragu di forum yang disaksikan para petinggi dunia.
“Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk pertanian skala kecil dan juga untuk food estate skala besar yang didukung oleh pendanaan dan transfer teknologi dan berpotensi menjadi food estate besar yang menyuplai kebutuhan global. Maka dari itu kolaborasi global harus diperkuat. Investasi untuk agrikultur dan pertanian harus sangat diperlukan, terutama karena pertanian dan produk pertanian juga dapat menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan,” kata Jokowi.
Seakan tak jera, pemerintah seperti tak belajar dari kesalahan. Pidato Jokowi seolah-olah menutupi fakta-fakta kegagalan programnya di lapangan yang selama ini santer disuarakan oleh masyarakat, media, hingga aktivis.
Hal ini pula yang ditegaskan kembali oleh M. Habibi, Direktur Save Our Borneo. Baginya jelas food estate bukannya mendorong ketahanan pangan dan mengatasi perubahan iklim. Sebaliknya, konversi hutan menjadi lahan pertanian singkong seperti yang terjadi di desa Tewai Baru jadi bukti sumbangsih food estate bagi krisis iklim.
“Dari pengamatan kami di lapangan selama ini, lokasi proyek food estate sebelumnya adalah hutan kerangas yang tumbuh di atas lahan berpasir. Pembukaan lahan ini rentan jadi pemicu terjadinya banjir karena erosi, mengingat proyek berlokasi di bagian hulu anak-anak sungai yang mengalir ke daerah aliran sungai Kahayan” jelas Habibi.
Menurut Habibi juga, program yang dijalankan sejak tahun 2020 ini nyatanya memang tak berhasil menumbuh suburkan singkong-singkong seperti yang pernah diklaim Pemerintah. Lahan dengan luas sekitar 600 hektar itu justru mangkrak. Tak jelas gunanya.
Sejalan dengan itu, Arie Rompas, ketua tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dengan tegas menyatakan food estate gagal. “Kebijakan ini harus dikoreksi oleh pemerintah mendatang. Para capres-cawapres yang berlaga di Pemilihan Presiden 2024 tak boleh memalingkan muka dari situasi ini. Food estate sudah gagal dan harus dihentikan,” kata Arie.
Lebih dari persoalan politik, food estate jadi gambaran bahwa siapa pun pemimpinnya, aspek lingkungan harus selalu jadi salah satu pertimbangan utama selain ekonomi bagi setiap kebijakan dan program yang mereka jalankan kelak. Sebab kegagalan proyek ini besar dampaknya.
“Selama ini, pemerintah selalu menitik beratkan pada keterbatasan anggaran sehingga proyek ini gagal. Padahal bukan itu masalahnya. Sejak awal proyek ini tidak direncakan dengan baik, bahkan kajian yang menjadikan food estate sebagai proyek strategis juga tidak memadai,” kata Habibi.
Akhirnya, kita hanya menuai hasil buang-buang anggaran Negara. Diikuti dengan ekosistem yang menjadi rusak, serta minim keterlibatan masyarakat adat dalam pelaksanaannya. Sementara, tak ada kebutuhan pangan yang berhasil dipenuhi.
Jika pembenarannya ‘tidak apa-apa gagal, kita coba lagi.’ Apakah kita mau uang Negara kembali dibuang untuk coba-coba? Harus berapa banyak hutan yang dikonversi untuk proyek coba-coba?
Food estate singkong hanya salah satu contoh kegagalan. Food estate padi pun punya cerita kegagalannya sendiri.
Jika sudah jelas begini, haruskah food estate kita lanjutkan? (P. Juliana)