Perempuan menghadapi ancaman diskriminasi gender lebih tinggi terutama dalam industri jasa seperti pariwisata.
Thata Debora Agnessia
Di balik senyum yang selalu terpancar dan sikap ramah yang tak pernah pudar, seorang pekerja lepas di industri pariwisata menyimpan kisah kelam. Pemandu wisata itu, sebut saja M (20), menceritakan pengalamannya kepada Yayasan Perempuan Penggerak Pariwisata Indonesia.
Setiap bekerja, dia menyambut pelancong dari berbagai belahan dunia dengan senyum yang hangat demi pelayanan yang profesional. Namun, di balik keramahan itu, ada tantangan yang harus dihadapinya. Ia mengaku sering mendapatkan pelecehan fisik dari para pelancong mancanegara. Dipeluk, dirangkul hingga dicium dengan paksa pernah ia alami.
Dia harus menghadapi sikap tidak sopan dan perilaku melecehkan dari beberapa wisatawan itu sendirian. Mereka memanfaatkan posisi sebagai tamu untuk bertindak seenaknya, berpikir bahwa tidak ada konsekuensi yang akan mereka hadapi setelah kembali ke negara asal.
Sebagai bisnis jasa, industri wisata menyenangkan pengunjung merupakan prinsip utama. Pelanggan sering kali dianggap raja. Ini membuat korban tidak berkutik. Korban sekian lama hnya bisa menangis dan menenangkan diri sendiri untuk merasa lebih baik.
Kejadian pahit juga dialami seorang perempuan pemandu pariwisata berinisial AB (21). Ia biasanya memandu pelancong di sebuah objek wisata terkenal di Kalimantan Tengah yang pekerjanya didominasi laki-laki.
Ia pernah mendapatkan perundungan seksis dari seorang staf yang bekerja di bagian pos administrasi tiket masuk. Namun, saat insiden itu terjadi alih-alih ada yang membela, korban malah ditertawakan oleh seluruh orang yang berada di sana.
Apa yang dialami oleh M (20) dan AB (21) mirip dengan fenomena yang diteliti Budi Shantika dari Universitas Pendidikan Nasional Denpasar. Studi tersebut menyebutkan, perempuan yang bekerja di industri pariwisata rentan terhadap kekerasan seksual dan diskriminasi.
Pada Maret 2024 Komnas Perempuan mencatat perempuan korban kekerasan terbanyak adalah berusia 18-24 tahun dengan jumlah pengaduan sebanyak 1.342. Diskriminasi gender lebih parah terjadi pada perempuan usia muda, terutama yang berhadapan dengan relasi kuasa yang kuat.
Pada pertengahan 2020 seorang penyintas kekerasan seksual membuka kisahnya pada saluran Youtube milik seorang aktris Gritte Agatha. Pada 2014 saat magang di salah satu hotel bintang empat di Jakarta, siswi kelas dua SMK itu mengalami pelecehan. Usai membersihkan kamar pelanggan, di sebuah tangga darurat seorang staf yang bekerja di sana melecehkannya. Korban ingin melawan. Pelaku malah menamparnya.
Kondisi ini juga dijelaskan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh akademisi Yvonne Guerrier dan Amel Adib dari Southbank University, Inggris. Dua akademisi ini menerangkan, pelecehan seksual baik secara verbal maupun fisik menjadi permasalahan bagi pekerja perempuan, khususnya di industri perhotelan yang merupakan bagian dari industri pariwisata.
Ini juga terjadi di Bali, di mana pekerja perempuan berkontribusi hampir 90% dalam industri wisata. Situasi ini banyak membuat pekerja wisata perempuan mengakhiri kariernya lebih dini. Ini, misalnya, pernah dialami Monica, seorang pendiri Yayasan Perempuan Penggerak Pariwisata Indonesia. Ia menilai, pelecehan terhadap pekerja perempuan seperti sudah dinormalisasi dalam industri pariwisata.
Studi Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) memperkirakan sekitar 75% kekerasan seksual di tempat kerja, termasuk pekerja sektor pariwisata, tidak dilaporkan. Pekerja mengalami kekerasan seksual karena ketidakamanan lingkungan kerja. Sebagian besar yang bertahan adalah karena kebutuhan finansial yang mendesak.
Berdasarkan data World Economic Forum, Indoesia termasuk negara dengan nilai buruk terhadap pekerja perempuan. Disebutkan, pada 2018 Indonesia berada di peringkat 85 dari 149 negara dengan masalah kesenjangan gender di tempat kerja. Bukan membaik, pada 2024, peringkat Indonesia terjun ke posisi100 dari 146 negara.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 mencatat, sektor pariwisata menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 4,3% atau sekitar lebih dari Rp842 miliar dari 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Ini menjadikan pariwisata sebagai penyumbang devisa negara terbesar ketiga setelah sektor Crude Palm Oil (CPO) dan batubara. Itu sebabnya, Presiden Jokowi pada 2015 telah menempatkan pariwisata sebagai sektor utama pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Namun apalah arti angka yang menggiurkan itu jika terjadi diskriminasi pada perempuan pekerja. Noviyanti Soleman dari Khon Kaen University, menawarkan solusi, pemerintah harus memiliki kebijakan berperspektif perempuan. Kebijakan tersebut harus menjamin keamanan perempuan di tempat kerja dan akses yang sama.
Selain dinaungi oleh Undang-Undang Keternagakerjaan, perempuan pekerja sektor pariwisata juga dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS) yang memberikan jaminan keadilan atas korban kekerasan seksual. Namun, menurut studi Yayasan Perempuan Penggerak Pariwisata Indonesia, Monica dkk, masih ada tindakan menutup-nutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi untuk menjaga citra merek industri.
Menghadapi situai ini, perlu adanya komitmen untuk menyediakan pendidikan gender dan pencegahan kekerasan seksual yang mumpuni bagi seluruh pelajar maupun pekerja di sektor pariwisata. Komitmen pendidikan dan kebijakan anti diskriminasi gender inilah yang membuat Islandia, menempati posisi teratas dalam kesetaraan gender di tempat kerja menurut World Economic Forum.
Manajemen industri pariwisata harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tidak hanya melindungi citra industri saja, melainkan juga inklusif gender.
Ilustrasi : newyorker.com