SAMPIT, SAVE OUR BORNEO – James Watt yang menjadi korban kriminalisasi dalam konflik lahan antara masyarakat Desa Penyang dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Demi mencari keadilan James Watt tak ingin berhenti karena ia tahu benar dirinya tidak bersalah.
James Watt ditangkap pada Sabtu 7 Maret 2020 lalu di Jakarta tepatnya di mess atau rumah perlindungan milik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional. Beberapa polisi dari Polda Kalimantan Tengah jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menangkap dirinya.
Sebelum James ditangkap, polisi sebelumnya juga menangkap dua orang lainnya yakni Dilik dan Hermanus karena memanen sekitar 13-18 tandan sawit. Polisi pun menuduh James Watt sebagai dalang dibalik kejadian itu.
Namun sayang hakim tidak melihat fakta bahwa lokasi tempat Dilik dan Hermanus mengambil buah tandan sawit merupakan lokasi yang sedang bermasalah. Dakwaan yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat karena tidak menguraikan keabsahan kepemilikan tanah yang merupakan sumber masalah.
“Banyak hal yang janggal dalam kasus ini, salah satunya persoalan barang bukti, mengapa bisa ditulis 4,3 ton yang dicuri, selain itu seharusnya ada uraian dulu tentang lahan yang menjadi lokasi panen,” kata Aryo Nugroho salah satu penasehat hukum James Watt di Palangkaraya, Kamis (16/4/2020).
Seiring berjalannya waktu, Hermanus meninggal dalam upaya mencari keadilan dari balik jeruji. Kematian Hermanus saat ditahan dalam tahanan Polres Kotawaringin Timur pun hingga kini masih menyimpan tanda tanya pihak keluarga. Dilik dinyatakan bersalah, begitu juga James Watt. Mereka tak bergeming mendengar putusan hakim saat itu di Pengadilan Negeri Sampit, Kotawaringin Timur, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmi Amalia.
Berdasarkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sampit pada 15 Juni lalu, Ia dijatuhi hukuman 10 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 5.000,-.
Putusan tersebut tidak lantas membuatnya berhenti melawan. Pada 22 Juni 2020, melalui penasihat hukumnya, James telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya, sayangnya putusan di tingkat banding itu justru menguatkan putusan PN Sampit. Sehingga ia tetap dijatuhi hukuman selama 10 bulan penjara.
James Watt kembali mengajukan permohonan kasasi pada 10 Oktober 2020 lalu ke Mahkamah Agung RI. “Saat ini saya menghabiskan waktu membuat buku dan menulis lagi dari balik sel,” kata bapak empat anak tersebut.
Dalam sebuah diskusi, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Kurnia Warman menjelaskan, jika hakim mempertimbangkan fakta persidangan dengan benar, maka James Watt dan kawan-kawannya diputus bebas. Namun, tampaknya hakim tidak melihat itu dan mungkin saja terjadi sesuatu dibalik persidangan yang tidak bisa diketahui maka itu berbahaya.
“Kalau hakim tidak mempertimbangkan fakta persidangan itu cilaka. Fakta persidangan dan saksi ahli sudah jelas bahwa mereka (James Watt dan Dilik) tidak memenuhi syarat melakukan pidana pencurian dan pengerusakan, karena yang mengatakan pencurian itu tidak bisa membuktikan bahwa barang itu miliknya,” kata Kurnia.
Kurnia menyampaikan, dalam undang-undang perkebunan (aturan yang digunakan untuk mendakwa keduanya) justru tindakan perusahaan itu yang dilarang karena menanam atau membuat kebun di lahan milik masyarakat adat tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Belum lagi mereka menanam di luar HGU itu udah melanggar hukum,” ujarnya.
Dari banyak perspektif, James Watt, Dilik, maupun Hermanus (alm) tidak bersalah. Mereka sedang berjuang mempertahankan haknya. Memang mereka melalui haling rintang yang tak kunjung usai, namun mereka percaya selalu ada terang dalam gelap gulita sekalipun. (Dia_508)