Gijik, warga desa Bangkal, meninggal beberapa bulan lalu akibat peluru tajam oknum Polisi. Keadilan belum ia dapat, terdakwa justru didakwa pasal ringan.
Perempuan itu berbaju jingga, masuk dan duduk di kursi depan, dekat sisi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sesekali ia tampak gelisah, menoleh ke kiri dan kanan, menanti persidangan.
Namanya Mana (45). Ia ibu Gijik, korban penembakan oknum Polisi saat aksi menuntut plasma PT. Hamparan Masawit Bangun Persada I (HMBP I) di desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), tanggal 7 Oktober 2023 lalu.
Mana duduk bersama 3 orang anggota keluarganya yang lain. Salah satunya, duduk di sebelah kanan, sambil memangku foto Gijik pada bingkai persegi panjang, pemuda yang kasus kematiannya disidangkan perdana hari ini (26/3/2024) di Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya.
“Saya harap pelaku dihukum seberat-beratnya, seumur hidup sampai mati,” kata Mana. Baginya kehilangan sang anak tak sebanding jika pelaku hanya dihukum kurungan penjara selama tiga sampai lima tahun saja.
Mana juga mengaku sudah melalui waktu panjang untuk sampai pada proses hari ini “Kami menunggu kurang lebih lima bulan sampai bisa disidangkan hari ini. Ini proses yang panjang,” tegasnya.
Sementara itu, ruang sidang semakin penuh sesak. Selain keluarga Gijik, banyak polisi dan jaksa juga yang hadir di sana. Beberapa anggota polisi berbaju hem juga sesekali terlihat seliweran menanyai nama dan asal beberapa orang. Untuk laporan katanya.
Sekitar pukul 09.55 WIB, Panitera meminta seluruh peserta sidang berdiri. Hakim Ketua, Muhammad Affan, S.H., M.H., masuk disusul dua orang Hakim Anggota, Yudi Eka Putra, S.H., M.H dan Sri Hasnawati, S.H. M.Kn. Sidang pun dimulai.
Lensa kamera dan gawai teralih, saat Hakim mempersilahkan terdakwa masuk ruang sidang. Rentetan jepretan dan sorotan menghujani setiap gerak-gerik Anang Tri Wahyu Widodo (48) terdakwa pelaku penembakan. Ia anggota polisi, jabatannya danki I bataliyon A pelopor Polda Kalteng.
Sidang pembacaan dakwaan oleh JPU ini berlangsung singkat, kurang lebih 30 menit. Meski menyatakan benar perbuatan terdakwa telah menghilangkan nyawa Gijik, namun dakwaan JPU lebih menekankan bahwa perbuatan itu dilakukan karena ketidaksengajaan saat Anang sedang melakukan tugas pengamanan massa.
“Kemudian terdakwa menembakkan ke arah kerumunan massa yang berjarak kurang lebih 96,8 meter dan bermaksud tidak membidik sasaran tertentu. Namun, terdakwa ketahui secara sadar bahwa senjata api dan magazin yang berisi amunisi karet jika diarahkan ke kerumunan massa dimungkinkan dapat terkena orang dan dapat menimbulkan luka orang tersebut,” baca Dwinanto Agung Wibowo, salah satu JPU terhadap isi dakwaan mereka.
“Kemudian setelah terdakwa menarik picu senjata apinya dan diarahkan ke kerumunan massa, terdakwa merasa bunyi hentakan senjata yang terdakwa gunakan berbeda seperti bunyi dan hentakan peluru karet. Kemudian segera terdakwa mengosongkan kamar senjata dan mengambil amunisi yang keluar dari kamar sejata tersebut dan terdakwa kembali ke posisi belakang. Lalu melakukan pengecekan, ternyata isi magazin warna kuning berisi amunisi tajam dan atas tembakan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut mengakibatkan saudara Gijik meninggal dunia,” lanjut Dwinanto.
Namun anehnya, jabaran kata-kata serupa justru dibacakan juga oleh Wagiman, salah satu JPU lagi. Jika dalam pembacaan Dwinanto, Gijik yang tertembak dan meninggal dunia. Lain lagi Wagiman. Seperti kalimat berulang, penjelasan dalam dakwaannya sama, namun korbannya adalah Taufik, salah satu saksi dalam kasus ini.
Memang benar Taufik juga menjadi korban penembakan, tapi tak sampai meninggal dunia. Namun, yang jadi pertanyaannya, mengapa kronolgisnya sama. Apakah mungkin peluru yang ditembakkan Anang, setelah menembus Gijik juga mengenai Taufik. Mugkinkan Anang melakukan penembakan lebih dari satu kali? Tapi kenapa tak disebutkan dalam dakwaan JPU? Atau, mungkinkah pelakunya tak hanya Anang?
Atas penjabaran dalam dakwaannya, JPU mendakwa Anang dengan dakwaaan primer Pasal 351 ayat 2 KUHP subsider 359 dan 360 KUHP. Terdakwa diancam hukuman paling lama hanya lima tahun. Inilah yang menjadi polemik.
Di luar gedung PN Palangka Raya, ada ratusan massa Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) dan Koalisi Solidaritas Untuk Bangkal yang menanti. Mereka menunggu keluarga Gijik keluar dan mengabarkan hasil sidang. Lengkap dengan atribut Dayak dan warna merah yang jadi lambang organisasi, tak henti-henti mereka teriakan orasi.
Sandi Saragih (28), advokat Lembaga Bantuan Hukum Palangka Raya, berdiri di tengah kerumunan massa mewakili koalisi dan keluarga Gijik. Ia sampaikan kabar yang tak terlalu menyenangkan itu. “JPU tak memasukan pasal yang kita sampaikan. Mereka mengabaikan perintah ‘tembak kepalanya’ oleh polisi yang terekam dalam video yang beredar,” ungkap Sandi lantang.
Kabar itu disambut riuh kecewa. Beberapa massa bahkan meneriakan umpatan kekesalan.
Sejak awal, keluarga Gijik dan koalisi tak sepakat dengan pasal dalam dakwaan JPU. Mereka menganggap pasal tersebut terlampau ringan. Mereka berharap JPU seharusnya memasukan Pasal 338 KUHP dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan 340 KUHP dengan hukuman 20 tahun penjara atau pidana mati atau seumur hidup terhadap terdakwa.
Namun, sampai persidangan hari ini ternyata isi dakwaan tak berubah. Pasal 338 dan 340 KUHP tak juga dimuat. Selasa depan, sidang akan kembali berlanjut dengan agenda kuasa hukum Anang akan menyampaikan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan.
Nampaknya, keadilan bagi Gijik harus menunggu lagi. Susahnya mencari keadilan. (P. Juliana)