Debat calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) Kalimantan Tengah (Kalteng) sudah dimulai. Pada debat perdana, isu pangan jadi yang cukup menonjol. Sayangnya, semua pasangan calon tampak begitu miskin gagasan dalam melihat isu pangan.
Pertarungan merebut kursi kepemimpinan di Kalteng resmi dimulai. Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini, ada 4 (empat) pasang calon yang bersaing. Debat publik pertama baru saja berlangsung (14/10/2024) dengan isu strategis nasional food estate menjadi salah satu topik utama.
Namun, jawaban para calon tampak tak memadai. Hal ini menciptakan kekhawatiran tentang kesiapan mereka dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang dihadapi provinsi ini.
Padahal, latar belakang cagub dan cawagub ini tak main-main. Pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Willy Midel Yosep mantan bupati Murung Raya (2003-2013) berpasangan dengan Ismail Bin Yahya mantan wakil Gubernur Kalteng (2016-2021) yang juga menjabat ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Kebangkitan Bangsa (DPD PKB) saat ini.
Paslon nomor urut 2, Nadalsyah atau Koyem mantan bupati Barito Utara (2013–2023) berpasangan dengan Supian Hadi mantan bupati Kotawaringin Timur (2010–2021). Agustiar Sabran kakak kandung dari gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, mantan anggota DPR RI (2019 – 2024) berpasangan dengan Edy Pratowo wakil gubernur Kalteng saat ini, menjadi paslon nomor urut 3. Terakhir, paslon nomor urut 4, Abdul Razak mantan wakil ketua DPRD Kalteng berpasangan dengan Sri Siswanto mantan Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Kalteng.
Dalam debat yang disiarkan langsung di saluran daring Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalteng, para paslon diberi kesempatan memaparkan program, visi, dan misi jika terpilih untuk lima tahun ke depan.
Siaran ini juga yang SOB saksikan. Saat moderator debat membuka amplop pertanyaan, ada harapan para paslon dapat memberikan jawaban berupa solusi yang nyata.
“Program Strategis Nasional (PSN). Salah satu PSN di Kalteng adalah food estate. Food estate adalah konsep pengembangan pangan terintegrasi yang meliputi pertanian, perkebunan, dan peternakan di sebuah kawasan. Contoh keberhasilan food estate di Kabupaten Pulang Pisau, Kecamatan Pandih Batu, Desa Gadabung, dan Belanti Siam berdampak positif dan menimbulkan potensi bagi desa tersebut untuk dijadikan destinasi wisata dengan konsep desa wisata. Pengembangan wisata yang baik adalah dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata, konsep ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya pariwisata,” Regina Valeria, moderator membacakan.
“Pertanyaanya ,apa strategi saudara dalam pengembangan pariwisata sebagai upaya untuk mengubah destinasi wisata menjadi lebih menarik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan asing?” lanjut Regina ke inti pertanyaan.
Di sinilah tak hanya jawaban para paslon kami telaah, tetapi juga pertanyaan yang diberikan. Penting untuk mempertanyakan apa yang menjadi rujukan dari para panelis dalam merumuskan pertanyaan ini.
Apa dasar yang digunakan untuk menghubungkan food estate dengan pariwisata? Bagaimana hubungan antara proyek food estate dengan pengembangan pariwisata di desa-desa tersebut? Apa dampak yang diklaim positif bagi desa-desa melalui proyek ini?
Beberapa tahun belakangan, SOB selalu mengamati proses dan perkembangan food estate. Jauh dari harapan, proyeknya justru banyak menimbulkan masalah yang tak diselesaikan hingga sekarang.
Sejak diluncurkan pada tahun 2020, kami belum melihat bukti nyata keberhasilan proyek ini. Data-data yang kami kumpulkan dari Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, dan Gunung Mas justru menunjukkan tidak tercapainya indikator keberhasilan.
Di Kabupaten Kapuas, luas lahan sawah berkurang dan produksi padi terus menurun. Sedangkan di Kabupaten Pulang Pisau, berdasarkan data yang kami kumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak ada perubahan yang signifikan baik mengenai luas lahan sawah maupun produksi padi selama proyek food estate dijalankan.
Menurut SOB, pertanyaan yang disusun oleh tim panelis tersebut tidak didasarkan pada realita bagaimana proses dan perkembangan proyek food estate di dilapangan. Padahal, para panelis yang adalah kaum akademisi mestinya lebih kritis dalam memandang topik ini.
Sebagai kelompok netral, sudah menjadi tugas mereka untuk menunjukan realita dilapangan, memberi kritik, dan masukan demi menghasilkan Pemerintahan dan kebijakan yang lebih baik di masa depan.
Hal lain juga tampak janggal bagi kami. Selain tak jelas konsep yang ditawarkan, jawaban dari para paslon juga terkesan tak beragam. Mungkin cari aman atau mereka tidak tahu tentang bagaimana sebenarnya proyek food estate dilaksanakan selama ini.
Semua jawaban cenderung klise. Seringkali mengungkapkan pernyataan “Kami akan mendukung,” tanpa memberikan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi di lapangan.
Contohnya jawaban dari Ismail Bin Yahya, cawagub nomor urut 1. “Kami akan mendukung program ini dan menjadikannya sebagai ekonomi berkelanjutan demi tercapainya Kalteng sejahtera,” katanya.
Ismail juga menambahkan bahwa ia dan pasangannya, Willy M. Yosep, akan membangun infrastruktur yang memadai di kawasan food estate. Hingga menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempuni.
“Kami akan memastikan infrastruktur untuk daerah food estate itu benar benar memadai. Kami juga akan menyiapkan SDM yang mempuni dan mempunyai daya saing dalam program pariwisata dengan guide-guide berpengalaman” lanjut Ismail.
Apakah paslon nomor urut 1 selama ini tak mengikuti perkembangan proyek food estate? Tidak tahukah mereka kalau proyek ini tidak memberikan hasil apa-apa dalam peningkatan produksi pangan Kalteng? Lalu ekonomi berkelanjutan apa yang ada dalam bayangan mereka? Siapa yang sejahtera?
Sayangnya tanggapan serupa juga disampaikan paslon nomor urut 2. Nadalsah mengatakan setuju PSN food estate dilanjutkan. Ia sepakat bahwa proyek ini perlu dijadikan sebagai destinasi wisata untuk menciptakan lapangan kerja baru.
“Menurut kami PSN ini memang perlu dilanjutkan. Jadi kami sangat sepakat kalau program food estate ini menjadi destinasi wisata di Kalteng. Nanti kita ciptakan apa saja yang bisa menarik pengunjung datang ke tempat tersebut,” kata Nadalsah.
Supian Hadi, cawagub Nadalsah bahkan memperkuat pernyataan cagubnya itu. “Dengan adanya IKN yang pindah ke Kalimantan Timur, Kalteng otomatis akan menjadi daerah ketahanan pangan. Banyak lahan di Kalteng yang bisa dicetak untuk dijadikan sawah,” jelas Supian.
Menjadikan proyek ini sebagai destinasi wisata saja sudah cukup menggelikan. Ditambah lagi dengan memperbanyak cetak sawah untuk ketahanan pangan. Tidakah Pemerintah belajar dari kegagalan di masa lalu, yang menyebabkan kerusakan bagi ekosistem gambut dan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Jauh dari niat untuk memperbaiki gambut yang selama ini dieksploitasi, wacana memperbanyak cetak sawah jelas tak mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Jangan-jangan malah para paslon memang belum memiliki perspektif lingkungan.
Tak ketinggalan, Edy Pratowo cawagub dari pasangan nomor urut 3 juga turut setuju dengan jawaban-jawaban yang ada. Tidak mengherankan memang. Ia sendiri masih menjabat sebagai wagub Kalteng saat proyek ini dijalankan. Entah berhasil atau tidak, ia tak mungkin mengkritik dirinya sendiri.
“Food estate ini dimulai pada tahun 2017, saat itu gubernur mengadakan rapat koordinasi nasional dengan presiden untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Program ini telah meningkatkan produksi pertanian dari 3,5 ton menjadi 6 ton per hektar,” ungkap Edy.
Ia menambahkan bahwa dengan adanya proyek ini juga, banyak infrastruktur seperti listrik, jalan, dan jembatan telah dibangun. “Harapannya, food estate bisa menjadi tujuan wisata dengan membangun area sekitar sawah sebagai kawasan destinasi,” lanjutnya.
Menurut kami, klaim Edy cukup memicu kontroversi. Sebab, sudah banyak media lokal, nasional, sampai internasional yang justru memberitakan kegagalan food estate. Berita harian Kompas tanggal 3 Oktober 2024 dengan judul Sebagian Petani ”Food Estate” di Kalteng Gagal Panen, menunjukan kegagalan petani food estate di Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau. Dalam berita ditulis bahwa, Misdiana (49) hanya panen 10 kilogram (kg) gabah kering dari lahan 1 hektar milikya. Padahal benih padi yang ia tanam hampir 100 kg. Hasil ini tentu jauh dari klaim yang disampikan Edy.
Jawaban paslon nomor urut 4 juga tak bisa diharapkan. Abdul Razak sepakat dengan pendapat para paslon lainnya. “Kami sependapat dengan paslon 2 dan 3 bahwa food estate ini sangat penting, mengingat Indonesia kekurangan beras dan Kalteng adalah daerah penyangga IKN di Kalimantan Timur,” jelas Razak.
Meski memang Razak juga menyampaikan sedikit kekurangan pada proyek tersebut. Namun, tak esensial. “Kekurangan yang terjadi di lokasi food estate, khususnya di Pulang Pisau, perlu kita perbaiki, baik dari segi sarana jalan maupun sarana lainnya,” katanya.
Sangat disayangkan. Jawaban dan tanggapan dari para paslon hanya berfokus pada food estate dan pariwisata. Padahal apa relevansinya?
Harusnya ide-ide brilian, inovatif, dan solutif yang mereka paparkan. Bukannya bersepakat tanpa debat yang berbobot. Negara kita demokratis, apa gunanya bila semua pemimpin punya pemikiran sama. Apalagi jika hanya tunduk pada suatu kekuasaan tertentu.
Lucunya lagi, istilah food estate bahkan tak lagi dipakai. Food esatate telah selesai di masa pemerintahan presiden Jokowi. Lalu, mengapa debat ini masih membahas topik ini? Seharusnya, debat ini menjadi momen bagi para paslon untuk menyampaikan gagasan dan konsep yang lebih luas dalam menangani masalah pangan di Kalteng.
Di Kalteng, terdapat konsep ketahanan pangan yang telah diterapkan oleh masyarakat Dayak sejak dahulu. Berladang namanya. Konsep seperti ini yang seharusnya ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi ancaman krisis pangan.
Meski didominasi padi, namun ladang memungkinkan adanya keragaman pangan dengan ditanamnya juga sayur-sayuran, buah-buahan, dan kayu-kayuan di lahan. Praktek ini bahkan ramah lingkungan dibandingkan pembukaan hutan untuk proyek food estate di Kabupaten Gunung Mas seluas kurang lebih 600 hektar.
Dibandingkan pula dengan food estate, berladang terbukti mampu memenuhi kebutuhan masyarakat hingga saat ini. Selama prakteknya masih berlangsung, tak pernah ada cerita masyarakat Dayak kelaparan.
Selain sebagai sumber pangan, berladang merupakan tradisi penting bagi masyarakat Dayak, yang mengandung nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritual. Jika kita mengaitkannya dengan ketahanan pangan dan pariwisata, berladang sebetulnya lebih cocok dijadikan model untuk keduanya. Hal ini karena praktik berladang tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga dapat menarik minat wisatawan yang ingin mengenal lebih dalam budaya dan tradisi lokal.
Masalahnya, apakah para paslon ini peduli dengan praktek peladangan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalteng selama ini?
Istilah Baru Proyek Pangan Pemerintah Pengganti Food Estate
Gagal menyelesaikan food estate, Pemerintah pusat kini malah mengganti istilahnya menjadi Optimasi Lahan (oplah) dan Cetak Sawah. Nama baru ini sejalan dengan berakhir dan bergantinya masa kepemimpinan presiden Jokowi ke Prabowo.
Serupa atau mungkin memang sama saja, tetapi perbedaan antara food estate dengan oplah dan cetak sawah ada pada jenis komoditas dan luas target lahannya. Dalam food estate, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan penanaman padi di area seluas 165.000 hektar, khususnya di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Selain itu, juga ada proyek singkong yang ditargetkan seluas 32.000 hektar di Kabupaten Gunung Mas oleh Kementerian Pertahanan.
Sementara dalam proyek oplah dan cetak sawah, pemerintah melalui Kementerian Pertanian akan menanam padi dengan luas target mencapai 3 juta hektar secara nasional. Dari target tersebut, di Kalteng ada sekitar 621.684 hektar yang mencakup Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, Kapuas, dan Palangka Raya.
Jika dilihat dari tren ketahanan pangan dalam lima tahun terakhir, Indeks Ketahan Pangan (IKP) Kalteng terus turun. Pada tahun 2019, Kalteng menempati peringkat ke-14 dengan IKP 71,57. Sedangkan, pada tahun 2023 Kalteng berada di peringkat 28 dengan IKP 68,90.
Sejalan dengan penurunan IKP tersebut, dilihat dari luas panen dan produksi padi terjadi penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2019, produksi padi Kalteng sebanyak 443.561 ton dari luas lahan 146.145 hektar. Sedangkan, pada tahun 2023 produksi padi kalteng hanya 334.733 ton dari luas lahan 101.093,4 hektar. Selama periode tersebut penurunan produksi telah mencapai 109 ribu ton atau rata-rata 22 ton per tahun.
Berdasarkan data produksi padi tersebut, maka terlihat jelas bahwa proyek food estate yang berjalan selama beberapa tahun ini, tidak berdampak apa-apa dalam mengatasi ancaman krisis pangan. Mestinya luasan target food estate dan produksi padi yang hendak dicapai dalam proyek menghasilkan peningkatan pada luas area panen dan produksi padi khususnya di Kalteng. Namun, hal ini tak terjadi.
Proyek food estate perlu dievaluasi secara menyeluruh. Diperlukan kajian yang memadai terkait masalah-masalah yang muncul, termasuk kesesuaian lahan. Meskipun tujuan untuk ketahanan pangannya sangat baik, namun tanpa kajian dan perencanaan yang matang, kita hanya akan mengulangi kegagalan proyek-proyek pangan sebelumnya.
Ketika berbicara tentang pangan dalam konteks Kalteng, seharusnya kita juga tak hanya fokus pada food estate atau proyek-proyek sejenisnya. Berladang, konsep ketahanan pangan dengan kearifan lokal masyarakat Dayak, harusnya juga dipertimbangkan.
Jika food estate memiliki batas waktu, tetapi berladang tidak. Proyek akan berakhir ketika anggrananya habis. Sedangkan, berladang akan terus dilakukan dan menjadi bagian penting dari hidup orang Dayak.
Para petani dan peladang akan tetap bertani, terlepas dari ada atau tidaknya proyek ini. Namun, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dukungan dan perlindungan pemerintah kepada mereka selama ini? Apakah kebijakan pangan pemerintah telah mendengarkan keluhan dan tantangan yang mereka hadapi?
Hal-hal ini yang seharusnya menjadi salah satu tugas utama untuk dibenahi bagi siapapun cagub dan cawagub terpilih Kalteng nantinya. (M. Habibi)