“Hutan lebih baik dikelola masyarakat adat.” Kalimat itu diserukan oleh masyarakat di Kelurahan Petuk Bukit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Sabtu (5/8/2023). Seruan itu menunjukkan gairah masyarakat adat mengelola tanah leluhurnya sekaligus refleksi akan kondisi sumber daya alam di Kalimantan.
Aksi itu dilakukan bersama pegiat lingkungan Save Our Borneo (SOB) untuk memperingati hari Masyarakat Adat Sedunia yang diperingati setiap tanggal 09 Agustus. Aksi itu dilakukan di atas tanah leluhur mereka dengan membentangkan spanduk bertuliskan seruan di atas.
Sejauh ini, SOB belum pernah menemukan praktek pengelolaan hutan sebaik kearifan lokal yang dipraktekkan oleh masyarakat adat. Ketika di suatu daerah didiami masyarakat adat, maka disitu pula kita bisa temukan hutan yang hijau dan air yang bersih. Hal itu dikarenakan masyarakat adat melihat sumber daya alam khususnya hutan, tidak hanya dari aspek ekonomi saja, tetapi juga dari aspek sosial-budaya serta religius.
Dalam kehidupan masyarakat Dayak Tomun di desa Kubung, SOB menemukan suatu kearifan lokal yang dipraktekan secara turun temurun oleh masyarakat setempat. Dalam hal memanen madu lebah misalnya. Sebelum memanjat pohon tampang atau pohon madu, mereka mengawalinya dengan sebuah ritual.
Begitu pula yang mereka praktekan dalam berladang. Sebelum membuka ladang maupun saat hendak panen, ada ritual yang selalu mereka laksanakan. Selain meminta izin kepada leluhur, dalam ritual tersebut terdapat harapan dan ucapan syukur kepada sang pencipta.
Selanjutnya, ketika musim panen sudah selesai, ladang-ladang tersebut mereka tanam kembali dengan berbagai jenis bibit pohon seperti durian, jengkol, langsat, dan berbagai jenis pohon buah lokal lainnya. Sehingga dalam beberapa tahun kemudian ladang-ladang tersebut menjadi hutan kembali. Kearifan lokal sebagaimana yang dipraktekan masyarakat dayak Tomun di desa Kubung ini, dapat pula kita temukan dalam kehidupan masyarakat adat di berbagai daerah di Kalimantan.
Sebaliknya, SOB mendapati situasi yang berbeda ketika suatu daerah di Kalimantan sudah ada perizinan dan proyek skala besar yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain memicu terjadinya konflik tenurial, berbagai perizinan dan proyek yang dikeluarkan pemerintah justru memperparah kerusakan lingkungan dan sumber daya alam kita.
Dari data Map Biomas Indonesia, kita bisa melihat bagaimana kondisi hutan Kalimantan sejak tahun 2000 sampai 2019. Selama periode tersebut, luas kehilangan hutan Kalimantan mencapai 4,92 juta hektar atau setara dengan 67 kali luas negara Singapura.
Hilangnya jutaan hektar hutan Kalimantan tersebut dikarenakan adanya alih fungsi hutan untuk industri perkebunan, pertambangan, dan industri bubur kertas atau HTI. Selain itu, diperparah pula dengan adanya perubahan fungsi hutan untuk pembangunan proyek strategis nasional di bidang pertanian, infrastruktur, dan juga energi.
Kondisi itu pula lah yang menyebabkan kualitas dan kapasitas lingkungan kita semakin lama semakin menurun, sehingga menyebabkan terjadinya krisis iklim dan berbagai dampaknya seperti banjir, meningkatnya suhu bumi, kebakaran hutan dan lahan. Kita masih ingat dengan kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 dan tahun 2019 silam, yang menimbulkan kerugian begitu besar kita, tidak hanya dari aspek lingkungan, tapi juga dari ekonomi dan kesehatan.
Tentu kita tidak menginginkan kondisi tersebut terus berlangsung. Sehingga upaya pencegahan dan pemulihan menjadi penting untuk dilakukan, agar kerusakan alam dan lingkungan di Kalimantan tidak semakin parah.
Untuk itu, sebagai pihak yang menerima langsung dampak dari kerusakan alam dan lingkungan di Kalimantan saat ini, serta memikirkan keberlangsungan kehidupan generasi manusia Kalimantan dimasa yang akan datang, kita perlu mengingatkan pemerintah untuk menghentikan segala kebijakan yang dapat memperparah kerusakan tersebut. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu mendukung pratek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat beserta perjuangan mereka dalam memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara. (HBB)