Terik matahari membakar kulit ratusan pengunjuk rasa yang berpaling dari kantor Bupati Lamandau, Kalteng. Mereka memilih pulang usai orang nomor satu itu, Hendra Lesmana, enggan mendengarkan meski sempat bertemu. Mereka kembali ke Kinipan, wilayah adat yang diperjuangkan karena habis diancam PT. Sawit Mandiri Lestari.
Dalam balutan warna kulitnya yang cokelat, tidak terlihat lagi apakah wajahnya memerah karena sengatan matahari. Lebih dari dua jam lamanya ia sudah mandi cahaya. Namun, peluh yang mengalir searah garis keriput serta mata layu berkaca-kacalah yang justru ia tampakan jelas.
“Saya kecewa mba,” katanya pada saya yang berdiri tepat disampingnya setelah mendengar pernyataan dari pemimpin Kabupaten Lamandau. Bapak ini adalah satu dari sekian banyak warga desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, yang ikut aksi di depan Kantor Bupati Lamandau, Kalteng pada Rabu, 8 Januari 2020.
Tentu saja ia bukan satu-satunya orang yang kecewa hari itu, semua peserta aksi mengaku kecewa. Beberapa ibu-ibu bahkan meneriakkan kekesalannya, “kami tidak terima!”
Sejalan dengan itu, kamera saya masih tetap menyala menangkap momen saat Hendra Lesmana berjalan masuk diikuti pintu gerbang yang tertutup rapat. Ia terus berjalan tegap tanpa menoleh apalagi berniat menggubris suara-suara sumbang dari peserta aksi.
Meskipun Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, segera menyambar mikropon dan meminta agar Bupati mendengar terlebih dahulu aspirasi mereka, tetapi semua berujung nihil. Suara lantang dan frontalnya seperti hilang dibawa angin. Tampaknya pernyataan sang Bupati tidak bisa diganggu gugat.
Pernyataan sepihak tanpa mendengar suara pengunjuk rasa ini sangat tidak bisa diterima oleh warga Kinipan dan 28 orang warga Batu Tambun yang ikut dalam aksi. Sebab, Batu Tambun juga merasa dirugikan terkait penggantian rugi lahan dan plasma yang sampai hari ini tidak dilaksanakan PT. SML.
Sedangkan, pernyataan Bupati dinilai sama sekali tidak memberikan solusi. Dengan mengatakan PT. SML telah memiliki ijin legal, ia meminta masyarakat sendiri menyelesaikan konfliknya melalui jalur hukum. Ia bahkan mengharapkan agar warga yang kontra terhadap PT. SML tidak mengganggu warga yang pro.
Ia juga menyatakan bahwa, “tidak ada satu surat pun yang diminta kepada Bupati dari Kementrian agar mencabut kegiatan tersebut, tidak ada. Orang yang diundang investasi, diundang untuk menanam modal di situ tidak bisa kujuk-kujuk dengan tuntutan bapak-bapak, saya suruh berhenti, saya suruh mereka tidak berkegiatan. Tidak ada dasar.”
Selain itu, enklave justru disarankan oleh Bupati kepada masyarakat apabila memang belum menemui jalan keluar. Namun, sampai akhir tidak ada sama sekali pernyataan beliau yang mengatakan bahwa pemerintah akan hadir pada proses penyelesaian kasus ini. Tidak ada garansi dan solusi, tetapi warga tidak kehilangan arah. Seorang tetua Kinipan bahkan masih dengan lantang mengatakan, “kami tetap maju.”
Desakan lain pun muncul dari massa, “kami minta Mandau yang pernah kami berikan ke DPR itu dikembalikan!” Kepada Kapolres, Effendi mewakili warga Kinipan meminta benda sakral itu segera dikembalikan.
Bagi mereka Mandau berarti nyawa. Dengan menyerahkan Mandau kepada DPR waktu itu, sama artinya mereka menyerahkan nyawa kepada pemerintah. Namun, nyatanya pemerintah gagal melindungi nyawa warganya sendiri. Perjuangan merebut dan mempertahankan wilayah adat rupanya harus mereka lakukan dengan cara mereka juga.
“Bupati bilang enklave, ya kita enklave saja. Kita yang ke sana (ke perusahaan),” kata Effendi kepada rekan-rekannya yang lain. Tidak ada lagi yang mereka tunggu di depan pintu gerbang yang masih dijaga para aparat itu.
Anggaplah hari ini mereka ijin ke Pemerintah Daerah atau setidaknya mereka sudah mengabari pemerintah tentang konflik mereka dengan PT. SML yang tak kunjung usai. Bahkan, ketika pemerintah tidak dapat membantu sekalipun, setidaknya, mereka pun ijin bahwa mereka akan tetap berjuang menyelesaikan ini dengan cara dan pertimbangan mereka sendiri.
Atas posisi dan sikap yang diambil Bupati Kabupaten Lamandau pada saat aksi tersebut, warga Kinipan sadar tidak lagi bisa berharap banyak. Warga telah Kehilangan kepercayaan kepada Pemerintah Daerehnya sendiri, sungguh menjadi ironi ditengah bangsa yang begitu menjunjung tinggi isi sila kelima dalam Pancasila.
Jika seluruh warga Negara Indonesia mengalami hal yang sama dengan Kinipan, lantas kepada siapa lagi harus berharap? Karenanya, selama pemerintah lepas tangan akan tanggung jawabnya, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul Kinipan-Kinipan yang lain di Negara ini.
Sementara itu, bagi Kinipan, aksi hari itu menjadi aksi terakhir mereka menyambangi kantor pemerintah di Kabupatennya. Gerbang kantor Bupati Lamandau yang tertutup rapat bagi mereka sudah cukup menggambarkan respon pemerintah.
Mereka pun ijin pulang. Kedepan mereka sendiri yang akan bertanggung jawab atas setiap perbuatan dan perlawanan yang mereka lakukan ke PT. SML.
Hal terakhir yang mereka ucapkan seraya berjalan pergi adalah, “Kami Pamit!”
(PNR_SOB-Jan2020)