Dari depan, saya melihat mata James Watt dan Dilik basah dan merah, menatap lurus ke layar dimana sang pemberi putusan siap mengetuk palu. Emosinya mereka tahan, saat si wakil Tuhan memutuskan keduanya bersalah.
Sidang keduabelas bagi James Watt dan Dilik digelar pada hari Senin (15/06/2020) lalu. Namun, layaknya sebuah kasus besar dengan keduanya adalah tahanan kelas berat, para polisi bersiaga di dalam hingga luar gedung aula Polisi Sektor Kotawaringin Timur (Polres Kotim).
Mulai dari yang berstatus Sabara sampai Perwira, hingga entah untuk maksud apa polisi lalu lintas (Polantas) juga hadir di aula tempat sidang online tersebut berlangsung. Atmosfir yang tidak biasa membuat saya sedikit curiga sidang kali ini bisa jadi bukan sidang yang saya dan teman-teman idamkan.
Namun, animo warga desa Penyang dan keluarga tidak surut untuk mendukung kebebasan keduanya yang dijerat Pasal 107 huruf d UU Perkebunan jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Mereka dituduh sebagai penyuruh dan pelaksana pemanenan buah sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (PT. HMBP).
Sambil menunggu satu dari ketiga Majelis Hakim selesai membacakan putusan pertimbangan, saya iseng menghitung berapa banyak orang yang ada di ruangan ini. Total ada lebih dari lima puluh orang, belum termasuk puluhan warga dan keluarga yang dilarang masuk pihak Polres dengan alasan kapasitas ruangan penuh.
Kursi-kursi yang disusun berjarak memang semuanya terisi bahkan kurang. Saya saja sesekali harus berdiri dan duduk di anak tangga panggung sambil mendokumentasikan berjalannya sidang putusan hari itu. Terselip perasaan haru, saat saya memperhatikan wajah-wajah warga yang datang.
Meski tertutup masker, ada mata-mata penuh harap dan cemas yang mereka pancarkan. Beberapa anak yang ikut juga terlihat sesekali memandangi orang tuanya disebelah. Saya yakin mereka belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka tahu ada hal penting yang sedang mereka tunggu.
Ditengah situasi pandemik Covid-19, tentu tidak mudah bagi mereka memutuskan untuk hadir. Namun, rasa senasib sepenanggungan itu membangkitkan keberanian mereka. Saya paham mereka semua jelas punya doa yang sama, yakni kebebasan murni bagi James dan Dilik.
Bagi kami; saya, kawan-kawan, dan warga, James dan Dilik tidak pernah bersalah. Keyakinan ini tetap kami pegang sampai akhir.
Sementara itu, selama pembacaan pertimbangan putusan oleh salah seorang Hakim, sebenarnya saya tidak terlalu yakin dengan apa yang saya dengar. Suara sound terlalu menggaung nyaring, namun tidak jelas bunyi kata perkatanya. Kami seperti meraba-raba, sambil berusaha keras memicingkan telinga.
Sampai bagian menegangkan itu tiba. Suara AF Joko Sutrisno, sang Hakim Ketua terdengar. Perasaan saya gugup. Bayangkanlah bagaimana perasaan James dan Dilik?
“Mangadili,” katanya memulai. “Satu, menyatakan terdakwa Dilik alias Bapak Alvin bin Asip telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah…” Sampai pada kalimat ini, saya berhenti mendengarkan.
Sontak saya menatap kearah Dilik. Ia diam tetapi matanya mulai berkaca-kaca. Jari-jari tangannya ia tautkan di depan tubuhnya. Kedua kakinya berhenti bergerak. Ia membatu di kursinya.
Kemudian, sayup-sayup pembacaan putusan kembali saya dengar “…Menyatakan terdakwa James Watt alias James,” lanjut Ketua Majelis “Bin Atie telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyuruh melakukan perbuatan secara tidak sah memanen hasil perkebunan…”
Sama seperti sebelumnya, kalimat selanjutnya tidak penting lagi bagi saya. Kata “bersalah” yang dinyatakan hakim mengunci tatapan mata saya kepada James.
Raut mukanya yang lelah terlihat semakin pasrah. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun, sesekali ia terlihat berusaha tegar dengan menarik nafas, mencoba menenangkan dirinya. Sementara, Dilik masih terdiam.
Saya pun kembali menyapu pandangan saya menjelajah setiap jengkal ruangan. Kecuali para Polisi, raut sedih dan kecewa yang saya dapati. Batin saya pun sepakat dengan mereka. Rasanya ada yang salah.
Atas putusan itu, James dihukum sepuluh bulan penjara dan Dilik dihukum delapan bulan penjara. Masing-masing keduanya juga harus membayar denda sebesar lima ribu rupiah. Putusan ini hanya lebih ringan beberapa bulan dari tuntutan satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebelum menutup sidang, si wakil Tuhan memberikan kesempatan bagi James dan Dilik untuk menanggapi hasil putusan. Mereka bisa memilih untuk menerima putusan begitu saja, mengajukan banding hari itu juga, atau memikirkannya dulu selama tujuh hari.
Batin saya, tentu putusan ini tidak adil. Mengingat dalam fakta-fakta di persidangan, tidak ada satu pun bukti maupun saksi yang berhasil menyatakan keduanya bersalah. Tidak mungkin James dan Dilik menerima putusan ini begitu saja.
Meski begitu, akhir tak terduga yang kami dapatkan. Jawaban yang diberikan Dilik saat itu mengejutkan kami semua. “Saya menerima Yang Mulia,” katanya. Dan, hanya James yang memberikan jawaban untuk memikirkan putusan ini selama tujuh hari.
Pertanyaan “kenapa?” yakin tidak hanya muncul di kepala saya saat itu, tetapi juga warga dan kawan-kawan lain. Namun, saya mencoba fokus kembali kepada tugas saya untuk mendokumentasikan.
Dari depan, masih dapat saya lihat jelas mata James Watt dan Dilik basah dan merah, menatap lurus ke layar dimana sang pemberi putusan siap mengetuk palu. Emosinya tetap mereka tahan, saat si wakil Tuhan akhirnya mengetukkan palunya dan menutup sidang hari itu.
Seketika suasana riuh. James berkordinasi dengan kedua penasehat hukumnya (PH), tetapi Dilik tidak bergeming. Sampai salah seorang kawan menghampirinya, barulah ia berdiri dan berbicara dengan beberapa orang kawan lain dan keluarganya.
Tapi saya masih penasaran. Pertanyaan “kenapa” sangat ingin saya tanyakan ke Dilik hari itu juga. Maka saya pun memutuskan menghampiri Dilik.
Sementara kawan-kawan lain menyalami James dan memberikan semangat untuknya, saya berbincang singkat dengan Dilik. “Semangat ya pak,” hanya kata itu yang pertama kali dapat saya ucapkan ketika dari dekat melihat betapa sedihnya raut wajah Dilik.
“Saya hanya tidak tahan kalau dipenjaranya di Polres. Tolong minta pindahkan saya ke Lembaga kalau memang harus ditahan,” katanya kepada saya spontan. Saya pun jadi terdiam, menunda bertanya.
“Disini kapasitanya kan hanya 50 orang, tetapi yang masuk sudah lebih dari seratus. Saya nggak sanggup kalau disini mba,” katanya lagi kepada saya. Saya bingung mau merespon apa. Wajah sedihnya dengan mata berkaca-kaca, membuat saya juga kehilangan kata-kata.
“Makan juga susah disini. Tolong pindahkan saja saya,” katanya lagi mengulang. Saya sebenarnya tidak tahu mau menjawab apa. Sepengetahuan saya, selama masa pandemik ini Lembaga Pemasyarakatan (LP) memang tidak boleh menerima tahanan baru. Kenyataan bahwa Dilik hanya akan ditahan di Polres tidak sanggup saya sampaikan.
“Lebih baik nanti Bapak sampaikan saja ke PH. Mungkin PH bisa usahakan ya pak,” jawab saya akhirnya. Ia terlihat hanya mengangguk dan sesekali menahan sedihnya dengan menunduk.
“Pak,” kata saya lagi. “Waktu bapak jawab menerima tadi, bapak sudah berpikir matang-matang ya?” tanya saya kemudian memberanikan diri. Ia menatap saya tetapi masih diam. Saya pun hanya bisa menunggu jawabannya saja.
“Itu…” katanya. “Masih ada waktu tujuh hari kan mba untuk berpikir?” katanya bertanya balik ke saya. Mendapati pertanyaannya ini, sebenarnya saya kaget tetapi berusaha tenang.
Masalahnya, Dilik sudah menjawab “menerima” langsung saat di persidangan tadi. Jawabannya pasti telah dicatat oleh Panitera. Apakah masih dapat diubah? Saya benar-benar tidak tahu harus memberi jawaban apa.
Wajah Dilik kemudian terlihat kalut namun pasrah. Mungkin saja dia menangkap ekspresi kaget saya. “Bapak, coba berkonsultasi ke PH dulu saja ya…semoga masih bisa untuk dipikirkan,” kata saya kemudian.
Ia mengangguk-angguk singkat, tetapi saya yakin jawaban ini pasti tidak memuaskannya. Kemudian salah seorang PH menghampiri Dilik, dan saya pun mundur menepi.
Mata saya memang memperhatikan setiap orang dalam ruangan yang berbincang dan menyalami keduanya, tetapi pikiran saya masih memikirkan pertanyaan Dilik tadi. Masih bisakah Dilik menarik jawabannya dan mengubahnya menjadi berpikir selama tujuh hari?
Mengingat wajah kalutnya tadi, saya jadi membanyangkan bisa saja saat menjawab di persidangan tadi pikirannya tidak panjang. Mungkin saja waktu itu ia putus asa. Mungkin juga ia sudah lelah, tetapi belakangan ia baru sadar dan menyesali jawabannya. Banyak kemungkinan, tetapi bisakah mengubah?
Setelah semua itu, saya dan kawan-kawan dari Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang; terdiri dari berbagai Lembaga bukan pemerintah (NGO) lokal dan nasional, serta para penasehat hukum, rehat sejenak. Hari ini terasa melelahkan, terutama karena putusan yang diberikan Hakim Pengadilan Negeri Sampit.
Satu hal yang kami sadari adalah keadilan di Negara Republik Indonesia ini masih mahal. Si miskin belum bisa menang dari si kaya, begitupun masyarakat belum bisa menang dari perusahaan. Hati nurani para penegak hukum pun belum bisa mengalahkan kuatnya kekuasaan. Keadilan seakan mati disini.
Padahal masih segar diingatan kami apa yang hakim ketua pernah sampaikan saat di persidangan kelima. Ia dengan lantang menyatakan berkomitmen adil terhadap persidangan James Watt dan Dilik.
“Insya Allah, demi Allah, saya Muslim,” katanya. “Penegakan hukum akan berjalan dengan baik. Karena sesungguhnya Tuhan itu Maha tahu apa yang tersembunyi di hati kita, di hati para saksi, di hati para terdakwa, di hati kita semua. Saya yakin Tuhan itu Maha tahu. Jadi itu komitmen kami.”
Atas nama Tuhan ia sudah berkomitment, tetapi sayangnya kebenaran ternyata masih abu-abu di pandangan mata dan hatinya. Fakta-fakta persidangan pada akhirnya ia bantah sendiri. Kata-katanya bahwa, “Tidak selamanya perusahaan itu menang,” nyatanya hanya penghibur saja selama masa persidangan.
Kami terlanjur berharap, terutama James Watt dan Dilik. Mereka juga berharap kebebasan mereka paling tidak dapat menghibur Hermanus, Almarhum kawan mereka yang harus gugur sebelum dapat menyelesaikan semua persidangan.
Namun, nyatanya bahkan nyawa seorang manusia pun tidak berharga untuk mengalahkan perusahaan yang berkuasa. Nampaknya, benar Negeri ini sedang sakit jiwa.
Tetapi saya ingat apa yang pemimpin saya pernah sampaikan. “Kita akan terus berjuang sampai akhir,” kata Safrudin, Direktur Save Our Borneo, tempat saya bernaung. “Kita akan terus dukung upaya termasuk banding yang akan dilakukan James Watt,” lanjutnya.
Posisi kami jelas. Semoga para penegak hukum pun bisa begitu.
Akhirnya, dalam perjalanan pulang sambil merenungkan hasil putusan itu, ada satu hal yang terlintas di pikiran saya. Apa kabar para hakim, para wakil Tuhan itu? Apakah mereka masih dapat tidur nyenyak setiap malam? Ah, sayangnya James Watt dan Dilik pasti tidak seberuntung mereka. (PNR-SOB)