“Kalau saya salah, jangan sekali pun hati Bapak Hakim iba terhadap saya. Tetapi sebaliknya, jika saya benar, Bapak sudi kiranya memutus bebas perkara ini.”
-Willem Hengki, 6 Juni 2022, Sidang Pembacaan Pledoi-
Saya tidak bisa pungkiri bahwa kalimat yang diucapkan Willem Hengki, kades Kinipan, saat sidang pembacaan pledoinya masih membekas diingatan saya. Rasanya merinding dan takut pada saat bersamaan. Mengingat kasus yang ia hadapi ini sangat besar resikonya.
Dua kalimat yang ia ucapkan terbilang cukup berani. Meskipun kita semua tahu, kasus yang dihadapi Willem sebenarnya murni kriminalisasi, tetapi dikemas sedemikian rupa menjadi korupsi. Malang nasib Willem, begitu pun masyarakat Kinipan. Di tengah perjuangan mereka, satu lagi permasalahan hukum harus mereka hadapi.
Namun, saya mengagumi mentalnya. Ia paham betul bahwa ia tidak bersalah. Dua kalimat ini membuktikan ia tidak takut terhadap hasil persidangan. Seburuk atau sebaik apa pun, Willem yakin ia benar. Kebenaran yang diyakini Willem ini, juga menjadi keyakinan masyarakat Kinipan sejak awal.
Keyakinan mereka juga yang kembali membawa saya hari ini ke gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng). Tepatnya, pada hari Rabu tanggal 15 Juni 2022. Hari ini, sidang terakhir Willem digelar. Agendanya pembacaan putusan dari Majelis Hakim.
Bersama kawan-kawan dari tim media Save Our Borneo dan seorang teman dari media Nasional, pukul 07.00 WIB kami telah sampai di sekitar area gedung pengadilan. Kami memarkirkan kendaraan di area gedung lain yang tak jauh dari pengadilan.
Saya dan seorang kawan berjalan duluan, sementara yang lain masih bersiap. Kami berdua memang harus bergegas karena mendapat bagian meliput di dalam ruang sidang. Sambil menenteng alat dan menggendong ransel, kami melangkah cepat.
Tiba-tiba langkah saya terhenti sesampainya di area depan gerbang barat gedung pengadilan. Biasanya, saya masuk melalui gerbang ini dengan motor. Namun, kali ini tidak ada celah. “Terlambat,” gumam saya. Puluhan manusia beratribut merah telah mengepung depan gerbang yang terkunci rapat itu.
Mereka berpakaian atribut adat Dayak lengkap. Memakai ikat kepala dan selendang merah, serta aksesoris lainnya. Beberapa juga membawa obor. Tidak lupa Mandau, pedang orang Dayak, mereka sampirkan di pinggang. Tidak hanya sebagai senjata, Mandau juga lambang dan kebanggan suku Dayak. Meski didominasi warna merah, ada juga warna kuning dan hitam yang mereka kenakan.
Mereka disebut Pasukan Merah yang berada dibawah payung organisasi masyarakat (ormas) bernama Tariu Borneo Bangkule Rajang (TBBR). Meski berpusat di kota Singkawang, Kalimantan Barat, namun keberadaan anggota yang dipimpin oleh Panglima Jilah atau akrab disapa PJ ini tersebar di seluruh Kalimantan.
Kami tidak bisa menembus gerbang barat, terlalu banyak massa di sana. Kami mecoba mencari alternatif jalan lain. Masih ada satu gerbang; gerbang timur. Berjalan diantara ratusan kerumunan yang tersebar, kami sangat berharap bisa menembus masuk ke dalam kali ini.
Dalam perjalanan ke gerbang timur, kami bertemu beberapa masyarakat Kinipan. Hampir saya tidak kenal. Mereka berbaur dengan massa, menggunakan atribut merah juga. Solidaritas Pasukan Merah terhadap kasus Kinipan memang sangat tinggi. Sebagian besar masyarakat Kinipan adalah anggota dan simpatisan TBBR, termasuk sang kades. Satu pasukan, satu komando, satu saudara.
Menurut cerita dari masyarakat, para Pasukan Merah ini datang dari berbagai wilayah di Kalteng. Saat itu, belum sepenuhnya massa aksi sampai di lokasi. Masih ada ratusan lagi. Artinya, akan ada ribuan manusia yang mengelilingi gedung Pengadilan Tipikor.
Tidak punya banyak waktu lagi sebelum massa semakin padat. Kami harus bisa masuk melalui gerbang timur. “Permisi, saya ijin lewat,” kata-kata ini yang terus saya ucapkan sambil menerobos kerumunan massa. Mereka membiarkan kami lewat, hingga sampai di depan gerbang timur.
Di depan gerbang, antara kerumunan dan Polisi yang berjaga, ada meja yang diatasnya telah ditaruh dupa, beberapa ekor ayam dan sesajian. Saya paham itu akan digunakan untuk ritual.
“Ijin Pak Polisi, saya mau masuk meliput,” kata saya. Saya menunjukkan kartu pengenal media saya ke seorang petugas, mereka pun membukakan jalan. Saya akhirnya masuk juga ke halaman, disusul kawan saya di belakang. Kami bergegas ke ruang sidang.
Di depan ruang sidang ada beberapa muda-mudi mengenakan jas almameter warna kuning duduk di kursi dan selasar tangga. “Pagi sekali mereka datang,” gumam saya lagi. Sementara itu, di dalam ruang sidang tampak masih sepi. Namun, seorang petugas operator yang biasa saya lihat setiap sidang sudah ada di sana. “Pak, saya ijin masuk ya,” kata saya. Ia mempersilahkan saya dengan sopan.
Selesai mempersiapkan alat di dalam, saya pun keluar ruangan. Massa aksi terlihat semakin merah di luar. Kawan saya sudah berkeliaran ke areal halaman gedung, mengambil gambar massa. Saya pun sesekali mendokumentasikan dengan gawai. Di sebelah saya, si petugas operator juga tampak sibuk mengambil video dan foto dengan gawainya.
“Datang pagi banget ya hari ini, Pak?” iseng saya mengajak ngobrol si petugas. “Iya,” jawabnya segera. “Dari jam 6 tadi, soalnya takut nggak bisa masuk. Massanya banyak ya,” lanjutnya. Kepada saya ia bercerita belum pernah mengalami pengalaman seperti ini. Ia sendiri cukup terkejut dengan banyaknya jumlah massa. Apalagi ketika saya bilang masih ada lagi massa yang datang belakangan. “Waduh, banyak juga ya,” tanggapnya.
Obrolan kami hanya singkat. Selebihnya, masing-masing sibuk mengambil dokumentasi massa aksi. Hingga sekitar pukul 08.00 WIB, rombongan Polisi bermotor masuk dari gerbang barat diiukuti dua mobil truk tertutup. Halaman gedung pengadilan ramai pasukan Polisi sekarang. Bahkan dari depan halaman lobi gedung terdengar bunyi gonggongan anjing.
Saya agak heran sebenarnya, kenapa Polisi sepertinya terlambat bersiap. Bahkan, lebih dulu massa yang datang mengelilingi gedung dibandingkan penambahan pasukan personil mereka. Apakah sebelumnya mereka tidak mengira massa akan datang sebanyak ini? Entahlah.
Sementera itu, tepat di depan gedung ruang sidang, helm dan tameng yang tadinya terlihat hanya disusun rapi pada halaman berumput kini tampak sudah dikenakan masing-masing Polisi yang usianya masih muda. Jumlahnya sekitar 20-30 orang, mereka diabsen satu persatu sambil diberikan arahan oleh pemimpinnya.
Saya kemudian memilih beranjak dari sana. Saya lihat para kuasa hukum Willem juga sudah datang. Beberapa mahasiswa yang tadinya di luar juga sudah duduk di kursi. Saya pun bersiap di posisi pojok kiri ruangan di mana kamera saya pasang.
Saat sedang sibuk memeriksa gawai, tanpa sengaja mata saya menangkap Willem dan kuasa hukumnya berkumpul melingkar, sedang berdoa bersama tepat sebelum mereka semua duduk di depan. Mereka sudah berusaha, melakukan sebaik dan semampu yang mereka bisa. Namun, tidak ada yang pernah tahu akan seperti apa hasil akhirnya. Hari ini, pertaruhan mereka sampai di ujung. Sampai pada hasil putusan yang ditentukan oleh Majelis Hakim. Berdoa, tentu jadi keputusan bijak. Setelahnya, mereka menyatukan tangan dan berteriak lantang menyerukan perjuangan untuk kinipan.
Hingga, setengah jam kemudian ruangan berubah lebih ramai. Para awak media tampak lebih banyak dari biasanya. Bahkan, media yang sebelumnya tidak pernah terlihat sama sekali meliput, hari ini juga turut datang menyaksikan sidang pembacaan putusan Willem.
Saya pikir kehadiran banyaknya media sudah cukup menarik. Ternyata saya salah. Justru kehadiran para Jaksa Penuntut Umum (JPU) di ruang sidang lebih menarik perhatian saya. Padahal, sebelumnya saat sidang pembacaan duplik, Willem sempat memohon agar JPU turut hadir di ruang sidang. Namun, mereka tidak mau memberi kepastian. Sekarang, lengkaplah sudah semua di ruang sidang.
Pukul 09.10 WIB, Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Panitera meminta kami semua berdiri, sampai Hakim Ketua, Erhammudin, mempersilahkan kami duduk kembali. Ia mengetuk palu tiga kali, tanda persidangan dimulai. Tidak banyak basa-basi, ia pun memulai secara runut tahapan pembacaan putusan.
Sampai pada bagian pembacaan pertimbangan Hakim, Erhamuddin mempersilahkan Hakim Angggotanya, Muji Kartika Rahayu, melanjutkan pembacaan. Dari beberapa pengalaman meliput sidang, belum pernah saya menemukan ada Hakim yang menyampaikan pertimbangannya serinci dan selengkap ini. Sebagai orang awam, saya benar-benar belajar.
Setiap Pasal yang dikenakan kepada Willem, dalam pembacaannya, Hakim Muji bedah masing-masing secara rinci. Sehingga, setiap unsur dalam dakwaan Primeir dan Subsidier mereka gali kebenaran dan pembuktiannya.
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan,” kata Hakim Muji membacakan hasil pertimbangan mereka terhadap unsur merugikan Negara atau perekonomian Negara. “Dapat diringkas bahwa pembangunan jalan usaha tani merupakan permintaan masyarakat,” lanjutnya.
Menurut Hakim permintaan ini tidak hanya disampaikan langsung kepada Ratno, selaku Direktur CV. Bukit Pendulangan kala itu. Namun, disampaikan pula saat Musyawarah Desa tahun 2017 dan 2019. Bahkan, terbukti jalan tersebut digunakan dan membantu masyarakat dalam mengangkut hasil ladang mereka.
Baca: https://saveourborneo.org/tuduhan-korupsi-tak-hentikan-pembelaan-warga-kinipan-kepada-kadesnya/
“Majelis berpendapat,” lanjut Hakim Muji lagi. “Pembangunan jalan usahan tani tidak merugikan perekonomian masyarakat desa Kinipan. Sebaliknya, justru menguntungkan perekonomian masyarakat,” katanya. Dengan begitu, gugur sudah tuduhan JPU yang menyatakan jika Willem telah merugikan Negara atau perekonomian Negara.
Selain itu, terhadap unsur memperkaya diri, orang lain, atau korporasi, dibuktikan Majelis Hakim juga tidak terbukti. Mereka menemukan fakta bahwa Willem memang benar tidak menerima keuntungan apa pun dari pembayaran jalan usaha tani, apalagi memperkaya orang lain yang terlibat dan dua perusahaan yakni kontraktor CV. Bukit Pendulangan dan konsultan independen CV. Listra Arcdimensi. Menurut Hakim, hal tersebut tidak memenuhi kriteria dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Tonton: https://www.facebook.com/SOBinfomedia/videos/431773838514036
Selanjutnya, unsur secara melawan hukum. Pada bagian ini, Hakim juga tidak menemukan adanya pelanggaran yang Willem lakukan. Memang benar Willem melakukan rekayasa, tetapi hal tersebut hanya berupa alternanif cara untuk membayar hutang Pemerintah Desa (Pemdes) Kinipan. Apalagi, dalam persidangan terungkap jika dalam aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes), tidak pernah ada opsi pengisian dengan deskripsi untuk pembayaran hutang desa.
“Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai prosedur pengadaan barang/jasa yang ditempuh terdakwa memang rekayasa, dalam arti mencari alternatif cara membayar hutang Pemdes kepada CV. Bukit Pendulangan tanpa melanggar hukum. Rekayasa tersebut dilakukan dengan tahapan yang benar dan secara hati-hati, tidak memperkaya diri dan tidak merugikan Negara,” baca Hakim Muji.
Baca: https://saveourborneo.org/tegarkan-dirinya-kades-kinipan-bersaksi-di-pesidangan/
Intinya, semua unsur dakwaan Primair terhadap Willem tidak terbukti. Dakwaan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, sebagaimana dibacakan JPU pada tanggal 31 Januari 2022 lalu gugur di persidangan.
Sedangkan, pada unsur dakwaan Subsidair sebagaimana ditekankan JPU pada pembacaan tuntutan mereka, Willem dituduh menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan. Namun, Hakim menemukan fakta yang berbeda di persidangan.
“Menimbang bahwa dalam perkara ini, sarana yang melekat pada jabatan kades adalah APBDes. Dengan melakukan perhitungan ulang yang menghasilkan pengurangan jumlah hutang Pemdes Kinipan kepada CV. Bukit Pendulangan, berarti terdakwa menggunakan sarana untuk menguntungkan desa,” kata Hakim Muji. “Dengan demikian, unsur menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan tidak terpenuhi,” tutupnya.
Hingga pada penghujung persidangan, pembacaan putusan disampaikan oleh Hakim Ketua. Erhammudin meminta Willem berdiri. Sementara itu, para awak media juga sibuk berpindah posisi. Sebelumnya mereka hanya di pojok kiri dan kanan, sekarang termasuk saya mencoba merapat kearah depan. Meski tidak terlalu bisa maju, tetapi saya tertolong lensa kamera yang bisa di perbesar pengambilan gambarnya.
“Mengadili,” Hakim Ketua Erhammudin memulai pembacaannya. “Satu, menyatakan terdakwa Willem Hengki anak dari Arthen tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primair,” katanya.
Tepat saat pembacaan poin pertama ini, riuh teriakan massa dari luar terdengar sampai ke ruang sidang. Ternyata meskipun di luar, massa sejak tadi juga sedang menyaksikan jalannya sidang dari tayangan langsung yang disiarkan media sosial kami, Save Our Borneo. Saya merinding dan terharu, membayangkan bagaimana atmosfer di luar.
“Dua, membebaskan Terdakwa Willem Hengki anak dari Arthen dari dakwaan primair tersebut,” pembacaan oleh Erhammudin pada poin selanjutnya. “Tiga, Menyatakan Willem Hengki anak dari Arthen tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsidair,” katanya.
Saat itu, jujur saja ingin rasanya saya bertetiak riuh seperti massa di luar. Sebab, selama pembacaan putusan ini, masih terdengar teriakan-teriakan senang dari luar. Tapi tidak mungkin bukan? Meskipun senang, saya harus menahan diri sampai putusan ini selesai dibacakan Hakim.
“Empat,” lanjutnya lagi. “Memerintahkan terdakwa Willem Hengki anak dari Arthen dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan diucapkan. Enam, memulihkan hak-hak terdakwa Willem Hengki anak dari Arthen dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya,” kata Erhamuddin. Serta pada poin ketujuh, segala barang bukti dikembalikan kembali kepada Willem.
Lega. Ternyata begini rasanya kebebasan. Meskipun bukan saya yang berperkara, namun mengikuti perjalanan kasusnya selama kurang lebih 5 bulan, membuat saya juga merasa menjadi bagian di dalamnya.
Palu sidang kembali dipukul tiga kali oleh Hakim Ketua. Sidang resmi ditutup. Willem, kuasa hukum, dan JPU bersalaman satu sama lain, juga kepada Mejelis Hakim.
Para awak media termasuk saya sekarang menunggu pernyataan dari Willem. “Pertama, hari ini terjawab, kebenaran itu tetap menang,” kata Willem. Meski tertutup masker, namun jelas mata Willem berair. Ia pasti senang dan terharu. Bagi Willem pribadi, tentu pengalaman ini akan menjadi momen yang sangat emosional di dalam hidupnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Parlin B. Hutabarat, mewakili kuasa hukum Willem juga menyampaikan kelegaannya terhadap hasil putusan Hakim. Ia menganggap putusan ini adalah bukti dari keyakinan mereka sejak awal bahwa Willem bukanlah seorang koruptor. Selain itu, menuurut Parlin, Majelis Hakim telah secara detil mempertimbangkan fakta-fakta persidangan dan menyatakan tidak adanya kerugian Negara.
“Jadi, kita berterimakasih masih ada keadilan di zaman ini,” kata Parlin juga. “Putusannya menyatakan Willem bebas murni. Artinya, dakwaan atau tuduhan JPU tidak terbukti,” tutupnya sambil tersenyum.
Kompak semua kuasa hukum Willem hari itu mengenakan baju kaos hitam bertuliskan #Save Kinipan. Bersama Willem, mereka juga bergegas segera keluar menemui massa aksi di depan gerbang gedung Pengadilan Tipikor.
Sudah bisa diduga bagaimana riuhnya sambutan massa setelah melihat Willem dan para kuasa hukumnya berjalan mendekati kerumunan. Petugas Polisi masih tetap berjaga dan membukakan pagar untuk mereka.
Saat Willem baru saja keluar pagar, saat itu juga massa menghambur mengelilingi Willem. Sebagian besar berusaha berjabat tangan dan memeluk Willem, sementara tangis haru tampak di wajah mereka. Saya sudah tertinggal di belakang, tidak bisa lagi menembus kerumunan. Mereka membawa Willem dan kuasa hukumnya naik ke bak belakang mobil pick up yang dipenuhi alat pengeras suara.
Dari atas mobil dengan bantuan alat pengeras suara itu Willem menyampaikan terimakasihnya kepada kuasa hukum, Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan (GERSTRUK), massa TBBR serta semua yang telah bersolidaritas untuk dirinya dan Kinipan. “Hari ini penghargaan yang setinggi-tingginya. Tidak bisa saya membalas saudara-saudara yang sudah hadir. Saya mengucapkan terimakasih,” ucap Willem.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa perjuangan ini belum selesai. “Perjuangan kita orang Dayak belum selesai. Masih banyak perjuangan yang harus kita lakukan,” kata Willem di tengah-tengah massa. Sontak perkataannya ini disambut teriakan gemuruh oleh mereka. “Siap!!!” teriak mereka menjawab Willem.
Selebihnya, massa setia menunggu Willem dan kuasa hukumnya selesai menyampaikan orasi dan hasil persidangan. Dengan tertib, selanjutnya mereka semua membubarkan diri.
Saya pun berkumpul kembali dengan kawan-kawan saya yang lain. Kami masih ramai membicarakan hasil putusan sidang tadi. Wajah-wajah bahagia tidak bisa lagi disembunyikan. Termasuk kekaguman kami kepada Majelis Hakim.
Jujur saja, jika boleh kita berhitung, jarang ada kasus yang dimenangkan oleh masyarakat di zaman sekarang. Sehingga, tidak heran banyak masyarakat yang skeptis dengan proses hukum. Kata pepatah, “Hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.”
Namun, hari ini hukum menunjukkan kebenarannya kepada kami. Hati Nurani ternyata masih hidup. Keadilan masih ada di Negeri ini. “Majelis Hakim ini seharusnya bisa menjadi contoh untuk para penegak hukum yang lain, “ kata M. Habibi, Direktur Save Our Borneo, di sela-sela perbincangan kami. Ia mengatakan pandangan hakim tadi sangat detil dan obyektif, sehingga keputusan yang mereka ambil tentu serius dan adil.
Selain itu, Habibi juga mengatakan bahwa sejak awal kasus Willem memang bukanlah korupsi. “Kasus ini sebenarnya upaya kriminalisasi saja terhadap Willem, karena ia kades Kinipan,” katanya. “Karena kita semua tahu, masalah Kinipan adalah masalah menjaga hutan dan wilayah adatnya. Sejak komitmen itu disampaikan masyarakat, sejak itu pula bermunculan berbagai bentuk upaya kriminalisasi terhadap mereka,” lanjutnya.
Habibi benar. Masalah Kinipan adalah karena mereka menolak berhenti berjuang. Mereka menolak memberikan hutan dan wilayah adatnya untuk korporasi. Malahan, upaya mereka tidak surut untuk memperoleh pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan pengesahan status Hutan Adatnya.
Karena itu, perjuangan Kinipan belum selesai. Perjuangan ini masih butuh anda dan saya, kita. Kinipan tidak boleh ditinggalkan sendiri. Kali ini, Rakyat harus sekali lagi bebas. Bebas berdaulat atas hidup dan ruang hidupnya.
Kebebasan Willem adalah kebebasan masyarakat Kinipan. Kebebasan masyarakat Kinipan adalah kebebasan kita. Kita semua yang mencintai keadilan, lingkungan, manusia dan Negeri kita.
Teruslah berjuang bersama Kinipan. (Juliana_sob)