Diseberang hamparan perkebunan kelapa sawit yang luas, rumput dan semak-semak tumbuh subur mengalahkan dominasi jumlah pepohonan. Disitu tertulis Kawasan Bernilai Konservasi Tinggidan spanduk bergambar Orangutan, milik perusahaan perkebunan di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Namun, tidak terlihat ada tanda-tanda Orangutan.
Kepala ditundukkan, leher baju di naikkan sampai menutup hidung, topi di rapatkan. Beberapa detik harus bertahan dalam posisi ini, bahkan tidak jarang harus memejamkan mata sampai debu sedikit berkurang. Berkendara motor di dalam areal perkebunan kelapa sawit menjadi penuh tantangan, tidak hanya bagi keselamatan tetapi juga kesehatan.
Tetapi jalanan latrit kering, jingga, gersang dan pelukan pohon-pohon kelapa sawit di kiri dan kanan ini, lagi-lagi menyemburkan debu pekat tepat di hadapan mata mengaburkan seluruh jarak pandang selama dua detik. Truck lainnya melenggang dengan muatan penuh buah berminyak dalam bak.
Debu terpaksa dihirup, sebab tidak mungkin nafas berhenti ditarik. Sementara perjalanan ini masih panjang. Ada beberapa titik yang harus tim datangi.
Tidak berbeda dari titik sebelumnya, tim save our borneo mendapati pemandangan semak-semak belukar dengan pepohonan tinggi namun jarang di Kawasan High Conservation Value Forest (HCVF)-Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi milik Wilmar ini. Bahkan, plangnya pun sudah hampir roboh, seakan hanya di tempatkan seadanya tanpa diperhatikan.
Sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), perusahaan ini memang mempunyai kewajiban untuk memenuhi standar-standar hutan berkelanjutan bila ingin kredibilitas perusahaan dan produknya diangap baik, sustainabledan green di pasaran dunia. Salah satunya termasuk wajib memiliki kawasan konservasi yang bernilai tinggi dengan tunduk di bawah aturan Forest Stewardship Council (FSC)-Dewan Pengelolaan Hutan tentang HCVF. Kawasan ini seharusnya tidak hanya memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi bagi masyarakat tetapi juga berfokus pada kelestarian serta perlindungan keanekaragaman hayati terutama bagi spesies endemik dan terancam punah.
Tim kemudian kembali melanjutkan monitoring ke titik-titik HCVF lainnya disana. Saat itu, kecepatan motor agak kencang karena jalanan memang sepi. Mengikuti jalan berbelok dari blok-blok menuju jalan poros, di depan, rekan kami terlihat berhenti mendadak. Tanpa sempat bertanya kenapa, motor tiba-tiba juga harus di rem. Ban belakang sudah berbelok, motor mulai bergoyang oleng, bunyi decitan beradu dengan tanah kering. Sementara makhluk melata berwarna hitam di depan kami lewat dengan santainya menyebrang jalan hendak memasuki kawasan perkebunan sawit disebelah kanan. Kami sudah pasrah, antara jatuh atau menabrak si ular cobra.
Namun, nasib kami masih baik. Tanpa menyadari bahayanya posisi kami, si ular lebih dulu masuk ke dalam areal sawit lewat rerumputan dan kami bisa berhenti tanpa harus jatuh.
Tidak hanya itu, beberapa kali kami juga disuguhi pemandangan burung bubut yang mampir, sedikit bermain di bawah rimbunnya daun-daun sawit di kebun. Burung ini berjalan dan kadang berlarian kecil lebih jauh masuk kedalam kebun. Tampaknya kebun sawit jauh lebih menarik perhatian dari pada areal konservasi yang disisakan oleh perusahaan.
Di Kawasan HCVF yang lain, tim menemukan plang bertuliskan Kawasan Hutan Kerangas. Pepohonan ini tumbuh tinggi dan jarang di sela-sela semak belukar yang terbakar. Bahkan beberapa bagian bawah pohon juga terlihat ikut berwarna hitam arang. Menurut rekan kami, yang sekaligus sebagai pemandu jalan dan juga warga lokal, daerah ini memang terbakar tahun ini. Apa yang kami lihat hari ini memang hanya bekas terbakarnya saja.
Hal yang menarik adalah ketika situasi yang kami lihat di lapangan berbanding terbalik dengan himbauan yang ada di dalam plang HCV bertuliskan DILARANG KERAS MENEBANG POHON, MEMBAKAR, DAN MERUSAK HUTAN INI !! Namun, tampaknya tulisan ini tidak punya kekuatan cukup besar untuk menjaga areal tidak terbakar.
Dari titik ini, kami memutari blok kawasan hutan tersebut hingga tembus kembali ke jalan poros. Pepohonan tadi ternyata tidak tersebar merata keseluruh bagian HCV. Terlihat dari pinggir jalan, justru hamparan rawa yang ditutupi rerumputan dan tanaman menjalar. Sampai di perempatan antara jalan poros dengan blok di kiri dan kanan, kami disuguhi dengan pemandangan kebun sawit lagi. Pada blok sebelah kiri, di bagian ini, terpasang juga plang HCV dan spanduk bergambar Orangutan, padahal posisinya masih dalam satu kawasan dengan Hutan Kerangas sebelumnya.
Sementara itu, matahari sudah semakin bergerak turun. Kami melanjutkan perjalanan lagi untuk pulang. Selama perjalanan, kami masih melihat beberapa plang HCV lain tetapi dengan kondisi yang sama saja, semak belukar. Plang-plang bertuliskan Konservasi Sempadan Badan Air/Sungai juga sering kami dapati. Anehnya, meskipun dalam plang itu bertuliskan Dilarang Melakukan (1) Penyemprotan Racun (2) Pemupukan (3) Penebasan (4) Membuat Kebun (5) Membuang Sampah (6) Menyetrum Ikan, tetapi plang tersebut di pasang di areal atau sebelah dari perkebunan yang notabene melakukan aktivitas-aktivitas diatas kecuali pada poin (6).
Rimba Harapan Sakti (RHS), di sini, hanya menjadi salah satu contoh dari situasi nyata di lapangan bahwa belum ada keseriusan dari perusahaan untuk memperbaiki standar, sistem, dan kinerja mereka. Tidak peduli perusahaan itu adalah perusahaan besar sekelas Wilmar yang bahkan telah mengantongi status keanggotaan RSPO, faktanya tetap tidak juga mematuhi prinsip-prinsip yang lestari dan berkelanjutan.
Padahal HCVF adalah harapan bagi satwa liar dan keanekaragaman hayati agar tetap lestari ditengah maraknya okupasi dari perkebunan kelapa sawit terhadap lahan dan hutan. Mengingat, ia juga menjadi standar wajib bagi semua perusahaan perkebunan di bawah keanggotaan RSPO. Namun, dengan model HCVF diatas, tentu tidak akan ada rumah yang layak bagi satwa dan tumbuhan liar, terutama Orangutan.
Pada akhirnya, kawasan HCVF disisakan hanya untuk memenuhi standar agar perusahaan mendapatkan label sustainable dan green, terutama untuk pemasaran produknya pada pasar dunia. Dan, mungkin saja hal ini tidak hanya dilakukan oleh Wilmar tetapi juga perusahaan perkebunan anggota RSPO lainnya.