Willem Hengki, kades Kinipan menegarkan dirinya saat akhirnya diberi kesempatan bersaksi di persidangan. Ia menegaskan tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor) apa pun. Sebagai kades, ia hanya menjalankan mandat dari masyarakat dan tidak menyesalinya.
Persidangan Willem Hengki, kades Kinipan, kembali digelar di pengadilan Tipikor Palangka Raya pada hari Senin lalu (23/5/2022). Kali ini saya harus menunggu cukup lama di ruang sidang. Jadwal persidangan tampaknya padat sekali. Sidang Willem baru dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, setelah sebelumnya ada sidang lain juga yang berlangsung.
Di sidang kali ini, kuasa hukum Willem diberikan kesempatan untuk menghadirkan para ahli. Mereka menghadirkan dua ahli. Setelah kedua ahli ini, nantinya Willem akan diberikan kesempatan untuk bersaksi bagi dirinya sendiri.
Ahli pertama adalah Dr. Dewi Kania Sugiharti, SH,.MH. Beliau adalah ahli Administrasi dan Keuangan Negara dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Dari beliau, lebih banyak dijabarkan hal-hal teoritis terkait bidangnya. Namun, ia mengakui memang tidak terlalu tahu betul tentang kasus Willem.
Namun, ada satu poin penting yang saya pikir menjadi tali penghubung dari kusutnya kasus kades Kinipan ini. Dalam penjelasannya, Dewi mengatakan bahwa ada perbedaan antara sesuatu yang dilakukan dengan kesengajaan dan ketidaktahuan.
Pada kasus Willem, saya pikir kita semua tahu, tidak sedikit pun ada niat dari Willem untuk melakukan tindak pidana korupsi dan dijadikan terdakwa seperti sekarang. Bahkan, kita bisa melihat bagaimana masyarakat Kinipan sampai hari masih membela kadesnya.
Willem memang hanya melakukan pembayaran hutang desa pada tahun 2017. Apakah dalam pembayarannya ada kesalahan administrasi? Mungkin, tetapi bukan berarti korupsi. Hal ini juga ditegaskan oleh Isa, perangkat desa Kinipan yang sebelumnya bersaksi di persidangan, bahwa Willem tidak memperoleh sepeser pun dari pembayaran ini.
Baca: https://saveourborneo.org/semakin-terang-2-saksi-bantah-pernyataan-saksi-jaksa/
“Sesuatu yang dilakukan salah karena ketidaktahuan seseorang, beda aturannya,” kata Dewi. Saya mulai berpikir kemungkinan besar adanya ketidaktahuan dalam kasus Willem memang sangat besar. Apalagi karena penahanan dan penetapannya sebagai terdakwa terlalu buru-buru oleh beberapa pihak terkait. “Bukan harus dihukum, tetapi orang tersebut harus dibina,” jelas Dewi lagi.
Namun, Willem tidak pernah dibina. Ia hanya ditunjuk bersalah tanpa pernah dijelaskan kenapa ia bersalah. Tidak ada yang mengkoreksi, mendampingi, apalagi membina. Padahal, Inspektorat dan Jaksa punya andil besar agar masalah seperti ini tidak perlu sampai ke meja hijau.
Baca: https://saveourborneo.org/bisa-dicegah-kades-kinipan-justru-dipidanakan/
Penjelasan ini kemudian sejalan dengan keterangan ahli selanjutnya. Ahli kedua ini bernama Dr. Ahmad Sofian, SH,.Ma, seorang ahli Hukum Pidana dari Universitas Binus, Jakarta. Ia menjelaskan lebih terang lagi tentang bedanya posisi kasus Willem dengan korupsi pada umumnya.
Saat itu, kuasa hukum Willem, Parlin B. Hutabarat bertanya kepada ahli bagaimana tentang kesalahan administrasi (maladministrasi) yang terjadi tetapi tidak menimbulkan kerugiaan keuangan bagi Negara. “Apakah hal seperti ini bisa disebut melakukan tindak korupsi?” tanyanya.
“Saya pikir itu sudah jelas ya, itu tidak memenuhi unsur-unsur pasal 2 atau 3,” kata Ahmad. Pasal yang dimaksud Ahmad di sini adalah Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, unsur objektif dari kedua pasal tersebut adalah adanya kerugian keuangan Negara. Kerugian keuangan Negara ini pun harus bisa dibuktikan terkebih dahulu.
Adanya kerugian bisa disebabkan oleh berbagai macam perbuatan, seperti memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan melawan hukum. “Jika perbuatannya tidak memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan melawan hukum, maka perbuatan maladministrasi tadi tidak bisa dipidana,” jelasnya. “Apalagi ketika itu tidak menimbulkan kerugian terhadap Negara. Jadi, sederhana saja,” lanjut Ahmad juga menjelaskan.
Sementara itu, antusiasme saya terhadap kelanjutan kasus ini harus ditunda sesaat. Waktu kira-kira menunjukkan hampir pukul 13.00 WIB, Hakim menghentikan sementara persidangan. Sidang diskors selama satu jam dan setiap orang pun mulai berlalu pergi untuk mengisi perut, termasuk saya.
Sekitar pukul 13.30 WIB, saya kembali ke ruang sidang dan Hakim kembali memulai sidang. Awalnya saya berpikir kenapa sidang Willem dipercepat, namun ternyata bukan. Ada 3 persidangan lain yang agendanya masing-masing berlangsung singkat. Sekitar pukul 14.00 WIB, barulah persidangan Willem kembali dimulai.
Willem tampak sehat hari itu. Mengenakan baju batik dan masker putih, ia duduk di hadapan Majelis Hakim, jaksa, dan kuasa hukum. Pada saat itu, Jaksa diberikan kesempatan pertama oleh Hakim untuk memeriksa Willem. Menjawab pertanyaan Jaksa, Willem berusaha menjelaskan kronologis kejadian yang sebenarnya secara urut.
Ia menegaskan bahwa sebagai kades, Willem melaksanakan tugas sebagaimana harusnya ia lakukan. Keputusan untuk membayar hutang desa kepada CV. Bukit Pendulangan telah dibuat oleh masyarakat Kinipan sendiri dalam Musrenbang. Keputusan yang menjadi mandat inilah yang kemudian Willem jalankan.
Namun, ia pun berhati-hati dalam melaksanakannya. Meskipun telah ada perjanjian antara Emban, kades Kinipan sebelumnya, dengan CV. Bukit Pendulangan untuk melakukan pembayaran senilai 400 juta rupiah, Willem tidak serta merta melaksanakannya. Ia tidak mau merugikan desa, kemudian meminta perangkat desanya mencari konsultan independen agar melakukan perhitungan yang lebih akurat. Pernyataan Willem ini sejalan dengan kesaksian saksi-saksi sebelumnya.
Setelah itu, pembayaran tidak langsung ia dan pemerintah desa (pemdes) Kinipan lakukan kepada CV. Bukit Pendulangan. Ia melakukan banyak konsultasi. Pertama, ia berkonsultasi ke Camat Batang Kawa.
Menurutnya, saat itu Camat berpesan agar ia memahami niat dari dirinya terlebih dahulu. “Kalau dari diri kita tidak ada sedikit pun niat untuk korupsi, maka jangan takut, kita tidak salah,” kata Willem menjelaskan pesan yang disampaikan Camat waktu itu kepada dirinya.
Namun, Camat meminta Willem untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada Dinas induk mereka, yakni Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Lamandau. Ia pun menuruti dan bertemu Alex, kepala seksi yang membidangi masalah desa. Ia mengatakan kepada Willem bahwa selama pekerjaan itu tidak fiktif, tidak menimbulkan kerugian Negara, dan sudah menjadi keputusan di masyarakat, maka tidak masalah.
Meski begitu, seperti bola ping pong, Willem disuruh berkonsultasi juga ke Inspektorat. Willem pun kembali menurut. Ia bertemu langsung Inspektur Drs. Tahan Sandi. Sama seperti jawaban Dinas PMD, beliau juga tidak mempermasalahkan tetapi mengakui bahwa ia juga tidak mengerti masalah teknis. Sehingga, ia mengarahkan Willem ke Inspektur Pembantu (Irban) II. Willem mendapat jawaban yang hampir sama. Intinya selama pekerjaan itu tidak fiktif dan RAB gambarnya sesuai, maka tidak masalah.
Tidak sampai di situ, untuk lebih meyakinkan lagi, Willem menemui Wakil Bupati Kabupaten Lamandau. Ia menyampaikan kepada Willem untuk berhati-hati, tetapi pada prinsipnya hanya mengingatkan sama seperti Camat bahwa selama niatnya tidak untuk korupsi, maka tidak masalah.
Disela-sela menyampaikan kesaksiannya ini, emosi Willem tak sanggup lagi disembunyikannya. Nada suaranya meninggi dan bergetar. Ia mengaku terkejut dituduh korupsi, padahal selama ini ia telah berhati-hati jangan sampai jatuh ke dalam perbuatan tersebut. “Saya ini anti-korupsi Pak. Saya kaget dituduh korupsi. Sakit hati saya” katanya. “Saya meyakini, saya tidak korupsi. Tuhan yang tahu Pak,” tegasnya.
Willem berusaha tegar. Ia kembali melanjutkan kesaksiannya. Akhirnya, seperti yang kita tahu, Inspektorat malah turun melakukan pemeriksaan ke Kinipan. Mereka mengatakan akan melakukan pemeriksaan khusus karena adanya pengaduan dari masyarakat. Namun, belakang kita juga sudah tahu bahwa bukan masyarakat yang mengadu, tetapi karena adanya titah dari pimpinan.
Baca: https://saveourborneo.org/titah-pimpinan-di-balik-kasus-kades-kinipan/
Kepada pihak Inspektorat, selain menyerahkan dokumen-dokumen yang mereka minta, Willem juga menjelaskan kondisi desa Kinipan. Ia mengatakan desa sedang dalam permasalahan sengketa lahan. Posisi ia dan masyarakat sebenarnya sedang di dalam bahaya. Karena itu ia meminta agar pihaknya bisa diperlakukan dengan adil. “Saya mengatakan waktu itu, jika memang ada kesalahan maka dudukanlah sebagaimana mestinya, jangan di ada-adakan,” katanya.
Tuduhan bahwa ia tidak transparan dan efektif sebagai kades juga turut melukai Wilem. Padahal, karena ingin berhati-hati, Willem sampai menghitung ulang anggarannya. Belum lagi tuduhan penyalahgunaan wewenang yang disampaikan kepadanya. “Penyalahgunaan wewenang yang mana Pak? Saya tidak memutuskan sendiri, tetapi keputusan masyarakat,” kata Willem mulai emosional.
Willem tak bisa menahan kesedihannya lagi. Suaranya bergetar dan ia terus meluapkan perkataannya. Sudah sekian lama ia tertekan. “Kalau Bapak ingin memenjarakan saya hari ini, tangkap,” katanya. “Penjarakan semua masyarakat Kinipan, itu kesepakatan kami” katanya lagi.
Meski tak melihat matanya, saya tahu ia mulai menangis. Getar di suaranya semakin tidak bisa disembunyikan. Nada pilu ada di setiap kata yang ia lontarkan saat itu. “Makanya masyarakat Kinipan ini heran, kenapa saya dijadikan tersangka tunggal hari ini? Makanya masyarakat datang ke sini, rela urunan uang 5000. Saya menangis Pak, saya menangis Pak. Dimana hati Bapak tidak tersentuh?”
Jaksa ingin memotong, tetapi Willem belum selesai meluapkan isi hatinya. “Saya belum selesai Pak,” katanya. “Saya menangis Pak. Kalau Bapak makan enak, tetapi masyarakat saya makan di pinggir jalan Pak,” katanya lagi.
Saat itu, Jaksa kembali ingin menyela Willem. “Yang terkait perkara saja, silahkan,” katanya cepat. Namun, Willem tak diam. “Ini perkaranya pak. Masyarakat saya datang dan mereka juga akan datang ke sidang selanjutnya,” tegas Willem. Ia kemudian mulai mengatur nafasnya, mempersilahkan Jaksa kembali megajukan pertanyaanya.
Banyak sebenarnya yang Willem ungkapkan hari itu. Namun, intinya, ia tetap pada pernyataan bahwa ia tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi. Ia juga mengaku tidak menyesal, sebab apa yang ia lakukan hanya melaksanakan mandat dari hasil Musrenbang dan keputusan masyarakat Kinipan yakni membayar hutang pembuatan jalan usaha tani Pahiyan.
Selanjutnya, hari Senin, 30 Mei 2022 nanti sidang Willem akan kembali dilanjutkan. Agendanya, mendengarkan pembacaan tuntutan Jaksa.
Lalu, kita bagaimana? Apakah kita rela jika Willem dijebloskan dalam penjara begitu saja? Saya tidak. Saya berharap anda juga tidak. Sama seperti Willem, saya juga berharap hati Jaksa bisa tersentuh. Terlebih, kepada Majelis Hakim agar Willem nantinya bisa diputus bebas. Jangan sampai perjuang ini sia-sia. (P. Juliana_sob)